Islamsantun.org – Kemajemukan dan kekayaan Indonesia akan keanekaragaman yang dimilikinya memang hal yang menguntungkan bagi Indonesia itu sendiri. Namun, dibalik indahnya keragaman tersebut, ternyata juga menyimpan berbagai ancaman yang dapat menyebabkan perpecahan. Berbagai isu yang dirasa sensitif juga menjadi ajang untuk saling menjatuhkan bahkan rela bertumpah darah.
Salah satu yang menjadi isu sentralistik saat ini adalah berkaitan dengan keagamaan. Otoritas keagamaan menjadi sebuah permainan bagi mereka yang haus akan pengakuan. Sebagian besar konflik keagamaan ini terkait dengan isu komunal keagamaan, seperti muslim-kristen dan penodaan agama. Tak jarang dalam beberapa dekade terakhir muncul istilah-istilah seperti radikalisme yang mana dapat mengundang adanya perseteruan bahkan dalam pemeluk satu agama.
Perkembangan zaman dan teknologi ternyata juga menjadi penyebab tidak terkendalinya otoritas keagamaan bahkan dapat meruntuhkan otoritas tradisional dan modern sekaligus, yang mana oleh Nicholas disebut sebagai the death of expertise. Walaupun tidak selamanya berkonotasi negatif, akan tetapi adanya media semakin meringankan beban mereka yang menggelarkan pemahaman-pemahaman yang dianggap ekstrim dan liberal.
Sebut saja di tahun 2000, terdapat kelompok yang mempraktikkan bom bunuh diri yang mengatasnamakan ajaran tertentu dan hal tersebut menyebar dengan sangat cepat di berbagai lapisan masyarakat. Hal seperti ini mengakibatkan adanya kecondongan terhadap pemahaman tertentu yang mana tentu saja dapat merusakan keharmonisan yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Moderasi beragama diharapkan mampu menjadi solusi di tengah polemik keagamaan yang dirasakan oleh masyarakat. Moderasi beragama ini dapat dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama yang berbeda. Jalan tengah inilah yang diyakini akan menghindarkan masyarakat dari sikap ekstrem dan ekslusif yang berlebihan. Moderasi beragama ini diharapkan terekspresikan dalam bentuk toleransi aktif yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni sosial di seluruh wilayah Indonesia khususnya di kota Ternate yang akan menjadi titik fokus pada penlelitian ini.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Ternate selama 13 hari pada 7-19 Oktober 2019. Pemetaan awal dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari jejaring lokal, berita, dan dokumen yang terkait dengan penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan yang telah diidentifikasi terlebih dahulu ketika peneliti melakukan proses penjajakan lapangan. Informan berasal dari unsur negara (pemerintah) dan masyarakat sipil (organisasi masyarakat dan tokoh adat) yang memiliki pengaruh riil di masyarakat.
Pendekatan yang digunakan, dalam penelitian yang menjadi tulisan makalah ini, adalah analisis teori grounded. Untuk menganalisis data yang ada, mula-mula akan dilakukan koding. Hasil dari koding akan dijadikan konsep. Dari konsep yang ada, dibuat kategori, kemudian ditarik hipotesis. Hipotesis yang diuji pada akhirnya akan dikemukakan sebagai hasil analisis penelitian.
Temuan Penelitian
Masyarakat Ternate merupakan masyarakat yang plural dan multikultural. Karena sifatnya yang multikultural, masyarakat Ternate terbiasa terbuka dan menerima keragaman pandangan baik dari sisi suku, agama, ras, maupun antar budaya, termasuk di dalamnya meliputi perbedaan pandangan aliran keagamaan. Dalam tradisi masyarakat Ternate dikenal istilah bala kusu sekano-kano. Istilah ini menjadi kearifan lokal yang terus-menerus disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi, yang memungkinkan upaya penguatan moderasi beragama di masyarakat Ternate.
Sikap terbuka masyarakat Ternate salah satunya terlihat dari aktivitas-aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan. Akan tetapi sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, masyarakat Ternate juga patuh terhadap Keputusan Pemerintah Pusat seperti peniadaan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Toleransi intra-agama di Kota Ternate sangat berpotensi ke arah yang baik ketika ormas-ormas di Ternate, selain dengan ormas yang dilarang oleh pemerintah tentunya, dapat bekerja sama dan saling memahami satu sama lain. Akan tetapi, ormas tersebut akan bersinggungan dengan masyarakat Ternate manakala bertentangan dengan kultur yang ada di Ternate, seperti praktik Syiah oleh kelompok Syi’ah Ja’fariyah yang tidak sesuai dengan yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Dalam kasus lain, sekelompok Jemaat GPdI Ternate El-Shaddai Ternate juga dilarang beroperasi karena membuka Persekutuan Doa tanpa berkonsultasi dengan Pdt. Ruddy Killa sebagai Gembala Jemaat.
Interaksi umat beragama di Ternate sangat cair dan dinamis. Toleransi yang dimiliki masyarakat Ternate juga dapat dilihat dari pembangunan rumah ibadah masing-masing agama dalam jarak yang berdekatan. Di samping berdirinya masjid di tiap sudutnya, di wilayah selatan juga berdiri rumah-rumah ibadah agama nonmuslim: Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, Vihara, dan Kelenteng. Pengaturan rumah ibadah ini merupakan warisan (kebijakan) masa lalu dari Kesultanan Ternate yang diadopsi oleh pemerintah kota. Keberagaman ini menjadi pondasi struktur sosial masyarakat Ternate yang pluralis dan multikultur.
Dalam menyelesaikan suatu perkara, masyarakat Ternate cenderung merujuk kepada pendekatan adat yang bernuansa kekeluargaan. Walaupun masih ada cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga dalam problem solving, ada dan berfungsinya lembaga pemerintah seperti Kementerian Agama dan Kesbangpol, lembaga-lembaga yang dibentuk atas inisiasi masyarakat dan pemerintah seperti FKUB dan FPK, ormas keagamaan, lembaga adat, serta warisan kultural dari Kesultanan Ternate, yang dengannya meraka menyelesaikan permasalahan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, mengindikasikan bahwa masyarakat Ternate juga memiliki sikap anti kekerasan.
Sikap positif yang dipancarkan oleh masyarakat Ternate berasal dari tradisi-tradisi kesultanan yang dirawat hingga kini. Ada beberapa tradisi yang sarat akan nuansa Islami yang masih dilakukan oleh masyarakat Ternate. Misalnya, integrasi agama dan budaya dalam kehidupan sosial masyarakat Ternate tercermin dalam adat segulaha sebagai salah satu aturan dasar, pedoman, dan pengaturan tata nilai. Selain itu ada ritual Fere Kie dan Kololi Kie yang dianalogikan seperti peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Demikian pula ritual Dabus, Badabus atau Taji Besi juga merupakan bagian dari eksistensi Islam.
Kesimpulan
Moderasi beragama di Ternate dapat dikatakan baik. Beberapa penemuan yang mendukung hal tersebut yakni adanya tradisi istilah bala kusu sekano-kano, penyeleksian ormas yang sesuai norma agama, pembangunan tempat peribadatan yang saling berdekatan, dan terlaksananya adat segulaha. (ANS)
*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020.