Para ulama atau cendekia yang memiliki pengalaman dan penguasaan keilmuan yang memadai tidak boleh hanya berdiam diri saja di belakang meja. Ada banyak masalah yang ada di lingkup Jawa Tengah ini yang menunggu kontribusi nyata dari para ulama dan cendekia. Hal ini disampaikan oleh Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah KH. Ubaidullah Shodaqoh dalam sambutan pembukaan “Forum Pakar Nahdlatul Ulama Jawa Tengah” yang diselenggarakan atas kerjasama PWNU Jawa Tengah, Lakpesdam PWNU Jawa Tengah dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Forum yang pertama kali digelar ini bertajuk Inisiasi Peta Jalan Kelembagaan NU Jawa Tengah untuk Kemaslahatan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045 pada Kamis pagi (13/02/2025). Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai akademisi dan tokoh NU Jawa Tengah. Di antaranya Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH. Ubaidullah Shodaqoh, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah, KH. Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin), Dekan FISIP UNDIP, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin dan Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Tengah, M. Zainal Anwar, M.S.I. Akademisi lain berasal dari berbagai kampus negeri dan swasta di Jawa Tengah misalnya Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Semarang (USM), Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS), UIN Walisongo, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, IAIN Kudus, dan UIN Raden Mas Said Surakarta. Dari Yogyakarta juga hadir sebagai peninjau, yakni akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
KH Ubaidullah Shodaqah mengatakan bahwa ada banyak persoalan dan tantangan di masyarakat Jawa Tengah yang hingga saat ini masih belum terpecahkan, misalnya soal pengangguran, penghasilan rendah bagi kelas bawah dan sebagainya. “Dengan kondisi tersebut, NU tidak boleh acuh dan harus mengambil peran. Para akademisi harus ikut terlibat dan mau mengurusi urusan umat. Terutama bagi para profesor yang harus mau ikut terlibat permasalahan masyarakat,” tegas pengasuh Pondok Pesantren Al – Itqon Kota Semarang – Jawa Tengah.
Penyelenggaraan diskusi Forum Pakar NU Jawa Tengah ini juga disambut baik Dekan FISIP UNDIP Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. “Fisip UNDIP memiliki komitmen untuk terlibat dalam diskusi ilmiah berkaitan dengan penguatan organisasi keagamaan sebagian bagian dari masyarakat sipil dan berkontribusi positif dan nyata dalam perubahan sosial. Hal ini juga sejalan moto Fisip UNDIP yakni bermartabat bermanfaat,” ujarnya. Turut mendampingi Dekan Fisip adalah Sekretaris Senat FISIP UNDIP, Dzunuwanus Ghulam Manar, M.Si.
Peran Nahdlatul Ulama dalam Perubahan Sosial
Sementara itu, KH. Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) menekankan bahwa pertemuan forum pakar ini merupakan lanjutan dari kegiatan Muktamar Ilmu Pengetahuan PWNU Jawa Tengah di UNS Solo pada bulan Desember 2024 lalu. Gus Rozin menegaskan bahwa NU harus terus menghidupkan kembali gerakan masyarakat sipil dengan pendekatan yang relevan terutama pasca-Reformasi 1998. “Pada Pasca-Reformasi gerakan (seperti NU) ini sudah berbeda. Harus dipahami masyarakat sipil sekarang ini tidak harus vis a vis dengan negara seperti zaman akhir pemerintahan Orde Baru,” jelas Gus Rozin.
Gus Rozin mengatakan bahwa NU perlu mencari relevansi sebagai civil society pada era kekinian di hadapan Pemerintah. Itulah kenapa tema “memperdalam peta jalan” NU menjadi bagian dari agenda “Forum Pakar NU Jawa Tengah” kali ini. Gus Rozin juga menyoroti jurang ekonomi masyarakat di Indonesia, “Kelompok 50 persen terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5 persen dari total kekayaan rumah tangga nasional. Pertanyaannya kemudian, ada di mana posisi NU? Tentu saja ada di kelompok 50 persen yang ada di bawah itu.” Artinya, lanjut Gus Rozin, NU memiliki tanggung jawab besar dalam mengadvokasi kepentingan banyak masyarakat di Indonesia. “Pada posisi itulah peran civil society NU kali ini bisa ditempatkan,” ujarnya.
Gus Rozin juga mendorong agar NU bisa semakin berperan optimal dalam masyakarat luas. “Tidak hanya secara kultural, tapi juga sistematis dan masif sehingga bisa lebih kuat dibandingkan kelompok-kelompok lainnya di hadapan pemerintah,” imbuh Gus Rozin. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda (PMH) Kajen, Pati, Jawa Tengah ini menekankan bahwa di dalam data ketimpangan sosial, hampir pasti warga NU berada di kelas bawah dan menengah bawah. “Karena itu, NU harus menjadi nahkoda dalam perubahan sosial dengan segala perangkat, potensi dan aset yang dimiliki,” ujar Gus Rozin.
