Alfin Miftahul Khairi*
Berita di Detik.com (11/05) dengan judul “Geger Karateka Nasional Masuk Jaringan Teroris” membuat saya geleng-geleng kepala. Sepertinya mereka (teroris) bergerilya mencari pemuda untuk dijadikan aset pergerakannya. YM alias Kautsar (18) terindikasi adalah anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi. Jaringan teroris yang sudah malang melintang di dunia terorisme.
Ditangkapnya YM berawal dari tertangkapnya EY alias Rafli, amir sekaligus donatur kelompok teroris JAD Bekasi dan JAD Lampung, oleh tim Densus 88 Antiteror Polri di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (8/5) siang. YM dikader langsung oleh EY selama setahun. Pengkaderan YM bukan karena sebab, selain mahir dalam beladiri karate YM memiliki idealisme dan wawasan yang tinggi. EY melatihnya dalam merakit bom.
Hal itu diperkuat dengan ditemukannya pelbagai alat untuk merakit bom. YM alias Kautsar ditangkap di sebuah rumah kontrakan di Bekasi pada hari Rabu (8/5) pukul 20.33 WIB. Dari tangannya, polisi menyita laptop, hardisk, buku catatan, pisau cutter, obeng, lakban, remote control mobil, baterai dan komponen listrik.
Kejadian serupa pernah terjadi juga pada mahasiswa kami di tahun 2016 lalu. KF (22) masih tercatat sebagai mahasiswa semester 9 IAIN Surakarta kala itu. Sejumlah barang bukti yang ditemukan polisi di kamar indekosnya tidak mungkin bisa terbantahkan bahwa KF terlibat terorisme. Alat-alat untuk merakit bom tersusun rapi di kamar indekosnya. Sebagaimana yang diwartakan oleh solopos.com (16/12/2016).
Di ranah internasional, kita dikagetkan apa yang terjadi di Sri Lanka. Dalam situs bbc.co.uk (28/4) dengan judul “Sri Lanka Attacks: What We Know About The Easter Bombings” melaporkan bahwa peristiwa bom yang terjadi menewaskan 359 orang dan 500 lainnya terluka parah. Selain di tiga gereja, lokasi kejadian juga di tiga hotel. Yang memprihatinkan, pelaku bom bunuh diri berasal dari orang yang berpendidikan tinggi dan dari keluarga menengah ke atas. Miris. Dan masih usia muda pula.
Tiga kasus di atas membuktikan bahwa remaja mudah sekali terpapar paham radikalisme. Ghiroh atau semangat mempelajari agama Islam yang tinggi tidak dibarengi dengan guru yang tepat dan sumber rujukan atau referensi keilmuan yang jelas. Mudahnya mencari informasi di internet menambah keruwetan dalam memilah-milih sumber referensi yang jelas dan valid. Justru itu menjadi makanan empuk bagi mereka (teroris) untuk merekrutnya. Seolah-olah mereka adalah dewa penolong menuju jalan yang benar.
Bukti konkritnya, saat saya menjadi penguji SKL Ibadah mahasiswa baru, yang lancar membaca Al-Qur’an dengan tartil dan tajwid yang benar bisa dihitung jari, sekitar lima orang. Belum lagi kalau mereka disuruh menulis dalam bahasa arab, jauh dari kata sempurna. Pertanyaan seputar ibadah amaliyah pun, seperti shalat, thaharah (bersuci), tidak bisa diharapkan juga. Apalagi bagi mereka (mahasiswa) yang kuliah di perguruan tinggi umum bukan keagamaan. Sekedar bertanya dalam diri.
Jadi tidak mengherankan, jika gerakan hijrah saat ini menjadi booming. Yang diramaikan juga oleh para artis ibukota. Meski ujung-ujungnya adalah komersialisasi busana muslim yang mereka kenakan. Bagaimana ingin hijrah jika membaca Al-Qur’an saja tidak benar? Apalagi membaca sumber referensi agama Islam dari kitab kuning yang tidak berharokat itu. Akan menjadi masalah jika apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis kita telan mentah-mentah. Tanpa memperhatikan keilmuan terkait tentang keduanya seperti asbabun nuzul dan mustholah hadis.
Dalam tulisan ini saya ingin menyadarkan bahwa radikalisme bisa mengenai siapa saja. Tidak perlu memnadang agama, ras atau pun suku. Semua bisa menjadi korbannya. So, mari kita selalu memperdalam ilmu tentang agama yang kita cintai ini. Jangan sampai apa yang kita pahami merugikan orang lain ketika kita berbuat. Bukankah Allah Maha Penyayang dan Maha Pengasih? Bagaimana dengan kita?