Islamsantun.org – Tahun ini lagi-lagi saya menghabiskan waktu Ramadan seorang diri di tanah perantauan. Tidak ada masalah yang serius sebenarnya. Tetapi mungkin akan lebih baik jika bisa dihabiskan bersama keluarga di rumah. Sore hari di beberapa hari menjelang bulan ramadan saya diajak ngopi oleh salah satu teman, sambil ngobrol santai katanya. Sepanjang perjalanan menuju tempat yang dimaksud, saya beberapa kali menemukan adanya spanduk dengan informasi mengenai pelaksanaan sadranan, dan beberapa menuliskannya dengan nyadran. Sebagai pendatang dari ujung barat Pulau Jawa, tentunya saya merasa asing dengan kata sadranan dan nyadran yang terpampang jelas di mana-mana.

Setelah sampai di salah satu coffee shop dekat kampus, segera saya menanyakan perihal sadranan dan nyadran pada teman saya, mungkin saja dia paham. Mendengar pertanyaan yang saya ajukan, teman saya menanggapinya dengan antusias, “habis ini ku jelasin, yak!”

Sambil menyesap kopi, kawan saya mulai membuka ceritanya.

Sadranan atau nyadran sebenarnya adalah sebuah rangkaian kegiatan ziarah yang biasa dilakukan sebelum ramadan tiba. Biasanya, rangkaian kegiatan ini dimulai dengan pembersihan makam dari rerumputan liar dan gulma, antara keluarga dan masyarakat bekerjasama membersihkan makam dan sekitarnya. Setelahnya akan ada arak-arakan peserta nyadran, akan tetapi arak-arakan ini hanya ada di daerah tertentu.

Boleh jadi di sini ada tapi di daerah lain belum tentu ada. Rangkaian tadi selesai, barulah tetua adat akan menyampaikan maksud nyadran dan dilanjutkan dengan doa bersama di sekitaran makam yang juga dipimpin oleh sang tetua adat. Akhir pelaksanaan sadranan atau nyadran ini masyarakat dan peserta nyadran saling bertukar nasi kotak atau kenduri yang sudah dibawa sebelumnya.

Penjelasan yang disampaikan kawan saya cukup sampai pada nalar saya, sebagai seseorang yang sama sekali tidak paham dengan tradisi-tradisi adat di masyarakat Jawa, hal ini menjadi suatu hal yang baru dan unik bagi saya. Kawan saya menambahkan, kalau tradisi ini memang sangat kental dengan budaya jawa, akan tetapi nilai-nilai di dalamnya mencakup banyak aspek. Mulai dari aspek sosial budaya seperti gotong royong, ekonomi, silaturahmi, hingga saling berbagi antar masyarakat.

Selesai membahas seputar sadranan, kawan saya menambahkan bahwa biasanya di daerah tempatnya tinggal, tepatnya Magelang, Jawa Tengah, ada sebuah tradisi menyambut ramadan selain sadranan, yaitu padusan. Secara bahasa, padusan berasal dari kata adus yang artinya mandi.

Padusan sendiri memiliki maksud untuk mensucikan diri dan membersihkan diri sebelum ramadan tiba. Ini dilakukan agar masyarakat muslim bisa maksimal dalam menjalankan ibadah, karena kondisinya sudah suci lahir dan batin.

Terbesit dalam pikiran saya mengenai tradisi ini, dan bagaimana pelaksanaannya. Namun kawan saya langsung menambahkan bahwa pada pelaksanaannya, padusan bisa dilakukan secara individu atau berkelompok. Tradisi padusan ini ternyata bukanlah tradisi yang biasa dilakukan secara bersama-sama, tradisi ini mengacu pada kesadaran masing-masing individu. Bagi masyarakat yang sudah sepuh, akan merasa kurang afdhal jika belum melakukan padusan sebelum bulan puasa tiba.

Informasi yang saya dapatkan dari kawan saya kali ini cukup unik, menyuntik rasa ingin tahu saya untuk menggali lebih dalam mengenai tradisi menyambut ramadan, khususnya tradisi dalam lingkup budaya jawa.

Pertanyaan kembali saya lontarkan dan kawan saya kembali melanjutkan pembahasan kami di sore itu. Kali ini, kawan saya membahas sebuah rangkaian tradisi dari Pemalang, tradisi dari sebelum ramadan sampai menjelang usainya bulan suci. Nama tradisi itu adalah munggahan dan mudunan.

Secara kebahasaan munggahan dan mudunan ini berasal dari kata munggah dan mudun yaitu naik dan turun. Munggahan biasa diadakan di rumah masing-masing keluarga atau di masjid terdekat pada malam pertengahan bulan sya’ban. Pelaksanaan munggahan ini ditandai dengan pembagian kenduri berisikan nasi, tempe, tahu, dan telur bulat. Menurut masyarakat sekitar, munggahan ini memiliki filosofi naik menuju ridhanya Allah SWT, dalam menyambut bulan suci ramadan, dan sebagai perwujudan rasa syukur telah dipertemukan dengan ramadan yang penuh berkah.

Biasanya, pelaksanaan munggahan ini diikuti dengan padusan di satu hari sebelum bulan ramadan tiba. Sedangkan mudunan sendiri biasa dilaksanakan pada malam lailatul qadar yaitu beberapa hari sebelum ramadan berakhir. Jika munggahan tadi wujud pelaksanaannya adalah membagikan kenduri, maka mudunan ini memiliki keunikannya sendiri. Mudunan dilaksanakan dengan membagikan serabi kuah santan yang dibagikan selepas salat tarawih atau selepas waktu berbuka. Mudunan ini diartikan sebagai wujud syukur masyarakat karena telah mencapai hari-hari terakhir ramadan, dan wujud syukur ini disampaikan dengan cara berbagi kepada sesama.

Penjelasan kawan saya selesai bersamaan dengan tandasnya kopi dan jajan sore milik kami, bersamaan pula dengan matahari yang kian tenggelam di ufuk barat. Perbincangan di sore itu kami akhiri dengan candaan-candaan ringan mengenai kegiatan yang akan kami lakukan masing-masing selama bulan ramadan nanti. Membicarakan hal itu membuat saya berpikir, kegiatan apa yang sebaiknya saya lakukan nanti, ya? Kawan saya menyampaikan mungkin ia akan mengajar di pesantren kilat yang selalu hadir di setiap bulan suci ramadan. Suatu hal yang cukup menarik bagi saya, dan mungkin saya akan mencobanya juga.

Sebelum mengakhiri pertemuan kami di sore itu, kawan saya mengingatkan untuk jangan lupa mendoakan keluarga dan membaca Yasin sebagai cara mudah untuk menyambut ramadan. Bukan sebuah kewajiban, hanya sebuah anjuran yang umum dilakukan banyak masyarakat muslim lainnya. Dan ya, tentu saja saya biasa melakukannya.

Azan magrib berkumandang, menandakan usainya pertemuan kami di sore hari yang hangat dan syahdu.

Komentar