Islamsantun.org – Di beberapa pertemuan dalam mata kuliah Tafsir dalam Isu-isu Kontemporer, hampir selalu muncul pertanyaan, “Bagaimana hukumnya jika ada ulama’ yang tidak mewajibkan menutup aurat?” Pertanyaan ini selalu berulang hampir setiap semester saat saya mengampu mata kuliah ini.

Pertanyaan semacam ini bagi saya cukup menggelitik dan sudah bisa ditebak ke mana arahnya. Pertanyaan ini, kuat diduga, ditujukan kepada sosok kharismatik M. Quraish Shihab yang dikenal sebagai ulama pengarang kitab Tafsir Al-Misbah yang Kebetulan salah satu puterinya, Najwa Shihab, seringkali nampak di layar televisi dengan tidak mengenakan kerudung/ penutup kepala.

Di suatu kesempatan, saat teman-teman mahasiswa berdiskusi tentang pertanyaan di atas, saya sengaja memotong diskusi tersebut karena hampir mengarah kepada kesimpulan yang kurang tepat. Di kelas tersebut, saya bertanya kepada semua peserta diskusi,

“Apakah teman-teman sudah baca Tafsir Al-Misbah tentang ayat-ayat hijab?”

“Belum … ”

Saya lanjutkan lagi, “Apakah teman-teman sudah baca buku Prof. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah?”

“Belum … ”

“Nah, di sinilah masalahnya.”

Akhirnya, saya jelaskan duduk perkaranya soal ‘ulama yang tidak mewajibkan menutup aurat.’ Sependek pembacaan saya, tidak ada ulama di dunia yang berpendapat bahwa menutup aurat itu tidak wajib. Semuanya sepakat bahwa menutup aurat itu hukumnya wajib karena itu perintah agama. Yang menjadi khilafiyah di antara para ulama adalah batasan aurat, mana bagian anggota tubuh yang wajib ditutupi dan bagian mana yang tidak wajib ditutupi. Di sini lah letak perbedaannya.

Prof. Quraish Shihab dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah memaparkan beragam pendapat mulai dari ulama klasik hingga kontemporer, mulai dari yang paling ketat hingga yang paling longgar bahkan yang terlampau longgar, tanpa memberikan pilihan mana pendapat yang beliau ambil. Misalnya, yang paling ketat adalah Imam As-Suddi yang menyatakan bahwa wanita harus menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah, dahi dan alis, jadi yang terbuka hanya mata saja itupun hanya satu mata saja. Mata yang lain harus ditutup (Shihab, 2018: 80).

Prof. Quraish juga menyinggung batasan aurat versi Muhammad Syahrur yang sangat bahkan terlampau longgar, meskipun akhirnya Prof. Quraish Shihab mengkritik pandangan Syahrur tentang batasan aurat perempuan. Prof. Quraish Shihab nampaknya memberikan kebebasan kepada para pembaca dan audiens, seolah-oleh dia berkata, “Ini ada banyak ragam pendapat, silakan pilih yang mana yang Anda yakini dan cocok dengan kondisi Anda.” Ini lah yang akhirnya sering disalahpahami dan memang diakui oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, bahwa beliau seringkali disalahpahami oleh sebagian masyarakat. Beliau menyatakan,

“Dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam yang membahas Pemikiran dan Peradaban dikemukakan bahwa penulis (Quraish Shihab) menyatakan ketidakharusan berjilbab, padahal selama ini penulis hanyalah mengemukakan aneka pendapat para pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan satu pilihan. Ini karena hingga saat itu, penulis belum lagi dapat men-tarjih-kan salah satu dari pendapat yang beragam itu” (Quraish Shihab, 2018).

 

Menurut hemat saya, tidak ada yang salah jika ada seorang ulama’ memaparkan beragam pendapat tentang sesuatu kemudian ulama’ tersebut menyerahkan hasilnya pada pembacaan audiens. Menyajikan pemaparan yang beragam tentang satu hal setidaknya memberikan alternatif-alternatif pilihan bagi masyarakat. Sebab, jika hanya menampilkan satu pespektif saja, maka dikhawatirkan akan mempersempit cakupan nilai agama yang begitu luas.

