Catatan Perjalanan Anjangsana Pancasila #6
Untuk melihat praktek hidup Pancasila, di
Wonosobo, siang itu kami diajak mBak Diah dan Mas Haqy berkunjung ke masjid Al-Mansur dan bersilaturrahim dengan para tokoh dan warga Kampung Seruni, salah satu kampung yang berada di wilayah perkotaan Wonosobo. Pada mulanya kampung ini dikenal sebagai zona merah, karena warganya sering tawuran, mabuk dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Dijelaskan oleh pak Heri salah seorang tokoh di kampung Seruni, sebenarnya solidaritas warga sangat tinggi. Meski warga kampung Seruni terdiri dari berbagai latar belakang belakang agama, namun mereka tidak pernah ada gesekan dan konflik atas nama agama. Semua hidup rukun dan solid. Keberagaman keyakinan warga dusun Seruni ini tampak pada mereka yang hadir diantaranya adalah tokoh Kejawen, Budha, Katholik dan Islam. Meski menjadi daerah zona merah yang rawan tindakan kriminal dan kumuh, namun kegiatan spiritual dan keagamaan di kampung Seruni berjalan baik.
Kisah dusun Seruni sebagai daerah rawan tawuran dan kriminalitas ini juga disampaikan oleh pak Slamet, Ketua RW. “Saya ini bukan penduduk asli Seruni. Dulu saya tertarik tinggal di Seruni karena saya suka tawuran” kata pak RW memulai kisahnya. Kemudian dia menjelaskan bagaimana dirinya dan para pemuda Seruni saat itu rajin mencari jimat dan belajar ilmu kebal agar tidak mempan dibacok saat tawuran. “Di sini dulu, kalau mau berangkat tawuran diumumkan di speaker mushalla. Semua lelaki berkumpul membawa senjata tajam. Para ibu menyiapkan bekal, kemudian melepas kepergian kami dengan perasaan was-was” lanjutnya.
Mas Hengky, tokoh pemuda Seruni juga memberikan penjelasan yang sama. “Dulu teras rumah saya ini menjadi tempat mangkalnya anak-anak muda. Mereka mabuk mulai sore sampai dini hari. Istri saya sempat resah dan ketakutan. Tapi saya bilang gak apa-apa anggap saja mereka yang jaga rumah kita”. Sebagai seorang seniman, mas Hengky mencoba mengarahkan anak-anak muda pada kegiatan seni. Secara perlahan mas Hengky mengajak anak-anak muda berlatih kesenian untuk mengubah kebiasaan mereka mabuk dan tawuran.
Selain mas Hengky, para sesepuh juga mulai memperkuat kegiatan kebudayaan yang berbasis spiritual. Menurut keterangan Diah, yang melakukan penelitian di daerah tersebut, pada tahun 2001, ada kegiatan peringatan 1 suro yang dilakukan oleh keluarga mbah Untung Ardi, salah seorang penganut Kejawen. Mulanya kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut di bilang syirik. Tapi kegiatan ini diketahui oleh pak Kabul, salah seorang tetangga pak Untung. Lama kelamaan kegiatan ini diketahui oleh warga secara gethok tular (dari mulut ke mulut) hingga akhirnya diterima menjadi ritual kampung. Kegiatan ini sekarang menjadi andawan wisata kamung Seruni yang dikenal dengan upacara Ruwatan Sukerti 1 Suro.
Mas Hengky dan beberapa tokoh dusun Seruni, bertekad menjadikan upacara ritual dan seni budaya sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Karena ada momentum budaya, anak-anak muda semakin giat melakukan latihan kesenian. Di bawah komando mas Hengky mereka menggali kesenian tradisi dusun Seruni yang hampir punah yaitu seni Lengger. Agar anak muda tertarik pada seni tradisi ini, mas Hengki dan kawan-kawan melakuan inovasi dan aktualisasi baik dari segi tata musik, kustum maupun gerakan. Melalui kegiatan seniinilah kegiatan tawuran bisa ditekan, karena anak-anak muda mulai disibukkan kegiatan berkesenian.
Didukung oleh semangat berkesenian, pada tahun 2004 dilaksanakan ritual doa bersama yang diikuti oleh para tokoh lintas iman dengan melibatkan seluruh ragam masyarakat Seruni. Event ritual doa bersama ini dimeriahkan dengan penampilan seni hasil kreatifitas pemuda kampung Seruni. Kegiatan ini merupakan momentum titik balik warga kampung Seruni. Anak-anak muda yang dulu suka tawuran dan mebuk-mabukan mulai sibuk berlatih seni dan berkreasi. Ada yang jadi penari, penabuh gamelan, pengrajin topeng dan berbagai aktivitas budaya lainnya. Mereka mulai menggali potensi budaya dan alam Seruni yang indah untuk dijadikan produk pariwisata yang bisa menarik wisatawan sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi. Sejak saat itu, dusun Seruni yang dulu dikenal sebagai daerah kumuh dan kawasan zoma merah karena menjadi sarang tawuran dan kriminalitas menjadi dusun wisata yang menyajikan keramahan dan keindahan.
