Di sepanjang sejarah Islam, benturan antara teks wahyu dan akal budi selalu menjadi medan tarik-menarik yang menegangkan. Sejumlah tokoh besar mengupayakan sintesis antara keduanya, seperti al-Fārabī, Ibn Sīnā, hingga al-Ghazālī. Namun ada pula sosok yang mengambil sikap keras terhadap akal formal, salah satunya adalah Ibn Taimiyyah. Dalam karyanya al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn (Bantahan terhadap Para Ahli Logika), Ibn Taimiyyah melontarkan kritik tajam terhadap logika Aristotelian, yang selama berabad-abad menjadi fondasi penalaran filsafat dan teologi Islam.

Karya al-Tanbīhāt al-‘Aqliyyah ‘alā Ārā’ Ibn Taimiyyah al-Manṭiqiyyah (Peringatan Rasional atas Gagasan-gagasan Logika Ibn Taimiyyah) hadir sebagai respons metodologis dan rasional terhadap kritik Ibn Taimiyyah. Disusun oleh Ayman al-Miṣri dan disupervisi oleh Dr. Ṣaliḥ al-Wā’ilī, buku ini adalah pembelaan sistematis terhadap nilai dan posisi ilmu logika dalam tradisi keilmuan Islam. Ia tidak sekadar membela logika dari sisi historis dan teknis, tetapi juga menunjukkan implikasi epistemologis dan sosial dari penolakan Ibn Taimiyyah.

Warisan Logika dalam Dunia Islam

Buku ini dibuka dengan uraian historis; bagaimana logika Yunani, khususnya Aristotelian, masuk ke dunia Islam melalui terjemahan di pusat-pusat ilmu seperti Aleksandria, Ḥarrān, dan Baghdad. Para filsuf Muslim seperti al-Kindī, al-Fārabī, dan Ibn Sīnā tak hanya menerjemahkan, tapi juga mengembangkan dan mengislamkan logika sebagai ‘ilm al-mi‘yār (ilmu pengukur pikiran yang benar).

Namun sejak awal, logika tidak diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh ulama. Ada yang mencurigainya sebagai “barang impor Yunani” yang mencemari kesucian wahyu. Ibn Taimiyyah muncul sebagai puncak dari ‘skeptisisme’ ini. Ia menganggap logika Aristotelian sebagai metode yang tidak sah secara syar‘ī dan tidak sahih secara rasional.

Ibn Taimiyyah dan Kritik Radikal terhadap Logika

Dalam al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, Ibn Taimiyyah mengklaim bahwa logika Aristotelian tidak hanya tidak diperlukan, tetapi juga menyesatkan. Ia menyerang prinsip-prinsip dasar logika seperti definisi (ḥadd), proposisi (qaḍāyā), dan silogisme (qiyās), dengan mengatakan bahwa semua itu bertentangan dengan akal sehat dan wahyu. Menurutnya, pengetahuan sejati datang dari pengalaman langsung (al-ḥiss), intuisi, dan teks wahyu. Maka, upaya logika untuk menetapkan kebenaran melalui definisi dan argumentasi rasional adalah sia-sia. Ibn Taimiyyah menuduh logika sebagai jalan yang menyimpang, dan bahkan berbahaya.

Ayman al-Miṣri dalam buku ini mengajukan pertanyaan mendasar: Jika Ibn Taimiyyah menolak logika, mengapa ia justru menggunakan perangkat logika dalam menulis bukunya? Misalnya, ia tetap menggunakan prinsip identitas dan non-kontradiksi, serta silogisme implisit dalam argumennya. Artinya, Ibn Taimiyyah menyerang fondasi yang secara praktis masih ia gunakan. Ini adalah paradoks pertama yang dibongkar oleh al-Miṣri.

Kritik lainnya adalah bahwa Ibn Taimiyah gagal membedakan antara dua jenis logika; logika sebagai alat berpikir dan logika sebagai sistem filsafat tertentu. Yang ia kritik adalah logika dalam balutan filsafat Yunani, namun ia menolak seluruh logika tanpa menyaring bagian yang valid secara epistemologis.

Salah satu argumen sentral dalam buku ini adalah bahwa logika bukanlah ilmu filsafat spekulatif semata, melainkan metode berpikir yang melekat pada fitrah manusia. Logika adalah alat bantu universal, sebagaimana matematika. Ia bukan milik Yunani atau Islam, tetapi milik akal yang sehat.