Penyebab Keragaman Tafsir

Yang kita perlukan adalah kesadaran tentang keniscayaan keragaman tafsir. Kita harus menyadari bahwa penafsiran al-Quran tidak akan bisa seragam. Tafsir berbeda dengan al-Qur’an yang kalimatnya tidak berubah sampai hari kiamat, tafsir akan selalu berkembang sesuai perkembangan zaman.

Ada beberapa hal yang menyebabkan tafsir beragam. Pertama, Al-Quran secara bahasa memang sangat potensial ditafsirkan beragam, sebab satu kata dalam al-Quran bisa bermakna muystarak, sangat variatif. Kedua, background pendidikan dan konteks yang dihadapi oleh penafsir al-Quran juga mempengaruhi hasil penafsiran. Ketiga, metode yang digunakan oleh sang penafsir juga sangat mempengaruhi hasil penafsiran. Seorang ahli bahasa menafsirkan al-Quran akan melahirkan tafsir lughawi (tafsir linguistik), seorang ahli filsafat jika menafsirkan al-Quran besar kemungkinan akan melahirkan tafsir falsafi, begitu seterusnya.

Menyikapi Keragaman Tafsir

Bagaimana jika kita dihadapkan dengan ragam tafsir yang beragam?. Ada beberapa sikap yang bisa kita ambil agar tidak jatuh pada tindakan yang kontra-produktif. Pertama, jika kita mampu, kita dianjurkan untuk menelusuri berbagai dalil yang diajukan oleh para mufassir yang berbeda dan memilih pendapat yang paling kuat dan banyak mengandung maslahat.

Hal semacam ini dicontohkan oleh Imam Ali Ash-Shabuni dalam karya tafsirnya Rawâiul Bayân . Ketika beliau menemukan dalil-dalil yang bertentangan, maka beliau mengkaji dan meneliti mana dalil yang paling kuat. Kemudian memilih atau mengunggulkan salah satu pendapat ulama yang dikaji dengan argumennya sendiri.

Kedua, jika tidak mampu, maka pilihlah ulama yang kita kenal dan kita percaya argumen, pendapat dan kebijaksanaannya. Dengan memilih sikap ini kita berada dalam posisi aman karena ada orang yang bertanggungjawab secara keilmuan tentang pendapat yang kita anut.

Ketiga, hormatilah orang lain yang memilih pendapat ulama atau tafsir berbeda dengan kita. Sebab, Tidak sepakat dengan satu penafsiran bukan berarti tidak patuh terhadap Al-Qur’an tetapi mematuhi Al-Qur’an dengan jalan lain yang boleh jadi juga memiliki nilai kebenaran. Dengan sikap semacam ini, kiranya kita bisa lebih bijaksana dalam memandang perbedaan yang sering terjadi dalam masyarakat kita.

Tulisan ini penulis akhiri dengan untaian kalimat indah dari Abdullah Darraz yang sering dikutip oleh M. Quraish Shihab, mengenai keragaman makna dan penafsiran Alquran, dalam kitab An-Naba’ul Azdîm beliau berujar,

“Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya. Dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dibandingkan dengan apa yang kita lihat”.

Kalimat indah ini sebenarnya merupakan nasehat bagi kita bahwa Al-Qur’an memiliki keragaman dan keluasan makna. Oleh karenanya, kita tidak boleh memonopoli al-Quran hanya dengan satu perspektif dengan menegasikan, apalagi merendahkan, penafsiran yang berbeda dengan yang kita pilih. Al-Quran adalah kilauan cahaya ilahi untuk manusia, sedangkan kita mencoba menangkap percikan cahaya itu salah satunya dengan tafsir. Boleh jadi percikan cahaya yang kita dapatkan bisa lebih besar atau bahkan lebih kecil dari percikan cahaya yang didapatkan oleh orang lain.Wallahu A’lam bis-Shawâb.

Komentar