Hiasan flashlight dan iringan hadrah berdendangkan Deen As-salam bersautan menyambut kehadiran Gus Miftah di lapangan utama IAIN Surakarta. Gus Miftah ikut serta menyemarakkan perhelatan Miladiyah UKM JQH-Al Wustha ke-7 yang mengusung tema “Bersama JQH Memperkokoh Budaya Islam di Nusantara” yang dihelat Kamis, 22 Agustus 2019.
Jamaah berbondong-bondong memenuhi area lapangan sampai meluber ke badan jalan. Terlihat berbagai atribut ormas dan pecinta kyai dan salawat. Mulai dari peci berlafaz NU, Jasket PMII hingga KAMMI menghadiri pengajian ini. Dapat terlihat pengajian kolosal seperti ini menyatukan khasanah keberagamaan Islam Indonesia. Mereka berpayung satu dengan tujuan untuk memperoleh keberkahan ilmu syariat.
Seperti biasa, pengajian dibuka dengan guyonan khas Gus Miftah. Gelas kecil berisi kopi kurang kental dijadikan ironi yang ditujukan pada panitia. Jomblowan-jomblowati juga menjadi pihak paling tersindir dan terpingkal di awal acara.
Dalam kajiannya, beliau menyampaikan tentang dirinya yang sulitnya move on dari kepergian Mbah Kyai Maimoen Zubair. Kyai kharismatik yang dalam kaca mata beliau dianggap sebagai pakubumi-nya Indonesia. Kyai yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang searah dengan semangat perjuangan agama Islam rahmatalilalamin.
“Allah tidak akan mencabut ilmu dari dunia secara langsung, melainkan dengan diwafatkannya ulama” terang beliau. Beliau menyampaikan wafatnya Mbah Moen ialah kematian alam. Dimana cahaya terang keilmuwan perlahan diredupkan dengan diwafatkannya ulama.
Susah move on-nya Gus Miftah juga didasarkan pada kekaguman beliau atas intimnya hubungan Mbah Moen dengan Allah sang pencipta. Sampai apa yang dicintai Mbah Moen terkabul di akhir hayatnya. Mulai dari meninggal hari Selasa, terwafatkan di Mekkah hingga dikuburkan satu lahan dengan sosok panutan yang sangat dikaguminya, Sayyidah Khadijah.
Gus Miftah menyampaikan bahwa Mbah Moen adalah tokoh pelebur warna politik Indonesia. Latar belakang politik Mbah Moen adalah partai hijau basis Islam (PPP). Namun, warna politik lain mulai dari merah hingga kuning bersama menghormati dan menghargai kehadiran Mbah Moen sebagai tokoh Bangsa. Mbah Moen ibarat tetes embun yang menghadirkan kesejukan di tengah gerahnya kemarau perpolitikan Indonesia.
Mbah Moen juga menjadi tokoh sentral toleransi keberagamaan Indonesia. Sosok kyai moderat yang tak mudah memberikan cap serampangan pada lain aliran. Sosok yang mengayomi semua berdasar rasa kemanusiaan tanpa mempertajam sekat perbedaan. Wafatnya mbah Moen bukan saja menjadi kesedihan umat Islam. Umat Kristen, Katholik, Hindhu, Budha dan Konghucu sama-sama merasakan kehilangan. Doa-doa dipanjatkan bersatu mengiringi kepergian sosok panutan.
Itulah beberapa alasan susah move on-nya Gus Miftah yang dicurahkan di malam puncak Miladiyah JQH-Al Wustha IAIN Surakarta. Beliau menegaskan tentang langkanya sosok ulama yang memperkokoh harmonisnya nilai agama dan bangsa.
Dan sekarang ini, Indonesia butuh banyak pakubumi pemerkokoh NKRI bukan catutbumi yang menggoyahkan keutuhan NKRI.
Beliau mengharapkan Mbah Moen-Mbah Moen lain dapat hadir dari kawah candradimuka keilmuwan Islam ramah, IAIN Surakarta.
Sumber tulisan: Panji Putra Ariyanto (Anggota Divisi Salawat JQH-Al Wustha IAIN Surakarta)
Masyaallah