Prof Arfiyah dalam buku ini menarik dua poin persoalan dalam gender. Pertama teks ayat-ayat Al-Qur’an dipahami secara patriarkis sehingga terkesan lebih memihak pada laki-laki. Dalam hal ini membutuhkan metode tepat untuk memahami teks dengan benar. Kedua pembaca sebatas membaca secara mentah teks ayat dan hadis tanpa memperhatikan kajian kebahasaan.
Cixous menjelaskan dua gaya karakter penulisan kitab tafsir yaitu feminime writing dan masculine writing. Pada masculine writing ini mufassir memiliki gaya penulisan yang menonjolkan sifat patriarki dan memojokkan perempuan. Tampak dari penggunaan redaksi maupun simbol yang digunakan mufassir sedangkan feminime writing menghindari dominasi gender serta lebih menekankan pada sisi perempuan seperti pengalaman perempuan. Penggunaan bahasanya lebih memperhatikan gaya bahasa dan ekspresif.
Tidak semua kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir laki-laki bersifat patriarki. Sebagaimana penelitian yang dikaji oleh Prof Arfiyah terdapat empat tafsir dengan corak al-adab al-ijtima’i atau sosial kemasyarakatan meliputi Al-Misbah, Lata’if Al-Isyarat, An-Nur, dan Turjuman Al-Mustafid. Kitab tafsir tersebut terbilang ramah perempuan. Dalam buku ini beliau membuktikan bahwa mufassir laki-laki tidak sepenuhnya mendominasi sikap patriarki dalam maskulinitas penulisan tafsir mereka. Quraish Shihab, Hasbi Ash-Shiddieqie, dan Hamka justru apresiatif gender.
Prof Arfiyah menawarkan model Qur’anic Gender Writing bermaksud untuk memberikan penafsiran terbebas dari sentimen gender. Terdapat dua tujuan yaitu dapat memperkaya kajian ulumul qur’an kontemporer dalam bidang metode penafsiran. Serta memperbarui pandangan publik mengenai relasi gender laki-laki dan perempuan untuk memaksimalkan potensi domestik dan publik dari keduanya. Model Qur’anic Gender Writing terinspirasi dari beberapa metode penafsiran sebelumnya meliputi metode maudhu’i, muqaran, dan metode historis kritis kontekstual. Kehadirannya adalah untuk melengkapi beberapa metode yang sudah ada sebelumnya.
Model qur’anic gender writing dalam pengertian sederhana yaitu metode sistematis dalam menjelaskan argumentasi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak berpihak pada salah satu gender. Beberapa langkah dalam penerapan qur’anic gender writing dapat dilakukan sebagai berikut,
- Menentukan tema pokok penelitian
- Mencari istilah-istilah dalam Al-Qur’an seputar gender
- Menggunakan telaah historis dan filosofis ayat
- Menggunakan kaidah-kaidah penafsiran
- Menggunakan perbandingan analisis tafsir dengan kajian teori kontemporer
- Memberikan pertimbangan terhadap penafsiran berdasarkan keadilan gender laki-laki dan perempuan
- Memberikan kesimpulan melalui argumen gender yang terbebas dari keberpihakan gender laki-laki dan perempuan
Buku ini memberikan contoh beberapa penafsiran ayat dengan menggunakan qur’anic gender writing. Pengambilan ayat-ayat ini berdasarkan keterkaitan dengan penafsiran kepemimpinan. Berupa kata khalifah pada surah Al-Baqarah ayat 30, qawwam pada surah An-Nisa ayat 34, imam pada surah Al-Baqarah ayat 124, ulil amri pada surah An-Nisa ayat 59, malik pada surah Yusuf ayat 43, imro’ah pada surah An-Naml ayat 23, dan nafsin wahidah pada surah An-Nisa ayat 1.
Penulis mengutip contoh pada penafsiran kata imra’ah surah An-Naml ayat 23. Imra’ah dimaknai secara umum sebagai pemimpin perempuan yang besar kekuasaannya tidak menggunakan kata lebih spesifik seperti penyebutan ratu. Dalam Al-Misbah menafsirkan imra’ah tamlikuhun (dengan perempuan yang memimpin mereka). Pertama, dalam Al-Misbah menafsirkan bahwa pemimpin seperti Ratu Saba’ dikategorikan sebagai pemimpin perempuan yang arif, bijaksana, dan mumpuni dalam mengambil keputusan. Kedua, pemimpin yang terbuka pada kebenaran dan tidak memaksakan kehendak. Ketiga, pemimpin perempuan sebagai simbol kekuatan. Karena Ratu Saba’ memiliki kecerdasan, tanggungjawab, dan cepat tanggap sehingga mumpuni dalam memimpin rakyatnya.
Senada dengan Buya Hamka dalam Al-Azhar ditafsirkan bahwa Ratu Saba’ adalah bukti pemimpin perempuan yang kredibel memenuhi kualifikasi pemimpin. Hasbi dalam tafsir An-Nur melihat bahwa Al-Qur’an memperbolehkan dan memberikan kesempatan pada perempuan untuk mendapatkan penghargaan atau jabatan yang sama seperti laki-laki. Namun, harus memenuhi persyaratan yang ditentukan sebagai pemimpin pada umumnya.
Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa model Qur’anic Gender Writing yang ditawarkan oleh Prof Arfiyah ini memberikan kontribusi pertama kalinya untuk membuka pandangan kepada khalayak mengenai tafsir gender. Di era kontemporer ini penggunaan model tersebut difungsikan untuk memberikan telaah penafsiran khususnya berfokus pada isu-isu gender.
Tentang Buku
Judul Buku: Menafsir Ulang Gender Dalam Al-Qur’an Kritik Falosentrisme Dan Rekonsiderasi Stereotipe Tafsir Patriarki
Penulis: Prof. Dr. Hj. Arfiyah Febriani, M.A
Penerbit: Young Progressive Muslim
Terbit: Maret 2025