Al-Miṣri mengutip tokoh-tokoh besar Islam yang menggunakan logika untuk membela agama; al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Taftazānī, dan lain-lain. Al-Ghazālī bahkan menyatakan bahwa siapa yang tidak menguasai logika, ilmunya tidak bisa dipercaya. Maka, menolak logika sama saja menolak kemampuan akal dalam memahami agama.

Ibn Taimiyyah dan Inkonsistensi Metodologi

Lebih dari sekadar debat ilmiah, penolakan Ibn Taimiyyah terhadap logika membawa dampak besar terhadap lanskap keilmuan Islam. Ajaran Ibn Taimiyyah melahirkan generasi yang curiga terhadap akal, anti terhadap filsafat, dan membatasi penalaran hanya dalam ruang literalisme. Al-Miṣri menyebut bahwa sikap anti-logika ini membuka jalan bagi munculnya fundamentalisme skriptural yang mengabaikan dimensi rasional wahyu. Bahkan, dalam pandangannya, hal ini punya kaitan dengan berkembangnya ideologi-ideologi ekstrem yang anti-akal, anti-ilmu, dan akhirnya memproduksi stagnasi berpikir.

Penulis juga menunjukkan bahwa Ibn Taimiyah memadukan empirisisme ekstrem dengan relativisme skeptis. Ia meragukan validitas pengetahuan yang diperoleh lewat logika dan berpaling pada persepsi inderawi serta pengalaman langsung. Namun dalam praktiknya, ia tetap menggunakan inferensi dan konsep-konsep abstrak yang memerlukan fondasi logis.

Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Taimiyyah bersikap tidak konsisten secara epistemologis. Ia menyerang metode yang ia sendiri gunakan. Ini adalah bentuk kritik internal yang sangat penting dalam filsafat ilmu; Anda tidak bisa menyangkal dasar teori dengan teori yang bertumpu pada dasar itu.

Islam dan Akal Sehat Tak Bertentangan

Buku al-tanbīhāt adalah usaha serius untuk merehabilitasi logika sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam. Ia bukan sekadar apologia rasionalis, tetapi juga tawaran konstruktif untuk mengembalikan Islam ke jalur sintesis antara wahyu dan akal. Sebagai warisan peradaban, logika telah berjasa besar dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman; uṣūl al-fiqh, kalām, dan bahkan tafsīr. Penolakan terhadap logika bukanlah bentuk kesalehan, tetapi bentuk kejumudan. Islam yang hidup bukan Islam yang anti-rasio, tapi Islam yang memanusiakan akal. Inilah pesan paling penting dari buku ini, membela logika bukan sekadar membela filsafat, tetapi membela martabat manusia sebagai makhluk yang berpikir.

Catatan Kritis atas al-Tanbīhāt al-‘Aqliyyah

Buku al-Tanbīhāt karya Ayman al-Miṣrī adalah salah satu usaha serius yang ingin membongkar kelemahan epistemologis dalam kritik Ibn Taimiyyah terhadap logika Aristotelian. Namun, karya ini menyimpan sejumlah kekeliruan mendasar; baik dalam memahami konteks pemikiran Ibn Taimiyyah, dalam metodologi kritik, maupun dalam menilai proyek epistemologisnya secara keseluruhan.

Pertama, Reduksi terhadap Kritik Ibn Taimiyyah. Al-Miṣri cenderung menyederhanakan (bahkan mendiskreditkan) kritik Ibn Taimiyyah terhadap logika sebagai penolakan emosional atau ideologis terhadap nalar. Padahal, Ibn Taimiyyah tidak menolak akal atau rasionalitas secara umum. Yang ia tolak adalah sistem logika formalis Aristotelian yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Dalam al-Radd ‘ala al-Manṭiqiyyīn, Ibn Taimiyyah membedakan antara akal sehat (al-‘aql al-salīm) yang fitrī dengan konstruksi logika silogistik buatan manusia. Ia justru menunjukkan bahwa banyak klaim logika formal tidak dibangun di atas realitas konkret dan tidak berfungsi dalam praktik ilmu dan kehidupan.

