Seorang filsuf menyewa perahu untuk menyeberangi sungai. Untuk mengakrabkan, kepada tukang perahu sang filsuf bertanya, “Anda tahu psikologi?” “Tidak,” jawab tukang perahu. “Sayang sekali, psikologi itu sangat berkaitan dengan perilaku Anda sehari-hari. Anda tahu sosiologi?” Jawaban tukang perahu sama, “Tidak.” “Sayang sekali, sosiologi terkait erat dengan masyarakat Anda. Terus, Anda tahu filsafat?” Lagi-lagi jawaban tukang perahu, “Tidak.” “Sayang sekali, padahal filsafat memberikan makna pada hidup dan mati Anda.” Tiba-tiba ombak besar menerjang. Dengan sigap tukang perahu membantingkannya ke samping. Perahu berguncang. Tukang perahu mengamati wajah filsuf yang ketakutan. Kini giliran ia bertanya kepada filsuf, “Tuan, Anda bisa berenang?” “Tidak,” jawab filsuf. “Sayang sekali, padahal berenang berkaitan dengan hidup dan mati Anda,” ujar tukang perahu.
Saya membayangkan, Anda yang tidak suka filsafat tersenyum membaca kisah di atas. Senyum kemenangan, atau mungkin senyum sinis seorang “pemenang” kepada seorang “pecundang”. Kisah tersebut memang “menampar” filsafat. Tukang perahu sedang mengkritik filsafat: tidak praktis, abstrak, mengawang, dan tidak membumi. Filsafat adalah kerjaan orang yang tidak ada kerjaan. Filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Karena itu, primum vivere deinde philosophari (dahulukan hidup daripada berfilsafat), kata Thomas Hobbes (1588-1679).
Kalimat Latin lainnya yang sejenis: primum manducare, deinde philosophari (makan dulu, baru berfilsafat); primum panem, deinde philosophari (pertama roti, kedua filsafat); primum bibere, deinde philosophari (minum dulu, baru berfilsafat). Dalam bahasa Jerman, Kurt Weill (komponis besar) dan Bertolt Brecht (penyair, penulis, dan kritikus sastra) berkata, “Erst kommt das fressen, dann kommt die moral (siapkan dulu makanan, baru bicara tentang kesusilaan).
Bagi tukang perahu, semboyan-semboyan di atas menunjukkan bahwa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lebih penting dari belajar psikologi atau filsafat. Lebih baik menaruh perhatian kepada hal-hal yang konkret dan aspek-aspek yang praktis ketimbang filsafat yang abstrak dan teoretis. Toh masyarakat tidak akan peduli dengan filsafat jika kebutuhan pokoknya belum terpenuhi.
Tapi tunggu dulu! Jangan tergesa sinis atau bahkan membenci filsafat. Kisah tentang filsafat bukan hanya kisah tentang tukang perahu. Kita sajikan beberapa kisah nyata yang dialami para filsuf. Kita mulai dengan Socrates. Ia (dalam dunia nyata) diadili oleh penguasa Athena dengan tuduhan meracuni pikiran anak-anak muda dan melakukan penistaan terhadap Tuhan. Padahal pemikiran Socrates justru berusaha mencerahkan orang—terutama anak-anak muda—dari pengeruhan akal yang diakibatkan oleh penyalahgunaan retorika. Socrates dihukum minum racun, disaksikan para muridnya. Plato—walaupun tidak hadir di ruangan Socrates—kelak melaporkan kisah kematian Socrates dengan linangan air mata. Phaedo, salah seorang murid Socrates, mengisahkan kematian gurunya, “Begitulah, Echecrates, akhir sahabat kita, orang yang boleh kita katakan, orang yang paling berani, paling bijak, dan paling lurus dari seluruh umat manusia yang pernah kita kenal di zaman ini.”
Aristoteles hampir mengalami apa yang dialami Socrates. Ketika muridnya, sekaligus pelindungnya, Raja Alexander yang Agung, meninggal, Aristoteles melarikan diri dari Athena, “Agar Athena tidak berdosa dua kali terhadap filsafat,” katanya. Pythagoras berhadapan dengan musuh-musuhnya di Sisilia. Sejumlah besar pengikutnya dibantai. Ketika Pythagoras melarikan diri dari amukan massa, orang-orang berhasil membunuhnya. Zeno dibunuh karena dianggap mau menggulingkan tiran di Elea. Ketika para filsuf itu berlindung di Athena karena keterbukaannya, perkembangan politis akhirnya menyudutkan mereka. Anaxagoras adalah filsuf pertama yang tinggal di Athena. la bersahabat dengan Perikles, seorang di antara penguasa. Tapi persahabatannya tidak menyelamatkannya dari penjara. Protagoras diusir dari Athena. Buku-bukunya dibakar. Diagoras dihukum mati dan lari dari Athena. Orang-orang Athena mengumumkan hadiah satu talen perak buat orang yang bisa membawa kepalanya.
