Pada Hari Sabtu, 19 September 2020 Puskohis IAIN Surakarta seminarkan urgensi Pilkada Serentak 2020. Seminar nasional tersebut dilakukan secara virtual karena keadaan masih belum kondusif, dengan tema “Urgensi Pilkada Serentak 2020 dalam Bingkai Demokrasi Konstitusional”.
Acara diawali sambutan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta oleh R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H. Dalam sambutannya beliau mengutip pendapat Carl J. Friedrich dalam bukunya: “Constitutional Government and Democracy Theory and Practice in Europe and America” yang mendefinisikan konstitusi dalam 5 konsep: Filosofis, Struktural, Legal , Dokumentarian, dan Prosedural (Procedural). Beliau menegaskan bahwa 5 Konsep ini menjadi Fokus Utama PUSKOHIS IAIN Surakarta. Sesuai Visi dan Misi PUSKOHIS pungkasnya. Direktur PUSKOHIS yang akrab dipanggil Gus Mustain ini juga mengutip pendapat pakar Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” yang mengatakan: “konstitusi adalah dasar dari tata hukum nasional”. Dengan demikian apapun yang berlaku di Negara Indonesia haruslah sesuai jalur hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
Rektor IAIN Surakarta Prof. Dr. KH. Mudhofir S. Ag, M.Pd. melalui Direktur PUSKOHIS juga menyampaikan apresiasinya atas terselenggranya acara ini. Beliau berharap agar diskusi ilmiah seperti ini berlanjut untuk tema-tema berikutnya.
Menurut narasumber Pertama, Z. Saifudin, S.H.,M.H., tema yang diangkat oleh Puskohis sangat menarik dan terkini karena memang sedang menjadi trending topic. Direktur Institut Pemantau dan Pengawas Pemerintahan Daerah (IP3D) itu memberikan jalan solutif dan alternatif agar Pemilukada dapat berjalan lancar. Komisi II DPR dan Pemerintah (Kemendagri) agar aktif komunikasi. Mengevaluasi KPU sebagai penyelenggara teknis. Mendorong agar ada koordinasi berkala dalam Forkompimda. Termasuk pelibatan penegak hukum. Dia juga menyinggung soal Keppres No.12 Tahun 2020 bahwa Kepala Daerah sebagai Ketua Gugas Pandemi. Agar pemerintah pusat tidak terlalu intervensi. Agar kepala daerah sekarang fokus dalam pandemi.
Sebagai rekomendasi beliau, juga memberikan arahan agar Pilkada ini tetap dilanjut dengan catatan dan benang merahnya. Termasuk pengetatan protokol kesehatan. Alasan lain adalah demi menjaga tetap lanjut roda pemerintahan daerah dalam kerangka good governance dan clean goverment serta kepastian hukum terjaga. Dia juga mengingatkan agar tidak terjadi politik pecah belah. Idealnya mengedepankan proses demokrasi dengan menghilangkan sifa egosentris golongan dan/atau kelompok pribadi saja.
Narasumber kedua, Lisma, M.H. menyampaikan sejarah kali pertama pemilu dilaksanakan dan urgensi Pilkada Serentak 2020.
“Indonesia pertama kali melakukan pemilu pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang diikuti oleh 118 partai politik, organisasi, golongan, dan perorangan. Era orde baru pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1999 untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemilihan wakil-wakil rakyat yakni presiden, gubernur, bupati dan walikota disebut dengan istilah demokrasi perwakilan. Era reformasi, pemilu dilaksankan pada tahun 2004, 2008, dan 2014 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten.”
Salah satu dosen Hukum Tata Negara IAIN Surakarta ini juga menuturkan bahaya pilkada apabila tidak jadi dilangsungkan pada tahun ini.
“Hal ini dapat menyebabkan potensi konflik vertikal antara pemerintah daerah dan masyarakat maupun konflik horizontal antara kelompok masyarakat pendukung pemerintah dan kelompok masyarakat oposan pemerintah di daerah. Tema konfliknya sudah tentu limitasi kepemimpinan yang tercantum dalam undang-undang dan suksesi kepemimpinan daerah di periode 2020 – 2024,” tutur Lisma.
“Apabila pilkada dilaksanakan tanpa perppu, hasilnya akan dinilai inkonstitusional dan pemimpin daerah yang terpilih berstatus illegal karena tidak sesuai dengan bulan penetapan pelaksanaan pilkada di dalam UU No. 10 Tahun 2016. Kedua hal ini akan menyebabkan ramainya gugatan hukum secara vertikal dan konflik secara horizontal (antara dua kubu pendukung paslon),” imbuh beliau di sela-sela pemaparan materi.
“Kita tidak bisa menutup mata dengan adanya Pilkada Serentak 2020. Sebagai warga negara, kita harus ikut berpartisipasi meski banyak polemik,” tutup Lisma.
Dalam seminar ini juga dibahas problematika pilkada dan analisis hukumnya oleh narasumber ketiga, yaitu Suciyani, S.H.I., M.Sos.Dosen Hukum Pidana Islam IAIN Surakarta itu menjelaskan banyak masalah yang biasa muncul pada pelaksanaan pilkada. Menurutnya, masalah-masalah tersebut menjadi masalah yang tidak terselesaikan karena perlu pengawalan dari penegak hukum dan masyarakat.
Peserta tampak antusias dalam webinar tersebt. Meliputi hampir perwakilan provinsi ada. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh para peserta, di antaranya pencalonan independen tanpa Parpol, politik dinasti, sengketa pilkada, mahar politik. Pertanyaan dijawab dengan jelas oleh narasumber dengan saling menambahkan dan diskusi bareng. (Yahya & Mustain)