Islamsantun.org– Beberapa pekan sebelum Ramadan tiba, seorang dosen muda bercerita mengenai pengalaman tak menyenangkan dengan mahasiswanya kepada saya. Tangkapan layar pesan WhatsApp dari mahasiswa ditunjukkan kepada saya. Isinya, yah, memang sedikit kurang sopan.
Isi pesan WhatsApp itu kurang lebih begini; si mahasiswa “memerintah” si dosen agar segera menyegerakan salah satu berkas kelengkapan untuk ujian skripsinya.
Tentu saja saya bertanya, “Terus gimana reaksimu?”
Sambil menarik napas berat, si dosen ini menjawab, “Ya sudah, saya tetap kerjakan saja. Kasihan ini anak kalau sampai telat ujiannya. Udah mau bulan puasa ini juga. Hehe.”
“Kamu enggak marahin itu mahasiswa? Seenak sendiri ngirim berkas mepet deadline, jadi malah merepotkan orang lain begitu.” Reaksi saya ngompor-ngomporin.
Si dosen muda ini cuma tertawa. Seolah melepas segala bebannya sebagai seorang dosen. Posisi dosen ini, kalau Anda mau sadar sedikit, pada dasarnya mengartikan bahwa ia sebenarnya punya kemampuan untuk “menghancurkan” karier si mahasiswa begitu saja. Dengan catatan besar tapi, kalau si dosen ini mau.
Uniknya, si dosen ini tidak mengambil jalan mudah dan satisfying tersebut. Ia lebih memilih untuk membalas dengan sopan dan mempercepat tuntutan dari si mahasiswa ini.
Keputusan tersebut tidak hanya membuat mulut saya tersenyum, tapi sekaligus membuat kepala saya berkecamuk. Sebab, mendadak saya teringat akan dua kredo yang masih melekat di kepala. Kredo yang merupakan definisi paling membekas bagi saya soal apa arti dari kata sabar.
Nah, kredo yang pertama ini datang dari Quraish Shihab. Bertahun-tahun lalu saya mendengar ini.
Saya masih ingat dalam salah satu wejangan Quraish Shihab di televisi. Abi dari Najwa Shihab ini mengutarakan dengan sangat sederhana soal kekeliruan saya selama ini soal cara memaknai apa kata “sabar”.
Quraish Shihab mengilustrasikannya begini.
Bayangkan Anda sedang naik angkot. Tiba-tiba kaki Anda terinjak oleh seseorang. Orang ini berbadan tinggi besar. Postur yang mengindikasikan bahwa, secara kekuatan, si orang ini jauh lebih tinggi dari Anda.
Orang yang secara langsung memberi Anda sebuah kesadaran, bahwa kalau Anda melawannya, kemungkinan besar Anda akan lebih “hancur” dari kondisi Anda saat ini. Lalu, karena Anda menyadari hal itu, Anda menahan diri untuk tidak membalas.
Dalam perspektif Quraish Shihab, kondisi tersebut bukanlah kondisi sabar. Baginya, kondisi itu adalah kondisi takut.
Menarik.
Artinya, sabar dalam spektrum tafsir Quraish Shihab, dimaknai menjadi sebuah kekuatan yang begitu kokoh. Sabar tidak lahir dari keterbatasan, melainkan datang dari kekuatan. Sabar merupakan bentuk kemampuan diri untuk menahan apa yang sebenarnya sangat mampu kita lakukan untuk membalas perlakuan tidak adil dari orang lain, tapi kita memilih untuk tidak melakukannya.
Pemaknaan seperti ini tanpa saya sadari, ternyata membawa saya ke ranah yang lebih luas lagi. Sebab, dalam kondisi-kondisi lain, bukan tidak mungkin ada banyak skenario serupa terjadi di sekitar kita.
Seperti dalam memahami kebebasan beragama bagi umat lain, misalnya. Kondisi damai seperti di negeri ini, kalau saya mau menyadarinya sedikit, ternyata lahir dari kesabaran-kesabaran kelompok dominan.
Ketika kita memiliki kekuatan lebih melalui kelompok mayoritas dalam mengayomi kelompok minoritas, di situlah tafsir “sabar” dari Quraish Shihab sedang diwujudkan. Seperti menghargai kelompok minoritas dalam menjalankan ibadah, misalnya, hal yang merupakan salah satu bentuk kesabaran kolektif dalam masyarakat, yakni mengendalikan kekuatan agar pihak yang lebih lemah tidak terdiskriminasi.
Pertanyaan lanjutan yang kemudian sempat mengganggu: lantas, dari mana kelompok mayoritas muslim memiliki kemampuan seperti itu? Ternyata jawabannya lebih sederhana lagi: puasa.
Praktik ibadah individual ini ternyata merupakan bentuk sabar dalam spektrum paling intim. Bisa jadi, ritual ini menjadi latihan paling mujarab bagi seorang muslim untuk memiliki kemampuan dalam memoderasi kekuatannya sebagai mayoritas di negeri ini.
Iya, memoderasi kekuatan. Diawali dari kemampuan membatasi kemampuan untuk tidak makan dan minum, kemampuan melucuti rasa amarah meskipun menjadi pesakitan, sampai pada kemampuan membatasi diri untuk tidak menghancurkan kelompok-kelompok kecil—meski kita sangat memiliki kemampuan itu.
Kesadaran semacam ini tanpa sadar mewujud juga dalam percakapan sederhana saya dengan dosen muda yang saya ceritakan pada awal tulisan tadi. Bahwa ternyata, setiap muslim punya tanggung jawab kekuatannya masing-masing, di segala posisi. Dalam kasus saya, ia mewujud dalam bentuk hubungan dosen dengan mahasiswa.
Percakapan ini jugalah yang tadi memunculkan dua kredo di kepala saya, yang pertama, datang dari Quraish Shihab, yang kedua?
Oh, yang ini bukan datang dari seorang tokoh muslim, tapi dari seorang paman. Paman Ben. Sosok ayah bagi Peter Parker, si Spiderman, yang berpesan, “With great power, comes great responsibility.”
Pesan yang menjelaskan bahwa kekuatan merupakan satu entitas dengan kesabaran.