“Dulu, otoritas keagamaan dibangun pelan-pelan, di pesantren misalnya. Tapi sekarang mulai bergeser. Orang sekarang merasa punya otoritas hanya karena punya sedikit informasi. Padahal informasi itu dangkal.”
Pernyataan itu disampaikan Ulil Absar Abdalla atau yang akrab disapa Gus Ulil dalam acara Pendidikan Instruktur Nasional Moderasi Beragama (PIN-MB) di Pusdiklat Kemenag Ciputat, Tangerang Selatan. Pagi itu Gus Ulil menyampaikan paparan bertajuk “Agama dan Beragama di Era Digital”.
Gus Ulil, kiai muda yang populer dengan Ngaji Ihya’, kali itu mendedah satu persoalan menarik sekaligus pelik tentang beragama di internet. Ia melihat tren beragama di internet salah satunya ditandai dengan runtuhnya otoritas.
“Yang jadi persoalan, runtuhnya otoritas kegamaan diikuti dengan sikap tidak hormat kepada ulama di luar kelompoknya. Ini tentu gejala yang mengkhawatirkan, kita saksikan bully membully di medsos marak. Padahal, siapapun yang dianggap ulama/ditokohkan di suatu kelompok mesti kita hormati, jangan dibully. Saya misalnya, tetap menghormati Habib Rizieq Shihab, meskipun tidak sepakat dengannya dalam beberapa hal,” tutur Gus Ulil.
Runtuhnya otoritas keagaman juga terkait gerakan Islam baru yang muncul di perkotaan. Menurut Gus Ulil, gerakan Islam baru ini tidak suka otoritas keagamaan tradisional. Gerakan Islam baru ini sebetulnya kecil-kecil belaka, tapi banyak sekali.
Fenomena lain yang disoroti Gus Ulil berkaitan dengan laku beragama di internet adalah mudahnya orang menjadi tokoh di era digital, termasuk tokoh agama. Hari ini banyak orang bodoh tapi tidak sadar kalau dia bodoh. Parahnya lagi, kita juga kerap menjumpai orang bodoh tapi merasa pandai. Padahal, jika kita tengok ke balakang, ulama-ulama terdahulu memiliki etika keilmuan yang jelas: jika tidak tahu katakan tidak tahu. Sekarang, banyak orang yang tidak tahu atau sedikit tahu tapi sok tahu.
Selanjutnya, tren beragama di era digital juga ditandai kelembagaan tradisional memudar. Ini tentu tantangan bagi Muhammadiyah dan NU. Kemudian, masih menurut Gus Ulil, kita juga sedang menghadapi situasi orang beragama yang semakin individualistik.
Gejala berikutnya adalah tinkering. Istilah tikering diterjemahkan Gus Ulil sebagai: orang merumuskan paham keagamaan berdasarkan adonan yang ia bikin sendiri. Tinkering diibaratkan seperti anak muda yang gemar utak atik mesin. Tinkering terjadi karena hari ini kita karena berlimpah informasi keagamaan.
Lantas, apa sikap kita? Cara kita menyuguhkan paham keagamaan kepada publik harus berubah. Karena faktanya masyarakat dengan bebas memilih tokoh-tokoh agamanya sendiri. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk ikut otoritas tradisonal. Maka, kita harus masuk ke kompetisi di ruang terbuka (digital) ini. Itulah mengapa ngaji online menjadi penting dan relevan.
Selain itu kita harus lebih asertif, lebih menonjolkan diri. Ruang digital tak ubahnya pasar bebas, kalau tidak menonjolkan diri tidak akan terlihat. Masyarakat harus kita arahkan: kalau mau cari ilmu harus ke orang yang punya otoritas keagamaan yang jelas.
Gus Ulil lantas mengambil contoh fenomena naik daunnya Gus Baha’. Menurutnya yang menarik dari dunia digital adalah kaburnya pusat dan daerah. Jika dulu yang berperan hanya orang-orang pusat, kini tidak lagi. Dapat kita saksikan Gus Baha dari Rembang menguasai Indonesia dengan ceramah-ceramahnya mendapat tempat di hati jutaan jamaah.
Menutup pemaparan, Gus Ulil mengingatkan, dakwah digital bukan sekadar menguatkan konten, tapi juga networking. Sebab masyarakat digital adalah masyarakat networking, bukan struktural.