Peta Jalan Organisasi Nahdlatul Ulama
Gus Rozin menyampaikan bahwa selama ini NU sudah melakukan kerja-kerja sosial keumatan sebagai modal utama sebagai organisasi masyarakat sipil. “Yang dibutuhkan adalah bagaimana peran yang ada saat ini dibuat lebih sistematis dan memiliki peta jalan yang jelas terutama ketika menghadapi berbagai tantangan sosial, politik dan ekonomi yang ada,” ujar Gus Rozin.
Merespons pernyataan Gus Rozin, Prof. Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc., M.Si., Rektor IAIN Kudus, menyampaikan bahwa NU tetap dapat berperan sebagai civil society meskipun dalam berbagai kondisi yang berbeda. “NU memiliki potensi kuat sebagai civil society, tetapi peran ini bisa berubah sesuai kondisi zaman. NU harus tetap menjadi penyeimbang antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah. “Sekarang zaman lebih terbuka sehingga masyarakat bisa ikut ke dalam pemerintahan atau birokrasi, tapi tetap tidak mengurangi NU sebagai civil society. Bagaimana langkah konkretnya? Yakni dengan memposisikan NU sebagai penyeimbang Pemerintah,” jelas Prof Kasdi.
Melanjutkan hal itu, Prof. Ahmad Syakir Kurnia, Guru Besar dari FEB UNDIP Semarang, menyoroti bahwa NU harus memperjelas posisinya. Apalagi tantangan besar bagi NU belakangan ini adalah merespons perilaku elite pemerintahan yang seringkali berorientasi pada self-interest. “Sayangnya, orang-orang yang menjalankan negara ini ada yang self-interest, atau punya ketertarikan atau kepentingan terhadap dirinya sendiri. Mestinya kita tidak terseret tidak terbawa arus ke dalam arus seperti itu, arus self-interest dalam civil society. NU harus memperjelas diri, sebenarnya kita mewakili kepentingan siapa? Saat ini kita akan seperti apa? Kita harus merefleksikan diri,” ujarnya sambil menekankan pentingnya pengawalan NU terhadap program-program pemerintah seperti program “Makan Bergizi Gratis” agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Melanjutkan hal tersebut, Dr. Agus Riyanto, Dosen UNWAHAS Semarang, menegaskan bahwa NU harus menjadi mediator yang dapat memengaruhi arah politik negara untuk kepentingan masyarakat, tanpa terjebak dalam politik praktis. “Peran NU harus bisa menjadi mediator, berada di tengah. NU itu tidak perlu alergi dalam berpolitik, tapi harus memiliki peran-perannya ke dalam masyarakat. Bahkan bisa memengaruhi arah politik negara untuk kepentingan masyarakat,” jelasnya.
Dalam ranah pendidikan, Rindang Farihah, M.A., Dosen UNU Yogyakarta, menekankan bahwa pembangunan civil society harus dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan dan tata kelola pesantren yang lebih terbuka. Rindang juga menyoroti perlunya reformasi pendidikan di NU terutama dalam pemanfaatan teknologi dan transparansi tata kelola pesantren. Salah satu contoh itu kemudian diaktualisasikan dalam Program Aman Pesantren yang ia inisiasi untuk mencegah dan menangani segala macam kekerasan di lingkungan pesantren. Baik kekerasan yang berupa perundungan maupun kekerasan seksual. “Hal ini dilakukan agar pesantren bisa mencegah perilaku kekerasan dan (melakukan) respons jika terjadi tindakan seperti itu, tindakan apa yang harus dilakukan oleh pesantren tersebut,” jelas Rindang.
Isu pendidikan juga menjadi perhatian Zaimatus Sa’diyah, Lc., M.A., Dosen IAIN Kudus. Zaim menyoroti pentingnya integrasi isu ekologi dalam pendidikan pesantren dan penguatan konsep pesantren ekologis. “Ada jarak atau gap kekayaan intelektual yang dimiliki oleh sarjana NU dengan realitas. (Oleh karena itu) perlu memasukkan isu-isu ekologis dalam proses pembacaan ilmu-ilmu agama,” ujarnya.
Di sisi lain, Dr. Mayadina Rohmi Musfiroh, Dosen UNISNU Jepara, menyoroti pentingnya isu kemandirian ekonomi sebagai modal penting menjadi masyarakat sipil yang tangguh. “Ketergantungan NU terhadap swasta dan pemerintah yang seringkali tidak bebas nilai yang menyebabkan nilai-nilai NU sering tergerus,” ujar Mayadina. Ia menegaskan bahwa tidak diragukan lagi bahwa NU sangat memenuhi kualifikasi dan prasyarat sebagai masyarakat sipil. “NU punya kemandirian, sikap kesukarelawanan, ikut mengembangkan ruang publik, bisa mengimbangi negara dan sektor privat dan sebagainya. Nah, dalam konteks saat ini, daya lekat NU dengan negara menjadi satu persoalan yang perlu dicermati,” imbuhnya.