Dari Athena ke Alexandria. Di sana ada Hypatia, wanita yang menumbangkan stereotip perempuan cantik. la luar biasa cantik, pada saat sama, luar biasa cerdas. Ahli astronomi, matematika, dan tentu saja filsafat. Berpakaian toga dan jubah filsuf, yang di zaman itu hanya dipakai pria, dengan anggun ia berjalan di tengah Kota Alexandria. Will Durant dalam The Age of Faith menulis tentang Hypatia. “Begitu sukanya ia pada filsafat sehingga ia bisa berhenti di jalanan dan menjelaskan kepada siapa saja yang bertanya tentang masalah pelik dalam ajaran Plato dan Aristoteles.” Kecuali “orang-orang saleh” yang lebih sibuk memobilisasi massa untuk kekuasaan daripada mendidik jemaahnya, semua mencintai Hypatia.
Uskup Besar Cyril konon memerintahkan para romo untuk menyeret Hypatia dari keretanya, membawanya ke gereja, menelanjanginya, menguliti tubuhnya dengan kulit kerang, menyirami salib dan altar dengan darahnya, menyobek-nyobek mayatnya, dan akhirnya membakarnya. “Sesudah kematiannya, umat Kristiani yang ‘saleh’ itu melantik Cyril sebagai ‘Theophillus Baru’ karena ia telah mengalahkan sisa-sisa terakhir penyembah berhala,” laporan John dari Nikiu dalam Chronicle. Kematian Hypatia yang mengerikan dan pengangkatan Cyril yang gemerlapan menandai berakhirnya sekolah para filsuf. Kaisar Justinianus menutup semua sekolah yang mengajarkan filsafat pada 529. Dalam ungkapan Durant, selesai sudah “transisi dari filsafat ke agama, dari Plato ke Kristus”.
Dari Alexandria ke London. Pada zaman pramoderen, Kota London memenggal kepala filsuf Thomas More, penulis buku Utopia yang terkenal itu. Ia tetap menolak keputusan Raja Henry VIII untuk menyatukan kekuasaan sekuler dan agama. Ia tidak menyetujui perceraian Raja dengan istrinya. Ia dipenjarakan di Tower Hill yang terkenal sebagai tempat eksekusi. Dengan tuduhan berkhianat (sepanjang sejarah, hukum adalah keputusan pemegang hegemoni), More dijatuhi hukuman mati. Di atas panggung eksekusi, ia menawarkan diri untuk memasang penutup mata sendiri. Di hadapan para penonton, ia berkata, “Aku mati sebagai pelayan baik Raja—tetapi yang pertama, aku pelayan Tuhan”.
Dari London kita ke Roma, kota antik yang pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi. Roma akan menjatuhkan hukuman kepada filsuf Giordano Bruno—satu-satunya filsuf yang diekskomunikasi oleh tiga mazhab besar dalam Kristianitas: Roman Katholik, Calvinis, dan Lutheran. Kongregasi Tahta Suci, the Congregation of the Holy Office, pada 21 Desember 1599 meminta Bruno untuk bertobat dari bidat-bidat (baca: pandangan falsafi) yang dianutnya. Kepada inquisitor-nya, dengan tegas ia menyatakan bahwa ia tidak perlu dan tidak ingin bertobat, bahwa tidak ada yang harus ia tobati, bahwa ia tidak punya pandangan yang harus ditobati, dan ia tidak tahu mengapa ia harus bertobat. Maka pada dini hari yang dingin, 17 Februari 1600, pengikut pandangan heliosentris ini dibawa ke Campo de’ Fiori. Sepotong logam ditusukkan ke mulutnya. Ditelanjangi, diikatkan pada tiang; dan dengan iringan lagu yang mengantarkan pemotongan leher St. John, ia dibakar hidup-hidup.
Coba renungkan! Jika filsafat cuma omong kosong dari orang-orang yang tidak ada kerjaan, jika filsafat tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, mengapa kota-kota peradaban dunia menghukum para filsuf? Bagi tukang perahu, kemampuan berenang dapat menyelamatkannya dari kematian. Bagi jutaan umat manusia, filsafatlah yang memberikan pencerahan tentang bagaimana menghadapi kematian. Tukang perahu benar. Berenang dapat menyelamatkan kita dari gelombang sungai, tetapi filsafat membantu kita mengarungi gelombang kehidupan.
Socrates sekarang lebih banyak diikuti dan dijadikan teladan ketimbang Arsitophanes. Jika umat Kristiani mencontoh Kristus yang bersabar memikul tiang salib ke Bukit Golgotha, para Socratis melihat kepada Socrates dalam menghadapi kematian. Yang pertama disebut berpegang pada agama. Yang terakhir pada filsafat. Agama dan filsafat, kedua-duanya berguna untuk menghadapi hari-hari kita yang gelap.
