Dalam perspektif fisikalis, tidak ada sesuatu pun yang ada di luar unsur-unsur fisik yang menyusun realitas. Unsur-unsur tersebut dapat dicampur dan digabung-gabungkan sehingga menghasilkan susunan struktur yang menakjubkan seperti galaksi, bintang, hewan, tumbuhan dan manusia mengikuti konfigurasi materinya masing-masing.

Inti unsur-unsur tersebut adalah partikel elektron, proton dan neutron. Kita semua, yang ada di dunia, baik yang hidup maupun mati, semuanya terbuat dari susunan partikel-partikel tersebut, yang diatur oleh hukum fisika. Yang membedakan kita dengan makhluk, atau benda lain, adalah bagaimana cara partikel itu disusun. Artinya nasib setiap struktur material, termasuk kita, manusia, ditentukan oleh ketahanan susunan partikel-partikel tersebut. Akhir manusia sebagai organisme adalah ketika partikel-partikel yang tersusun menjadi materi organ tubuh itu berhenti bekerja.

Ya, menurut fisikalis, kita dengan hewan tidak ada bedanya. Sama-sama sebagai organisme belaka. Kalau mati ya sudah.

Namun tidak sesederhana itu. Einstein, dikutip oleh Brian Greene dalam pengantar buku ini, mengungkapkan bahwa hanya ada dua hal yang mungkin tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia. Hal tersebut menunjukkan adanya dualitas yang menyedihkan dalam kodrat manusia: spesies yang sama yang membumbung tinggi sehebat Pramoedya dan Tan Malaka itu, pada saat yang sama dapat menjatuhkan diri serendah-rendahnya sampai bisa membantai sesama spesiesnya dengan cara yang nauzubillah.

Dualitas tersebut memadukan antara transendensi, hasrat keabadian, dan kematian. Sebuah kombinasi khas manusiawi.

Dalam gerak evolusi, manusia muncul sebagai makhluk superior yang dapat survive sebegini majunya, mengalahkan spesies-spesies lain dengan satu atribut, yaitu segumpal benda lembek agak basah di kepala, yang terdiri dari seratur miliar neuron yang terkait satu sama lain dan ratusan triliun hubungan sinaptik, yang mampu melakukan penalaran sebab-akibat, kerja sama kelompok dan secara kreatif menciptakan berbagai teori, suatu kemampuan yang tak tertandingi oleh makhluk sealam raya.

Sebagian besar — untuk tidak mengatakan semua — apa yang kita lakukan, baik sebagai individu maupun masyarakat, sesungguhnya merupakan upaya untuk menutup-nutupi sesuatu yang bila dibiarkan menganga akan membawa kita ke kesadaran yang menghancurkan, yaitu bahwa ada kematian yang sedang menanti. Ya, kita denial dengan kematian.

Apa saja yang kita lakukan, sesederhana makan, minum, dan tidur, adalah upaya agar tidak mati. Bahkan kerja hebat yang dilakukan oleh para saintis, dalam berbagai bidang, adalah upaya agar kita dapat hidup lebih lama lagi.

The Denial of Death adalah semacam sebuah jawaban dari pertanyaan: bagaimana agar kita tidak denial terhadap teror kematian? sebuah jawaban yang dimulai dengan menyusuri naluri manusia yang paling dasar melalui teori psikoanalisis, dengan memadukan berbagai pemikiran tokoh psikoanalisis seperti Freud, Jung, Kierkegaard, dan Otto Rank.

Kita patut berterimakasih kepada Sam Keen dalam pengantar buku ini. Pemaparan Ernest Becker yang begitu kompleks dan panjang (500 halaman lebih) ini disederhanakan oleh Keen ke dalam empat helai benang merah.

Benang pertama, dunia ini menakutkan, mengerikan, selalu ada hal yang membuat kita khawatir dan cemas dalam hidup.

Benang kedua, motivasi dasar perilaku manusia adalah kebutuhan biologisnya untuk mengendalikan ketakutan dan kecemasan dasarnya, untuk menyangkal teror kematian.

Kita tidak menemukan ketakutan pada binatang, kata Kierkegaard, karena binatang tidak punya jiwa. Tidak memiliki jiwa berarti tidak memiliki identitas simbolik. Binatang tak punya itu. Ia ignorant, dungu-abai-tak-tahu-apa-apa, karena itu ia innocent, polos, jujur serba apa adanya. Berbeda dengan manusia, a synthesis of the soulish and bodily, sintesis sesuatu yang jiwani, memiliki jiwa, dan jasmani (hal. 112).

Benag ketiga, karena teror kematian itu begitu dahsyat dan membuat kita kewalahan, kita bersekongkol dan berusaha keras untuk menyembunyikannya, menutup-nutupinya.

Benang keempat, proyek-proyek heroik kita yang bertujuan untuk menghancurkan kejahatan memiliki efek paradoksal, yaitu malah membawa lebih banyak kejahatan ke dunia. Efek paling tragisnya adalah perang antar sesama spesies. Manusia menyangkal kematiannya dengan membunuh manusia lain. Terbentuklah lingkaran setan yang tiada putus.

Keen mengingatkan kita akan satu hal penting, bahwa sejak awal, manusia telah menghadapi apa yang oleh Carl Jung sebut sebagai bayangan mereka berupa perasaan rendah diri, benci pada diri sendiri, rasa bersalah, permusuhan, dengan memproyeksikan, melimpahkannya, kepada musuh.

Meski berakhir paradoks, namun kita masih punya harapan, yang sangat rapuh sekaligus sangat kuat (sebuah paradoks juga), di samping sifat hewani-alamiah kita yang membawa pada kehancuran, kita juga memiliki akal budi untuk mengendalikan dan memengaruhi kejahatan tersebut.

Alakulli hal, Kierkegaard memberi kita alternatif jalan keluar dari konflik-manusiawi tersebut, yaitu yang ia sebut renunsiasi-diri, sebuah upaya mengosongkan diri, bahkan mengorbankan diri secara total, dan menyerahkan hidup kita sebagai persembahan kepada kuasa yang paling tinggi.

Renunsiasi-diri adalah pencapaian dan cita-cita paling tinggi yang bisa diraih manusia. Penyerahan diri merupakan pemenuhan cinta Agape, cinta yang tidak mementingkan sendiri, tanpa syarat, tanpa pamrih. Hanya dengan cara berserah diri kepada keagungan alam semesta manusia dapat menaklukkan kematian.

Komentar