Mayadina menekankan bahwa peta jalan NU untuk menjadi masyarakat sipil dan berkontribusi nyata dalam perubahan sosial adalah dengan memperhatikan beberapa aspek misalnya kemampuan menyusun baseline situasi dan kondisi NU di Jawa tengah, kemampuan memetakan isu strategis, memetakan mitra strategis, memperkuat aspek kepemimpinan NU di semua tingkatan dan membangun kemandirian forum warga.
Menambahkan apa yang disampaikan Mayadina, Prof. Dr. Ali Masyhar, S.H., M.H., Guru Besar FH UNNES, menyoroti tentang kekuatan NU harus menjadi mitra negara yang setara, bukan sekadar instrumen kebijakan pemerintah. “NU harus bisa menjadi sosok yang digandeng negara secara equal. Kita harus jadi mitra yang kuat. Misalnya dari perspektif hukum, masyarakat NU harus lebih sadar hukum,” ujarnya.
Para pakar juga mengingatkan potensi tantangan NU sebagai masyarakat sipil. Ali Formen, Ph.D., Dosen UNNES Semarang mengingatkan bahwa NU harus percaya diri sebagai civil society dan memiliki strategi dalam menghadapi berbagai situasi dan tantangan yang beragam. “Kita sering menghadapkan diri pada pilihan-pilihan tertutup. Apakah kita memposisikan diri sebagai antagonis, protagonis, atau mediatori kepada negara. Kita harus siap dengan beberapa strategi,” ujar Ali Formen.
Salah satu cara menghadapi berbagai tantangan dan situasi yang seringkali cepat berubah, salah satu akademisi yakni Sunaji Zamroni, M.Si., Dosen UNU Yogyakarta, mengatakan pentingnya NU menjadi kekuatan konsolidator dan mampu mengkonsolidasi semua potensi yang ada. “NU harus mengonsolidasikan perannya antara negara, civil society, dan sektor swasta untuk mencapai dan menjaga keberlanjutan ekonomi, “ ujar Sunaji. “NU bisa menjadi konsolidator yang kuat di hadapan pemerintah, ketika ada kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat,” jelasnya.
Akademisi NU juga menyadari bahwa aktivisme organisasi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh politik global. Lutfi Machasin, Ph.D., Dosen UNSOED Purwokerto, menyoroti peran NU di tingkat global, khususnya dalam diplomasi perdamaian internasional, dengan mempertimbangkan pergeseran perhatian dunia Islam dari Timur Tengah ke Asia. “Kita perlu mendiskusikan peran geopolitik NU pada level internasional. NU harus hadir dan berkontribusi terhadap proses perdamaian dunia,” ujarnya.
Pada akhir sesi, Gus Rozin mengatakan bahwa ada satu kesepahaman bahwa diskusi berkaitan dengan peran negara, masyarakat sipil dan sektor privat perlu diperdalam. “Saya sepakat bahwa diantara kuatnya state dan sector private, maka civil society harus lebih kuat,” ujar Gus Rozin. Mantan Ketua RMI PBNU ini juga menyambut baik gagasan konkrit tentang perlunya NU melakukan konsolidasi agar ada pemikiran dan aksi yang lebih besar dan kuat. “Saya kira kita tidak kita tidak mau terjebak pada protagonis, antagonis dan mediatoris. Ini kadang bisa menjebak dan tidak memperjelas kita yang terkadang bisa terjebak pada ketidakjelasan posisi,” imbuh Gus Rozin.
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Tengah, M. Zainal Anwar menjelaskan bahwa acara Forum Pakar NU Jawa Tengah ini merupakan arena ilmiah yang disiapkan Lakpesdam PWNU Jawa Tengah untuk mengkonsolidasi kekuatan cendekia yang ada di lingkungan NU Jawa Tengah. “Kami ingin forum ini melahirkan pemikiran yang konkrit dan praktis untuk menjawab kebutuhan NU sebagai organisasi masyarakat sipil berbasis sosial keagamaan,” ujar Zainal.
Zainal yang juga dosen prodi Pemikiran Politik Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta, menegaskan bahwa Lakpesdam PWNU Jawa Tengah akan berikhtiar mempertemukan gagasan yang ada di kader dan pakar NU di lingkup Jawa Tengah. “Karena itu, sebelum kegiatan Forum pakar ini, Lakpesdam PWNU Jawa Tengah telah menyelenggarakan acara Forum Kader di Semarang raya dan Banyumas raya sebagai arena menyerap isu strategis yang ada di daerah masing-masing,” imbuh Zainal.
“NU Jawa Tengah memiliki perangkat organisasi yang nyaris komplit untuk memenuhi prasyarat sebagai organisasi masyarakat sipil. Karena itu, Lakpesdam PWNU Jawa Tengah juga akan terus mengkonsolidasi internal lembaga dan badan otonom NU agar solid dan tangguh sehingga mampu berkontribusi nyata dalam perubahan sosial di lingkup Jawa tengah,” terang Zainal.[]
Kontak lembaga
- Zainal Anwar/Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Tengah/08572510012
Khasan Ubaidillah/Sekretaris Lakpesdam PWNU Jawa Tengah/085329668200