Filsafat pernah menyapu air mata seorang napi korban fitnah dan memberikan cahaya baginya dalam gelap kehidupannya. Napi itu Anicius Manlius Severinus Boethius, seorang senator, pejabat tinggi, negarawan, juga filsuf. la orang baik yang terkenal pintar dan bijak, dengan seabrek sukses. Nasib kemudian menjebloskannya ke penjara pengap di Pavia, Italia. Ia dituduh pengkhianat oleh para pendengkinya. Kaisar Theodoric menetapkan hukuman mati baginya. Tentu karena dia kaisar, tidak diperlukan bukti untuk itu. Antara masuk penjara dan jatuhnya hukuman mati ada waktu tenggang.
Dalam kegelapan, kepengapan, dan kesunyian penjara, ia menuliskan penderitaannya. Ia merasa nasib telah memperlakukannya tidak adil. Mengapa orang jahat dimenangkan dan orang baik dikalahkan? Secara mengejutkan, muncul seorang perempuan yang sangat berwibawa dan anggun. Ia duduk di ujung ranjang Boethius, menatapnya dengan iba. “Sekarang waktunya untuk menyembuhkan, bukan mengeluhkan,” kata dewi yang sangat memesona itu, yang turun tiba-tiba dari angkasa. “Bukankah kamu laki-laki yang mereguk susu pengajaranku dan tumbuh besar dengan makananku? Aku berikan padamu senjata untuk melindungimu dan membuat kamu tetap kokoh, tetapi senjata itu sekarang kamu lem-parkan?” lanjut sang Dewi. la melipat kain panjangnya dan mengusap air mata yang memenuhi pelupuk Boethius.
“Ia buyarkan awan deritaku dan dalam cahayanya aku tenggelamkan diriku. Aku mencoba mengingat muka dokterku itu. Aku pusatkan perhatianku kepadanya. Aku lihat, dialah perawatku yang di rumahnya aku telah dipelihara sejak masa mudaku—filsafat. Dewi Filsafat!” begitu cerita Boethius dalam bukunya yang ditulis 1.500 tahun yang lalu, De Consolationi Philosophiae. Buku ini telah diterjemahkan kepada berbagai bahasa. Telah dikomentari dan komentarnya dikomentari lagi. Menjadi bacaan populer bagi peminat sastra Latin klasik. Metriks-metriks puisinya sangat indah sehingga sebagian orang menganggapnya sebagai buku liturgi (buku doa). Consolatio, nama buku itu, sebetulnya merujuk pada genre sastrawi yang sudah kuno, cabang diatrib dalam berargumentasi falsafi. Dalam diatrib, penulis beragumentasi dengan tokoh imajiner (Dewi Filsafat, misalnya). Semua mazhab filsafat menggunakannya.
Boethius berjasa menerjemahkan banyak buku filsafat Yunani ke bahasa Latin. Ia menjadi jembatan penghubung filsafat klasik dengan filsafat abad pertengahan. Ia memengaruhi banyak filsuf sesudah kematiannya. Boethius kita kenang kembali untuk menjawab pertanyaan tukang perahu itu. Filsafat tidak bisa menyelamatkan kita dari kematian, tetapi filsafat dapat memberikan penghiburan di saat-saat kita mendekati kematian. “Setiap tarikan napas kita,” kata Imam Ali, “adalah satu ayunan langkah kita menuju kematian”. Jadi, selama bernapas—terutama pada waktu napas terasa sesak—kita memerlukan kunjungan Dewi Filsafat.
Jadi, bisakah filsafat menjadi way of life? Plato dan Diogenes mewakili dua aliran besar dalam filsafat. Plato melihat filsafat sebagai latihan intelektual untuk memahami objek filsafat. Pada zaman modern, ajaran Plato itu mencapai puncaknya, filsafat analitis (juga sebagian filsafat kontinental). Filsafat menjadi spesialisasi akademis yang jauh dari kehidupan nyata. Meski tidak persis seperti Diogenes, sekarang ada upaya global untuk mengembalikan filsafat sebagai way of life. Filsafat dibahas dalam relevansinya untuk mencari solusi masalah-masalah kemanusiaan. Filsafat dirujuk untuk mencari makna hidup, mengejar kebahagiaan, melepaskan ketakutan, menentukan pilihan antara baik dan buruk.
Hanya dengan mengembalikan filsafat kepada akarnya, filsafat dapat menjadi way of life. la philosophie comme mode de vie. Bukan sekadar discourse philosophique, wacana falsafi.
Lalu, kapan persisnya filsafat dapat menjadi way of life? Seperti terbaca dari judul buku ini: “Filsafat sebagai Way of Life: Kekuatan Memaknai dan Memaafkan dalam Menjalani Kehidupan,” filsafat dapat menjadi way of life ketika ia menjadi kekuatan yang sanggup memaknai kehidupan seraya menebarkan pemaafan.