Kedua, Ketidakmampuan al-Miṣri Menangkap Kritik Epistemologis Ibn Taimiyyah. Kritik utama Ibn Taimiyyah bukan sekadar terhadap “logika” sebagai teknik berpikir, tetapi terhadap klaim epistemologis bahwa logika bisa menjadi mi‘yār al-‘ilm (standar kebenaran universal). Ibn Taimiyyah membongkar asumsi ini dengan pendekatan empiris dan analisis bahasa alami (lughah ‘urfiyyah), menunjukkan bahwa pengertian, definisi, dan penalaran lebih kompleks dari skema Aristotelian. Al-Miṣri gagal melihat bahwa kritik Ibn Taimiyyah berada dalam tradisi critique of reason yang mendahului Kant dan Foucault. Ibn Taimiyyah mempertanyakan otoritas klaim universal atas rasionalitas formal. Itu adalah kerja filosofis yang sangat mendalam, bukan sekadar retorika rapuh seperti yang coba digambarkan buku ini.

Ketiga, Bias Ideologis dan Pola Argumentasi Dogmatik. Buku ini, meskipun berjudul kajian ilmiah, tampaknya terjebak dalam bias mazhab. Al-Miṣri dan Ṣaliḥ al-Wā‘ilī adalah bagian dari lembaga yang berafiliasi kuat dengan tradisi intelektual Syiah Imāmiyyah. Hal ini tampak dari seringnya dikutip tokoh-tokoh Syī‘ah —seperti al-‘Allāmah al-Ḥillī dan al-Sabzawarī— sebagai otoritas logika Islam, tanpa membandingkannya secara adil dengan Ibn Taimiyyah maupun tokoh Sunni lain seperti al-Ghazālī atau Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang juga kritis terhadap aspek tertentu dari logika. Di sisi lain, gaya kritik al-Miṣri tidak selalu bersifat ilmiah. Dalam banyak bagian, ia menggunakan bahasa sinis, sindiran, bahkan menyerang karakter pribadi Ibn Taimiyyah, bukan sekadar argumennya. Ini melemahkan kredibilitas akademik buku ini dan menunjukkan keberpihakan ideologis yang terlalu kental.

Keempat, Mengabaikan Proyek Alternatif Ibn Taimiyyah. Buku ini menuduh Ibn Taimiyyah tidak konsisten karena ia “masih menggunakan logika” dalam kritik terhadap logika. Tetapi sang penulis gagal memahami bahwa Ibn Taimiyyah tidak menolak akal secara absolut  —ia justru membangun epistemologi alternatif yang menggabungkan akal, pengalaman empiris, dan wahyu (naql). Proyek Ibn Taimiyyah adalah epistemologi integratif; menjadikan akal sebagai pelayan wahyu, bukan penguasa atasnya. Ini bukan sikap anti-rasionalitas, tapi rasionalitas yang ditundukkan kepada Tuhan.

Kelima, Pembacaan Historis yang Parsial dan Tidak Adil. Al-Miṣri menyalahkan Ibn Taimiyyah atas apa yang ia sebut sebagai “jatuhnya logika dan rasionalisme di dunia Islam” serta berkembangnya ekstremisme. Tuduhan ini tidak hanya terlalu jauh, tetapi juga ahistoris. Banyak murid Ibn Taimiyyah —termasuk Ibn al-Qayyim, Ibn Rajab, dan bahkan murid-murid belakangan seperti al-Ṣan‘ānī dan al-Syaukānī —adalah ulama rasional, reformis, dan pembaharu yang tetap menggabungkan akal dan wahyu.

Justru, Ibn Taimiyyah menyumbangkan kritik metodologis penting terhadap skolastisisme yang jumud dan teologi yang terputus dari realitas. Ia membuka pintu bagi pendekatan baru yang mendekatkan wahyu dengan pengalaman manusia dan bahasa alami.

Membaca Kritik dengan Adil

al-Tanbīhāt adalah upaya yang kuat dalam membela logika sebagai instrumen rasional, tetapi dari perspektif Taymiyyan, buku ini; Salah memahami konteks kritik Ibn Taimiyyah; Bersifat apologetik terhadap logika Aristotelian tanpa cukup refleksi epistemologis; Mengandung bias teologis dan gaya kritik yang tidak selalu objektif; Mengabaikan bangunan epistemologi alternatif Ibn Taimiyyah yang justru sangat relevan dalam konteks kritik modern terhadap “rasionalisme absolut”.

Untuk menilai Ibn Taimiyyah secara adil, kita perlu membaca kritiknya dalam konteks sejarah filsafat Islam, memahami logika sebagai warisan tetapi bukan sebagai dogma, dan memberi tempat bagi kritik internal terhadap rasionalitas itu sendiri. Dalam hal ini, Ibn Taimiyyah bukan anti-logika, tetapi pengkritik logika hegemonik yang menawarkan proyek akal yang tunduk pada naṣṣ wahyu.

 

Komentar