Perbincangan teologi khusunya Islam, menjadi trend yang sangat banyak diminati baik dari kalangan Barat maupun kalangan muslim sendiri. Dengan kurun waktu yang panjang, pergumulan kesarjanaan memang telah banyak menempuh waktu yang sangat panjang dalam menghidupkan dan melestarikan berbagai sumber pengetahuan dari masa ke masa. Sampai tahap ini, kesarjanaan modern masih terus turut berpartisipasi dalam melestarikan khazanah keilmuan yang lahir dari agama (Islam).
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran Islam sebagai agama yang mempunyai ajaran sentral telah hadir menghiasi beragam keilmuan yang sangat berpengaruh terhaap laku kehidupan sosial, budaya dan pemikiran. Majid Daneshgar dalam karyanya Studying the Qur’an in the Muslim Academy memberikan analisa baru dalam melihat perkembangan Islam melalui kacamata ilmiah. Sarjana asal Iran ini juga memberikan gambaran, bahwa sejak awal Islam banyak kaum muslim yang mengembangkan tradisi keilmuannya melalui bidang ilmiah baik terkait fiqih, kalam, filsafat, tarikh, yang hidup di lembaga-lembaga sekolah atau madrasah dibawah naungan ilmu agama (Ulum al-Din).
Maka tak heran bila sejak awal masa perkembangan Islam pada abad ke 8 sampai pada abad ke 12 keilmuan dan transmisi pengetahuannya mampu mempengaruhi peradaban Eropa modern. Hal ini pula yang memberikan dampak besar terhadap moralitas masyarakat, termasuk akademis, politis, dan budaya. Tetapi yang lebih penting, Majid juga menggaris bawahi bahwa tradisi ilmiah ini nampaknya juga mulai terlupakan dalam kesarjanaan Islam masa kini. Maka dari itu pertanyaan mendasar gagasan Majid adalah Islam tradisi Ilmiah atau apologetik (keyakinan)?
Bagi Majid, menghidupkan Islam dalam tradisi Ilmiah bukanlah sesuatu yang tabu karna memang sejak awal Islam dihidupkan melalui tradisi ilmiah dan dialektis kritis. Tetapi sayangnya, hal ini justru tidak menjadi prioritas dalam studi kajian Islam dan al-Qur’an hanya karna alasan apologetik.
Padahal, kehidupan agama dalam transmisi pengetahuan sangatlah penting sebagai bentuk pengembangan pemikiran dari berbagai wacana yang di hidupkan oleh perkembangan modern dan kemajuan teknologi. Hal ini bisa kita lihat, banyak dianatara negara atau wilayah muslim yang memiliki jurnal bahkan penerbit sendiri yang berstandar internasional, tetapi tidak begitu banyak dari keilmuannya dapat mempengaruhi peradaban modern. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan metode, analisis, dan cara pandang kesarjanaan muslim terhadap teks-teks agama mereka.
Majid menjelaskan, perbedaan ini terletak pada cara pandang dan metode dalam mendekati teks-teks atau sumber-sumber Islam yang sering kali masih cenderung konservatif dan tradisionalis. Dalam beberapa tradisi ilmiah harusnya tradisi atau pemahaman konservatif seharusnya tidak lagi menjadi prioritas dalam kesarjanaan Islam akademis. Terlebih dalam tradisi Akademis kegiatan pengetahuan hanya bersandar pada nilai empiris dan rasionalisme.
Islam dalam tradisi kesarjanann Barat
Sebagai mana kita ketahui, wacana adanya kajian Islam akademis atau ilmiah, juga telah dihidupkan oleh tradisi kesarjanaan barat yang sejak abad ke 2 sampai abad ke 12. Sampai hari ini, ketertarikan orang Barat terhadap Islam sudah banyak melahirkan berbagai sumber pengetahuan yang juga dapat menujang pemenuhan dari adanya sumber-sumber yang dihidupkan oleh kalangan Muslim.
Beberapa dari mereka memang sering menolak setiap pengetahuan atau sumber yang dilahirkan dari kesarjanaan Barat tetang Islam, karena dengan berbagai alasan, sumber –sumber yang lahir dari barat sering dipandang sebelah mata dan mendaptkan reaksi beragam penolakan dan kontroversi. Meskipun demikian, apa yang dihidupak oleh kalangan sarjana barat hanya megacu kepada pendekatan akademis yang secara umum ini dapat mendorong cara pandang kita terhadap sumber pengetahuan yang dilahirkan oleh agama.
Pada bagian ke dua buku Majid, mejelaskan bahwa pendekatan, metodologis, dan cara berpikir mereka sangatlah progresif yang tdiak hanya berpatok kepada sumber empiris tetapi juga kepada analisa kritis dan dialektis. Tak hanya kepada Islam, kesarjanaan barat juga menerapkan metode yang sama kepada sumber-sumber yang lahir dari agama mereka sendiri. Dalam konteks ini, para sarjana Barat terbiasa mempelajari al-Qur’an dan literatur Alkitab secara bersamaan, sebagai bagian dari studi mereka tentang Islam yang dapat berdampak terhadap literatur kajian studi islam di wilayah Negara Muslim.
Maka dari sini kita dapa melihat, hadirnya pekermabangan Islamic Studies yang berkembang di Barat muncul dari paradigma berpikir orientalis bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan degan kebebasan sedemikian rupa. Ketertarikan para sarjana Barat dalam kajian Islamic Studies tidak lain disebabkan karena mengapresiasi dan melihat bahwa Islam merupakan fenomena alam semesta diaman ajaran sentralnya adalah al-Qur’an.
Dengan terbukanya gerbang pintu Islamic Studies untuk diteliti di Barat, menjadikan jumlah kuantitas orientalis semakin meningkat. Sayangnya pemikiran para orientalis Barat seringkali dilabeli negatif oleh mayoritas akademisi Muslim, sehingga megakibatkan al-Qur’an terseret kea rah objektivitas, ortodoksi dan apologism.
Identitas Buku
Judul Buku : Studying the Qur’an in the Muslim Academy
Penulsi : Majid Daneshgar
Penerbit : Oxford University Press 2020
ISBN : 9780190067557