Islamsantun.org – Beberapa hari lalu saya membaca sebuah buku yang kiranya bisa disebut sebagai ‘dongeng’ awal kapitalisme. Buku karya Ellen Meiksins Wood dengan judul terjemahan “Asal-Usul Kapitalisme” yang membuat saya mengernyitkan dahi sebab merasa keheranan.
Bagaimana tidak? Hingga saat ini, secara sadar ataupun tidak, kapitalismelah yang menjadi pemicu alienasi multidimensional mengarah pada ekslusifitas dalam wujud pemiskinan, rusak alam, proletarisasi, hingga obyektifikasi pada perempuan.
Abstraksi Manusia?
Apa sebab? Pemicunya hanya keinginan abstrak manusia yang mungkin tak terbatas (nafsu?) untuk kemudian diimplementasi dalam media-media yang sangat terbatas.
Untuk mencapainya, kemudian manusia mengupayakan dengan cara manipulatif-hegemonik dan cara-cara brutal lainnya—yang kadang—bahkan didominasi sikap nir-kemanusiaan. Media pembatas ini sangat kongkrit dalam hidup dan kesejarahan kita, dari zaman ketika manusia masih berburu dan meramu, hingga kini yang serba mekanistik menggunakan teknologi.
Misalnya, konsensus kepemilikan, nilai hidup, prinsip beragama, bentang geografis, kekayaan alam, daya tahan alam, gender, dll. Untuk itu manipulasi sekaligus monopoli yang dilembagakan adalah niscaya demi terwujudnya hal abstrak tadi, yang biasa orang sebut sebagai keinginan dan hari ini kita sebut saja sebagi kerakusan.
Pelembagaan ini misalnya pada abad 17, sebagai rangkaian dari revolusi industri, dilakukan Inggris untuk mengusir petani lokal dan mengapling tanah garapan mereka. Setelah itu tanah dikuasai borjuis-kerajaan. Akhirnya petani jadi proletar industri kota. Kemudian sebagai akibat urbanisasi yang besar-besaran, yang terjadi mereka diupah seminim mungkin karena surplus tenaga kerja.
Bentuk paripurnanya untuk saat ini adalah neo-liberalisme yang menjadikan masyarakat dunia menjadi homogen sebagai konsumen pasar bebas dari beragam latar belakang kesejarahan, budaya, ideologi yang kompleks.
Untuk itu diperlukan legitimasi “maksud baik” dengan beberapa dalih ilusif seperti kesejahteraan, pertumbuhan, modern, pengentasan kemiskinan, dll. Padahal, banyak data yang menyebutkan bahwa kesejahteraan ala kapitalisme ini hanyalah ilusif belaka. Persis apa yang telah dipraktikkan orde baru semasa berkuasa.
Dulu pengaplingan tanah, sekarang tanah sudah dikuasai kaptilalis tambang, perkebunan skala besar, dan spekulan lainnya. Lihat aset politisi yang merangkap sebagai pengusaha atas tanah di Kalimantan, Papua, Madura, dll.
Di Indonesia, 1% lapisan orang terkaya menguasai lebih dari 50% aset kekayaan dan apabila dinaikkan prosentase menjadi 10%, maka total penguasaan mereka lebih dari 70%. Artinya, 243 juta masyarakat indonesia tanpa aset produksi memperebutkan 30% sisa kekayaan yang telah habis dinikmati 10% orang kayanya. Dan kita masih dipaksa untuk meyakini bahwa hari ini masih baik-baik saja.
Menjahit Kesadaran
Jikapun masih dipercayai baik, sistem ini hanya mentok pada pembentukan filantropis yang diharapkan mampu meneteskan sedikit kekayaannya, untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Padahal filantropis ini menghendaki akumulasi kapital tanpa henti, agar yang kaya semakin kaya untuk mendonasikan sedikit dari kekayaannya, tricle down effect, kata Jeremy Seabrook.
Jadi, apakah kita harus menunggu kaya hanya untuk bersedekah, zakat, atau donasi? Tapi apakah bisa ketika empat bongkah mata kita melihat semakin lebarnya jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskin? Masing-masing kita pasti memiliki jawaban sendiri.
Tibalah kita pada momen klise umat Islam di seluruh dunia yang sampai hari ini tak kunjung dewasa ketika menghadapi problematika seperti ini. Bulan yang setiap tahunnya dirayakan dan dinantikan seluruh lapisan umat namun tak mampu memberi stimulus kesadaran kolektif atas sebuah kerakusan yang sistemik dan terlembagakan: Ramadan.
Secara empirik puasa sendiri mengajarkan untuk memberi jarak kepada hal-hal yang diinginkan walau sampai kebutuhan paling mendasar. Habbit konsumtif yang menjadi identitas masyarakat modern hari ini sebenarnya dipereteli dalam momen ini. Tak salah jika bagi Baudrillard, konsumsi diradikalkan menjadi konsumsi tanda.
Menurutnya, masyarakat konsumen tidak lagi terikat oleh suatu moralitas dan kebiasaan yang selama ini dipegangnya. Mereka kini hidup dalam suatu kebudayaan baru, suatu kebudayaan yang melihat eksistensi diri mereka dari segi banyaknya tanda yang dikonsumsi (Baudrillard, 1997). Artinya, konsumsi suatu masyarakat bukan lagi soal moralitas atau yang lebih mendasar: nilai guna suatu barang, melainkan afirmasi atas suatu “tanda” tertentu dalam relasi sosial.
Ramadan Konsumtif
Tak heran jika puasa Ramadan justru menjadi stimulus umat untuk semakin konsumtif, saat iklan secara persuasif menanggalkan kesadaran atas esensi menunda keinginan akumulasi barang sampai sebulan lamanya. Bahkan sampai pada ranah orientasi peribadatan. Ini terlihat dari pola keinginan melipatgandakan pahala yang sangat individualistik. Lalu prakondisi apa yang mengarahkan pada fenomena seperti ini?
Seperti halnya masyarakat hari ini yang semakin tercerabut dari kesadaran berserikat untuk menuntut kebijakan publik yang berpihak, nampaknya pola beragama mayoritas kita hari ini juga tak jauh berbeda. Ada semacam aktor, meminjam terminologi Zizek, yang sengaja melanggengkan dominasi “Kesadaran Sinis” terhadap alternatif menuju kehidupan ataupun laku beragama yang lebih subtantif.
Iklim pemikiran intelektual muslim kita hanya didominasi oleh pemikir yang garang ketika mengkritik pola pemahaman teks agama (baca: Liberal). Namun melempem ketika menggalang kesadaran untuk mengkritik pemahaman partikular-individualis menuju kesadaran kolektif. Apalagi bila dihadapkan pada praktik realitas agama yang diasuh oleh organisasi atau lembaga otoritas di mana pemikir itu bersemayam. Di lain sisi banyak intelektual organik yang menuntut kesadaran kolektif kian terekslusi dari arus utama pemikiran hari ini.
Saya rasa, seperti yang saya sebut di awal tadi, bahwa apa yang dibaca dari karya Meiksins Wood hanyalah sebuah “dongeng”, maka refleksi bacaan tersebut bisa jadi hanya utopia belaka: saat di mana para pemikir kita secara berkesadaran mendorong umat untuk menggalang kesadaran kolektif. Termasuk di dalamnya memanfaatkan momentum puasa untuk menjahit kesadaran umat dalam menahan karakusan dari sebuah model akumulasi yang nir-kemanusiaan. Selamat berbuka puasa.