Nur Kholis
Obrolan ringan dengan tajuk “Mengenal Lasem Lebih Dekat, Negeri Dampo Awang” digelar di kedai Mang Ngopi, barat kampus 1 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Minggu (19/5).
Lebih dari 20 orang datang pada acara ini, sebagian besar dari Mahasiswa IAIN Surakarta dan UMS. Semuanya tampak menikmati obrolan yang berlangsung gayeng, mengalir, renyah, sembari menyeruput kopi dan camilan yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Suasana kedai yang syahdu, bersinarkan lampu kuning remang-remang, angin sepoi-sepoi yang bertiup, ditambah rasa penasaran audiens akan Lasem, membuat obrolan semakin hidup dan hangat. Sangat berbeda dengan diskusi-diskusi di dalam kampus.
Obrolan kali ini dimulai dengan pemaparan yang disampaikan oleh Chabibah, mahasiswi UMS jurusan Hukum, asli Lasem. Ia memulai cerita dengan gambaran tentang Lasem. “Banyak predikat yang disandang oleh Lasem,” tuturnya. “Selain dikenal sebagai kota santri, Lasem juga dikenal sebagai kota batik, kota tua, dan Tiongkok kecil,” imbuhnya. Tidak hanya Chabibah, beberapa mahasiswa IAIN Surakarta asal Rembang yang turut hadir juga berbagi cerita, di antara mereka ada Nur Kholis dan Nadia Putri, keduanya dari jurusan KPI.
Hal yang paling disorot oleh audiens, yakni kehidupan Lasem yang toleran. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu padu tanpa adanya sekat. Chabibah memberi contoh bagaimana orang Tionghoa dan Jawa gotong royong, bahu-membahu mempersiapkan perayaan haul Mbah Sambu di Lasem.
Selepas pemaparan, diskusi dan tanya jawab pun mengalir, sahut-menyahut. Jarir Idris, salah satu audiens menanyakan perihal toleransi di Lasem, “bagaimana cara meniru atau mengaplikasikan kehidupan Lasem yang begitu toleran ke Solo?”
Chabibah mempersilakan audiens yang berdomisili Solo untuk meresponsnya. Ada beberapa respons yang dilontarkan oleh audiens, komentar paling menarik disampaikan oleh Fajar Mukti, “orang-orang Solo itu terlalu halus, diam saja melihat praktik intoleran, harusnya orang-orang yang toleran angkat bicara, lawan orang-orang radikal, jangan diam saja, hal ini juga disampaikan Kiai Rembang, Gus Baha.”
“Membentuk budaya seperti di Lasem, tidak semudah membalik tangan, pastinya membutuhkan waktu yang panjang,” imbuh Fajar, Mahasiswa KPI.
Di akhir acara, pengelola kedai Mang Ngopi, Tri Widianto, mahasiswa KPI IAIN Surakarta menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh hadirin yang dating. Ia juga berpesan agar mahasiswa tetap semangat berkarya. Harapannya, Mang Ngopi bukan hanya sekadar kedai, tapi dapat menjadi tempat yang nyaman untuk menyalurkan ide, ekspresi, diskusi, dan berkarya dalam bidang apapun.
Mahasiswa KPI IAIN Surakarta