Catatan Perjalanan Anjangsana Pancasila #4

 

Perbincangan di Kampoeng Dolanan siang itu menjadi semakin hangat dan menarik, ketika para tokoh penggerak seni memaparkan pengalaman dalam merawat tradisi dan membina umat melalui jalur seni. Setelah Pak Bambang menjelaskan kandungan nilai-nilai Pancasila melalui wayang Jataka dan Mbah Coro dengan ritual Ruwat Rawat Candi Borobudur, selanjutnya giliran mas Umar, seorang pelukis dan pematung yang memiliki sanggar dan galeri lukis. Umar menjelaskan bahwa pontensi seni lukis masyarakat bisa dijadikan sebagai media merawat keberagaman dan mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini dia buktikan keberadaan sanggar yang dibinanya, di sanggar itu semua orang bisa datang untuk berkreasi dengan perasaan gembira.

Ada juga mas Sujono, pengelola sanggar Saujana dan sanggar Kaki Mungil. Sanggar ini mendidik anak-anak kecil untuk mencintai alam, menghargai perbedaan melalui kesenian. Untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal, Sujono menciptakan wayang seranggga, yaitu wayang yang tokoh-tokohnya adalah serangga.

“Melalui wayang serangga ini, kami ingin memperkenalkan jenis-jenis binatang yang ada di sekitar kita kepada anak-anak. Karena sekarang seranggapun sudah banyak yang punah karena kena pestisda.  “Dengan cara ini anak-anak akan bisa berdialog dengan serangga melalui wayang sehingga tumbuh rasa cinta lingkungan” demikian Sujono menjelaskan. Di sanggarnya Sujono tidak hanya melatih berkesenian, tetapi juga bertani dan mengolah lahan untuk bertahan hidup.

Hari itu hadir seorang seniman tradisional, penggerak seni gejog lesung, Andun Zainen. Dia mendirikan sanggar Ngaras Ati yang berasal dari desa Srumbung, lereng gunung Merapi. Dia mengisahkan mengapa memilih menghidupkana seni gejog lesung.  “Ini bukan soal romantisme masa lalu” katanya memulai pembicaraan. Selanjutnya dia menjelaskan: “Saya melihat gejog lesung sebagai kesenian eksotik dan antik karena ada unsur kekunoan, lebih dari itu ada nilai-nilai yang bisa digali dari kesenian tersebut. Pertama, nilai gotong rotong, yaitu bekerja bersama untuk mencapai hasil yang bisa dinikmati bersama-sama. Kedua, nilai kerja keras. Kesenian ini bermula dari menumbuk padi menjadi beras agar bisa dimasak menjadi nasi. Ini menunjukkan jika seseorang ingin menikmati hasil maka dia harus bekerja keras. Ketiga, nilai harmoni dan toleransi, menumbuk padi di lesung tidak asal menumbuk karena mereka bekerja bersama dengan yang lain kalau asal tumbuk bisa benturan antar sesama. Oleh karenanya, masing-masing orang harus saling bergantian secara teratur menjatuhkan alu (penumbuk) agar semua orang bisa berpartisipasi secara seimbang”.

Seni gejog lesung ini berasal dari stradisi masyarakat desa menumbuk padi. Biasanya dilakukan saat ada yang menyelenggarakan hajatan (pesta). Karena membutuhkan beras dalam jumlah besar keperluan hajatan, maka para tetangga membantu menumbuk padi. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat menumbuk padi secara perorangan di lumpang, bukan di lesung. Saat gotong royong menumbuk padi inilah mereka menemukan ritme dan harmoni ketukan yang bernilai artistik dan musikal hingga akhirnya kegiatan gejog lesung menjadi kegiatan kesenian yang mengandung nilai-niai luhur Pancasialis sebagaimana dipaparkan di atas. Diperlukan kepekaan rasa untuk menjaga harmoni, ketukan dan tempo agar ritme tidak rusak. Dan ini artinya gejog lesung bisa dijadikan sarana mengolah rasa dan meningkatkan kepekaan untuk empati dan peduli pada sesama.

