Islamsantun.org – Ramadhan menyisakan kurang lebihnya sekitar sepuluh hari lagi. Saya tahu itu dari status yang beredar di story WA maupun feed instagram.
Artinya, dengan kenyataan di atas, momen-momen hiruk pikuk hari lebaran sebentar lagi akan tiba. Hari dimana kita diwajibkan untuk makan-makan dan dalam sejarah historis Bangsa Indonesia dirayakan pula dengan ritual saling memberikan maaf akan tak lama lagi menghampiri kita.
Jikalau kita ingat, pada saat menyambut momen lebaran itu, semua sibuk. Mall penuh sesak oleh mereka yang memburu diskon. Pasar ramai dengan orang-orang yang mencari jajanan untuk keperluan di hari raya. Tidak terkecuali di jalanan, jalanan nampak berpacu dan bising dipenuhi oleh pemudik yang merindukan kampung halaman. Semuanya digerakan oleh rasa yang sama, rasa rindu dan rasa bangga bahwa kita telah disucikan kembali oleh Allah melalui Ramadhan.
Pada waktu itu, yang membeli baju merasa bahwa di hari lebaran nanti, tubuh yang suci haruslah dibalut dengan pakaian yang indah. Yang membeli jajanan punya maksud sendiri, mereka tidak mau mengecewakan tamu yang biasa hadir ke rumah dengan tradisi ‘halal-bi-halal’. Yang mudik dan menyemuti jalanan pun punya alasan, mereka diberangkatkan oleh keinginan bertemu keluarga agar maaf-me-maafkan itu nyata dan tak sekedar kata.
Di sisi yang lain, ada yang menilai bahwa hal-hal di atas tersebut tidak perlu dilakukan. Lebaran harus kembali pada nafas kesucian kita, yakni kesederhanaan. Yang lebih penting dari merayakan ialah merawat agar kebaikan ketika dan pasca-Ramadhan itu terus bersemai sepanjang hidup.
Semua alasan di atas tadi adalah benar dan perlu kita hargai. Sekarang kita beranjak ke pembahasan yang lain, yang lebih menggelitik, yakni pembahasan mengenai apa arti sebenarnya dari kata lebaran itu sendiri.
Seperti kita ketahui bilamana lebaran itu bahasa kita. Bahasa yang boleh dikata tidak memiliki arti kesucian ataupun pengembalian roh pada titik awal. Lebaran juga bukan kata ganti yang artinya sama dengan Idul Fitri (hari raya makan). Kata lebaran, karena sudah terlalu lama dan mengakar, lebih sering diucapkan untuk menunjukan datangnya akhir daripada Bulan Ramdhan. Jika hanya itu yang dimaksud, maka yang paling dekat dengan asal kata lebaran mungkin kata Lebaran yang menurut Salmun berasal dari tradisi Hindu yang artinya selesai, usai, atau habis.
Untuk itu, untuk lebih jelasnya, marilah kita mencari tahu darimana datangnya kata lebaran, sehingga hal itu menjadi relevan dengan budaya bangsa kita.
Lebaran dalam Ingatan Kolektif Masyarakat Kita
Dalam kajian ilmu filsafat, kita mengenal dua hal, etimologi dan terminologi. Etimologi mengupas tentang asal-usul kata. Sedangkan terminologi membahas mengenai makna daripada kata tersebut. Untuk membedah kata lebaran kita lebih banyak menggunakan etimologi dengan sedikit bumbu-bumbu terminologi.
Lebaran konon memiliki lima padanan kata yang berkaitan dengannya. Lima kata tersebut adalah lebar-an, luber-an, labur-an, lebur-an dan liburan. Mari kita bahas satu persatu.
Pertama, lebaran konon berasal dari lebar yang dibubuhi imbunan -an. Lebar yang menjadi awalan dari lebaran bukanlah lebar dalam arti bangunan, lapangan atau pun halaman. Akan tetapi ‘lebar hati’ kita untuk memaafkan. Orang tua suka berkata “sing gede atimu” manakala kita disakiti dan darisitulah lebar dimasukan sebagai awal mula kata ‘lebaran’.
Kedua, lebaran dianggap juga sebagai kata yang bermula dari ungkapan luber. Luber dalam KBBI memiliki arti melimpah, meluap. Ringkasnya, melewati batas daripada batas yang ditentukan. Luber maafnya, luber rezekinya dan luber pula pahalanya sehabis Ramadhan. Untuk itu, maka luber-an bertransformasi menjadi lebaran.
Ketiga, menurut Mustofa Bisri atau Gus Mus, lebaran diambil dari kata laburan (jawa;mengecat). Setiap kali menjelang datangnya Idul Fitri, semua kepala keluarga sibuk mengecat rumahnya agar tampak indah. Dari kebiasaan laburan menjelang Idul Fitri itulah, lebaran menjadi sebuah kata yang setara dengan makna Idul Fitri itu sendiri.
Keempat, dalam satu kesempatan, Almarhum KH Muhtar Babakan Ciwaringi pernah berujar bahwa lebaran itu berakar filosofis dari kata leburan (jawa:menyatukan). Dengan ujian dan cobaan, dengan kesabaran dan ketenangan, selepas Ramadhan itu diharapkan kita mampu meleburkan diri kita pada sifat-sifat Tuhan. Dalam bahasa Syeikh Siti Jenar “manunggaling kawula gusti”. Semangat perubahan itulah yang merubah leburan menjadi lebaran.
Kelima, atau yang terakhir, lebaran dimaknai sebagai plesetan dari liburan. Dalam kalender Nasional, Hari Raya Idul Fitri adalah tanggal merah yang artinya libur. Menikmati hari libur berarti liburan. Oleh karena alasan itu, maka liburan yang diucapkan berulang-ulang, menjadi titik pangkal dari munculnya lebaran.
Selain kelima kemungkinan asal usul kata lebaran tadi ada pula yang berpendapat kata lebaran itu murni resapan dari Bahasa Daerah kita. Ivan Lanin, pakar Internet Indonesia, menjelaskan setidaknya ada empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata lebaran, yaitu bahasa Jawa “lebar” (selesai), bahasa Sunda “lebar” (melimpah), bahasa Betawi “lebar” (luas), dan bahasa Madura “lober” (tuntas).
Begitulah arti lebaran dalam bahasa dan budaya masyarakat kita. Unik dan bermacam-macam. Jauh dari nalar, atau bahkan terkesan otak-atik ghatuk, namun dekat dengan perasaan.
Lebih penting daripada arti-arti itu sesungguhnya adalah esensi atau ruh yang seringkali dimiliki dalam setiap kali kita menyebut kata ‘lebaran’. Bagi kita, bangsa Indonesia, Idul Fitri itu lebaran. Dan lebaran itu memaafkan, lebaran itu kesucian, lebaran itu kebahagiaan, lebaran itu makan-makan, lebaran itu kerinduan, dan lebaran itu adalah lembaran baru untuk menuju optimisme esok yang lebih baik.
Selamat lebaran!