Menurut Hengky, sebelum momentum doa bersama 2004 ada peristiwa monumental lain yang juga mendorong terjadinya arus balik kampung Seruni, yaitu konflik antara kelompok seniman yang menginginkan terjadinya perubahan dengan golongan pemabuk dan genk tawuran yang tidak ingin ada perubahan. Konflik itu muncul dalam bentuk bentrok fisik antara kedua kelompok. Setelah peristiwa itu, terjadi rekonsiliasi antar kelompok masyarakat. Komunitas seni budaya yang didukung oleh ara sesepuh dan tokoh masyarakat merangkul kelompok pemabuk dan genk tawuran hingga akhirnya kampung seruni memperoleh predikat kampung wisata budaya dan alam dan ditetapkan sebagai salah satu desa wisata oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo. Kampung Seruni yang dulu kumuh, sangar dan menakutkan itu kini berubah menjadi kamung yang indah, ramah dan menyenangkan. Suasana ini kami rasakan saat mengunjungi kamung tersebut dan berdialog dengan para tokoh dan warga kampung.
Menurut kami, percepatan transformasi sosial budaya kampung Seruni ini tidak lepas dari sikap para ulama dan kiai Wonosobo yang bijak dalam mengamalkan ajaran Islam. Kami merasakan suasana seperti ini, ketika mengunjungi masjid raya dan kompeks pendidikan Islam al-Mansyur. Secara pribadi saya memiliki kenangan di Masjid Al-Mansyur ini. Pada awal dekade 90an saya sering menemani Gus Dur datang ke Wonosobo untuk mencari makam para wali yang ada di daerah tersebut. Dalam perjalanan, kami selalu singgah di masjid Al-Mansyur untuk istirahat sejenak dan bersilaturrahmi dengan Kyai Haidar. Beberapa makam wali yang berhasil dilacak Gua Dur waktu itu adalah makam Syech Khuthbuddin di desa Candirejo. Makam mbah Abdullah Selo Manik, yang ada di Kalilembu, Desa Sembungan, Kec. Kejajar, Wonosobo. Makam-makam itu sekarang menjadi tempat yang ramai didatangi peziarah.
Saat anjangsana di Masjid Al-Mansyur, kyai Chaidar, selaku pimpinan masjid menjelaskan masjid al-Mansur terbuka untuk semua umat. Siapa saja yang datang dan ingin masuk ke dalam masjid diterima oleh pengurus masjid. Beliau mengisahkan para Romo Katholik, penganut kejawen dan umat Buddha sering masuk ke masjid tersebut. Masjid ini sering menerima kunjungan anak-anak dari lembaga pendidikan non muslim untuk belajar bersama. Bahkan pernah ada beberapa romo Katholik yang tinggal beberapa hari di kompleks masjid untuk melakukan penelitian dan pelatihan.
“Kami ingin menunjukkan bahwa masjid bisa menjadai sarana mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin, bukan hanya rahmatan lil’alamin” demikian kiai Chaidar sebagai pimpinan masjid al-Mansur menjelaskan pada kami. “untuk kemakmuran masjid harus bisa dirasakan semua ummat, tidak hanya ummat Islam. Maka saya membuka masjid ini untuk siapa saja yang ingin datang dan masuk ke dalamnya”. Penjelasan kiai Chaidar ini bagi kami sangat menarik. DI tengah maraknya issu formalisme dan simbolisme agama yang melarang sorang non muslim masuk masjid, di sini masjid justru dibuka untuk semua orang. Suatu tindakan. Suatu cara pandang yang inklusif, progresif dan revolusioner.
Apa yang terjadi di Kampung Seruni dan praktek keberagamaan yang dilakukan oleh Kiai Chaidar bagi kami merupakan contoh hidup merawat keberagama dan menjadi cermin dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang nyata. Melalaui sikap inklusif, toleran dan moderat warga Seruni dan ummat Islam Wonosobo bisa hidup damai dan tentram. Inilah yang membuat membut mereka memeliki kekebalan idelogis sehingga mereka bisa menolak hadirnya kelompok intoleran dan orgaisasi radikal di Wonosobo. (Bersambung) *****