Mengenai olah rasa untuk peduli pada alam dan sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama dan etnis ini juga disampaikan oleh Darma Wijaya, pemimpn sanggar Dua Atap. Di sanggar ini Darma  melatih anak-anak untuk melukis dan manari. Melalui kesenian Darma menanamkan nilai-nilai luhur dan mengenalkan tradisi yang diwariskan oleh para leluhur dalam hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan lingkungan. Bebebrapa kali sanggar ini melakukan seni ritual untuk menjaga lingkungan, diantaranya ritual seni bakti sungai, suatu pagelaran seni pertunjukan yang sarat dengan nilai spiritual untuk menggugah kesadaran masyarakat agar peduli pada sungai.

“Dulu sungai adalah rumah yang nyaman bagi ikan, tapi sekarang sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Ikan di sungai mati karena racun limbah dan disetrum. Melalui seni ritual ini kami mengajak masyarakat untuk kembali menjaga ekosistem sungai” demikian Darma menjelaskan.

Sementara itu, Adhang Legowo, salah seorang penggagas dan penggerak jamaah kopdariyah menceritakan tentang aktifitas menjaga dan merawat keberagaman melalui jamaah Kopdariyah. Jamaah ini merupakan ajang silaturrahim dan berbagai rasa antara warga medsos. “Saya ngeri dan sedih melihat fenomena orang saling mencaci dan bermusuhan di medsos dengan kata-kata nista dan kasar. Kami menduga mereka bisa melakukan itu semua karena tidak bertemu langsung, kalau mereka bertemu, mungkin hal seperti itu tidaka akan terjadi” kata Adhang. “kemudian saya dan teman-teman memiliki gagasan mendirikan jamaah kopdariyah (kopi darat) untuk menyambung hati. Dan alhamdulillah setelah bertemu darat, mereka yang saling mencaci di medsos ternyata bisa bercanda dan akrab, terjadi perbedaan sikap yang berbalik saat di mendos dengan saat kopi darat di jamaah kopdariyah. Akhirnya jamaah kopdariyah ini menjadi ruang pertemuan lintas iman, lintas budaya dan lintas etnis. Dan semua merasa nyaman bertemu dan berada di majlis kopdariyah.

Yang tidak kalah menarik adalah suasana di Kampoeng Dolanan. Sanggar yang digagas Abbet Nugraha ini merupakan tempat bermain bagi ana-anak. Ada puluhan permainan tradisional yang bisa dimainkan disanggar ini, mulai Gobak Sodor (Galasin), Sudamanda, Egrang, Engklek, dan sebagainya. Disanggar ini juga ada musik tradisional yang bisa dimainkan anak-anak dan orang dewasa, seperti angklung, gendang Jawa, Siter, seruling dan sejenisnya. Pada hari-hari biasa, seblum wabah Pandemi Covid-19 menyebar, sanggar ini banyak dikunjungi pelajar mulai TK, SD, SMP bahkan SMA. Mereka datang dari Magelang dan luar kota, beberapa dari Jakarta. Di Kampung Dolenan mereka tidak sekedar bermain permainan tradisional, tetapi juga praktek membuat perakatan dolanan. Selain itu, di Kampung Dolanan anak-anak bisa berlatih gotong royong, kerjasama dan peduli. Dengan demikian sanggar ini menjadi sarana edukasi penanaman nilai-nilai Pancasila.

Semua kegiatan para seniman ini dibiayai secara mandiri, ada yang dengan mengelola kebun pertanian, membuka galeri atau melayani panggilan pentas. Meski dengan dana yang seadanya mereka tetap berusaha melaksanakan aktivitas untuk menjaga dan merawat tradisi. Mereka merasa berkesenian merupakan panggilan jiwa sekaligus media edukasi menanamkan nilai-nilai kepada generasi muda. Hal inilah yang membuat mereka bertahan di tengah keterbatasan dan kesulitan, terutama di era pandemi Covid-19. Dari mereka ini kita bisa belajar bagaimana menjadikan seni dan tradisi sebagai benteng ideologi. Melalui kesenian mereka melawan ideologi radikalisme dan intoleransi yang merongrong Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Mereka memang tidak tergantung pada anggaran, dana dan perhatian negara, tetapi bukan berarti mereka menolak bantuan atau mengabaikan peran negara. Mereka siap bermitra dengan siapa saja dan menerima bantuan dari mana saja sejauh tidak bertentangan dengan idealisme dan visi yang mereka bangun. Jika para pemangku kepentingan khususnya pemerintah bisa membantu mereka memperkuat gerakan dan memperluas jangkauan sosialisasi maka dengan sendirinya benteng ideologi akan kokoh berdiri di setiap hati dan jiwa masyarakat.

 

(Bersambung…) ****

Komentar