Wayang adalah simbol kehidupan manusia. Bahkan merupakan bayangan dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia yang apa adanya, yang tidak sekadar “hitam-putih”. Manusia yang tidak sempurna, manusia yang penuh cacat, namun tetap giat dalam menggeliat untuk mencapai harapan dan cita-citanya, sembari terus bergulat dalam kebenaran dan dosa-dosa.” Hlm.v

Buku tipis yang kubaca pada waktu setelah sahur ini, menceritakan penggalan episode dari epos besar Mahabarata yaitu perang Bharata Yudha, lebih khusus lagi saat-saat sebelum perang itu meletus. Perang ini terjadi akibat Kurawa mengingkari janjinya menyerahkan kembali Indraprasta kepada Pandawa. Setelah Pandawa hidup di belantara hutan selama duabelas tahun dalam pengasingan dan satu tahun dalam penyamaran, Kurawa tak kunjung menepati janjinya meski sudah ditagih berkali-kali.

Pihak Pandawa berkeyakinan bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali Indraprasta adalah merebutnya melalui perang. Kedua belah pihak tentu mengerahkan pasukan sebanyak mungkin dan sebaik mungkin. Dan, setiap perang pasti menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Darah akan tumpah.

Perang selalu menghadirkan kengerian baik bagi para perajurit maupun warga sipil. Seorang ayah kehilangan anaknya, seorang anak kehilangan ayahnya, para istri menjadi janda, mayat-mayat tertumpuk di kubangan air, darah mengalirkan anyir ke udara, rumah-rumah binasa, dan kota-kota ditinggalkan tanpa penghuni. Begitulah mengerikannya perang.

Saat itu Arjuna yang dikenal sebagai kesatria pilih tanding sedang bimbang apakah akan ikut berperang atau tidak. Ia tahu betul akan dampak mengerikan perang. Ia tidak ingin ada banyak nyawa melayang hanya karena dirinya berkemauan merebut kembali Indraprasta. Menurutnya ini adalah hal yang sangat egois. Para Pandawa tak perlu berambisi merebut kembali Indraprasta, toh tanpa Indraprasta mereka masih tetap mampu hidup layak. Lagi pula, menurut kabar yang beredar, bersama Hastinapura, Indraprasta menjadi wilayah yang penduduknya sangat makmur. Kurawa toh mampu menyejahterakan rakyat Indraprasta. Jadi, menurut Arjuna kala itu, merebut kembali Indraprasta adalah tindakan yang egois dan hanya mementingkan hawa nafsu saja. Hanya demi keegoisan ini, mereka harus menumpahkan banyak darah.

Arjuna benar-benar dalam kebimbangan apakah akan ikut berperang atau tidak. Padahal, kedua belah pasukan sudah sangat dekat dan saling bersahutan menabuh genderang perang. Kedua pihak sudah siap mati di padang tandus Kurusetra. Kebimbangan Arjuna semakin menjadi-jadi tatkala ia tahu bahwa Baladewa bersikap netral. Baladewa bahkan bersumpah akan bertapa selama perang itu terjadi dan hanya akan kembali setelah perang selesai entah siapa pun pemenangnya.

Kresna yang mengetahui kebimbangan Arjuna tak tinggal diam. Dia berusaha membujuk Arjuna untuk ikut berperang. Dia tahu persis bahwa kekuatan Arjuna akan sangat berarti untuk memperkuat pasukan Pandawa. Tanpa Arjuna sama saja mereka akan mengalami kekalahan.

Kresna berusaha keras membujuk Arjuna untuk ikut berperang. Namun, Arjuna punya alasannya sendiri. Di sinilah justru inti dari buku ini. Lewat perdebatan alot antara Kresna dan Arjuna, kita sebagai pembaca diajak untuk menyelami ide-ide filosofis yang tumbuh pada masa itu dan bagaimana ide-ide itu digunakan untuk berbagai kepentingan.

Misalnya, saat Kresna berargumen bahwa semua manusia sejatinya adalah percikan kebesaran Ilahi. Mereka punya sesuatu di dalam tubuh fisik yang tak akan pernah mati meskipun badan telah hancur. Yang dimaksud Kresna mungkin apa yang saat ini kita sebut sebagai roh. Menurutnya, semua roh pada dasarnya sama karena roh adalah pancaran kebesaran ilahi. Roh tidak bisa dihancurkan meskipun kamu membunuh tubuh fisiknya karena tubuh hanyalah wadah sementara saja. Lewat argumen ini, Kresna seperti hendak bilang ke Arjuna bahwa meskipun perang merenggut banyak korban jiwa, pada dasarnya tak ada yang mati, roh mereka tetap ada dan hidup, dan akan menitis kembali pada kehidupan yang lain. Jadi, Arjuna tak perlu khawatir kalau ia menumpahkan darah. Toh, pada dasarnya kita semua ini satu karena berasal dari tempat yang sama.

Arjuna tentu tidak dengan mudah menerima argumentasi Kresna. Menurutnya perang yang dilandasi dengan dendam, amarah, dan keinginan untuk berkuasa hanyalah pelampiasan nafsu keegoisan semata. Ini tak dapat dibenarkan. Pendapat Arjuna membuat Kresna berpikir keras dan pada akhirnya menyerang balik Arjuna dengan menggunakan gagasan ini. Ia bilang bahwa kesatria yang tak mau menghadapi perang sesungguhnya juga sedang menuruti hawa nafsu keegoisannya, kesatria itu sesungguhnya hanya takut saja, dan takut menurutnya juga nafsu seseorang.

Menurut Kresna, seorang kesatria yang lari dari medan perang adalah pengecut, apapun alasannya. Ia menekankan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah menjalankan perannya masing-masing dengan sebaik mungkin. “Setelah kaulakukan apa yang seharusnya kaulakukan, maka berhasil ataupun gagal, bukan lagi menjadi urusanmu. Iti urusan Ilahi. Maka berserah dirilah kepada-Nya.”

Mereka terus berdebat dan berdiskusi, sejalan dengan kedua belah pasukan yang semakin dekat menuju medan peperangan. Lewat perdebatan kedua tokoh inilah banyak gagasan-gagasan penting yang bisa kita pelajari. Ini seperti saat kita ngobrol dengan teman dekat di tengah malam dengan obrolan yang bisa mengarah ke mana saja dan kita mendapat pencerahan dari obrolan itu.

Kebenaran terkadang begitu buram dan tak pasti. Apa yang kita anggap benar seringkali ternyata salah dan apa yang kita anggap salah seringkali ternyata benar. Apa yang merugikan kita pada awalnya bisa jadi menguntungkan pada akhirnya. Hidup manusia memang begitu kompleks. Kehidupan seringkali tak bisa kita nilai dengan pandangan benar-salah saja. Ini karena kebenaran pun bisa dimanipulasi, dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dan pada akhirnya, kebenaran akan selalu menjadi objek perdebatan umat manusia yang memang terus-menerus mencarinya sepanjang hayat.

Lewat pemikiran kedua tokoh dalam buku ini, kita akan terbawa pada pembahasan mengenai Ilahi, hakikat menjadi manusia, pengendalian atas nafsu, bagaimana berbakti pada Ilahi, bagaimana berserah diri pada Ilahi, dan bahkan sampai kepada konsep manunggaling kawula gusti yang sangat populer itu.

 

Informasi Buku:

Judul Buku: Bhagawad Gita

Penulis: Heru HS

Penerbit: Ecosystem Publishing

Cetakan I: 2018

Tebal: 104 halaman

ISBN: 978-602-1527-58-0

Komentar