Abdul Mustaqim*

Pemilu merupakan salah satu wasilah untuk memberikan saluran aspirasi bagi semua warga negara dalam rangka menentukan calon pemimpin terbaik di masa depan. Pemilu juga menjadi salah satu resolusi konflik bagi berbagai pihak yang menginginkan calon pemimpin yang diusungnya. Mereka tidak perlu memaksakan kehendaknya dengan cara-cara kekerasan, melainkan cukup diwadahi dengan mekanisme pemilu. Maka nantinya, siapapun yang menang dan ditetapkan secara resmi oleh KPU, semua pihak mesti legowo, mau menerima hasil pemilu secara lapang dada. Tidak perlu ada people power. Dalam falsafah Jawa selalu dikatakan ,”nek menang ojo umuk nek kalah ojo ngamuk“.

Bangsa ini sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi.
Yang justru perlu diantisipasi jelang pemilu ini adalah residu residunya. Karena hal ini akan menyebabkan kecacatan moral pemilu itu sendiri yang mestinya bersifat LUBER, langsung Umum Bebas dan Rahasia.
Lalu apa saja residu residu pemilu yang perlu diwaspadai?

Pertama, Politisasi agama, yaitu menjadikan agama dan teks-teks keagamaan sebagai upaya -upaya justifikasi untuk kepentingan politik praktis melalui mimbar mimbar khutbah atau pengajian di tempat tempat ibadah, baik masjid, gereja, wihara klenteng dan sebagainya. Pemilu ini lebih merupakan hal yang profan, jangan disakralkan. Tidak perlu ada intimidasi misalnya, jika tidak pilih paslon no tertentu, nanti ia masuk neraka, atau kalau pilih calon tertentu jaminannnya pasti surga.
Mestinya, masyarakat diajak berpikir cerdas dan waras, siapa yang visi misinya dinilai lebih realulistis dan lebih baik. Ancaman ancaman yang berbau politisasi agama justru menunjukkan ketidakdewasaan beragama. Agama itu mestinya hadir dalam pesta pemilu dalam bentuk nilai- nilai keluhuran. Mari kita berpemilu yang santun, tidak anarkhis. Mari kita tetap menjaga kerukunan ukhuwwah, meskipun pilihan kita berbeda.

Kedua, politik uang (money politic). Politik uang tentu sangat berbahaya bagi proses demokrasi kita. Bukan hanya itu, praktik politik uang justru akan merugikan masyarakat itu sendiri dalam menentukan pemimpin masa depan yang credible, acceptable dan capable. Maka politik uang harus kita lawan. Politik uang harus kita jadikan common enemy (musuh bersama). Jangan lagi kita berfikir, terima uangnya, tapi tidak kita pilih orangnya. Bagaimanapun politik uang adalah haram, sebagaimana juga disebut dalam salah satu fatwa MUI. Jika calon pemimpin itu terpilih karena politik uang, maka hampir pasti dia akan berpikir bagaimana cara mengembalikan modalnya. Implikasinya, dia akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sebaliknya, jika dia terpilih murni karena kualitas dan dukungan mayoritas rakyat, maka harapan mewujudkan pemimpin yang bersih dan anti korupsi semakin nyata.

Ketiga, penyebaran hoax. Penyebaran hoax berita bohong dan hate speach juga harus kita waspadai. Jangan mudah menshare info- info yang tidak jelas kebenarannya dari kubu manapun datangnya.

Dalam QS, al-Hujurat ayat 6, Al-Quran menyatakan supaya kita melakukan tabayyun (klarifikasi check and recheck), agar tidak menjadi bencana dan musibah bagi masyarakat.

Sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti bahwa penyebaran berita bohong atau hoax terkait dengan isu politik ter nyata menduduki rangking tertinggi. Oleh sebab itu, abaikan saja kalau kita menerima berita hoax tersebut. Pendek kata perlu saring sebelum sharing.

Akhirnya, semoga kita bisa melakasanakan pemilu dengan damai jujur dan adil, terhindar dari residu-residu pemilu yang bisa menciderai pemilu. Semoga!

*Ketua Prodi IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengasuh PP Lingkar Stdi Quran (LSQ) Ar-Rohmah Yogyakarta.

Komentar