Dalam sejarah Islam klasik, sedikit ulama yang memiliki pengaruh mendalam seperti Ibn Taimiyyah. Ia tidak hanya dikenal karena keluasan pengetahuannya dalam hadis, fikih, dan tafsir, tetapi juga karena keberaniannya menantang arus pemikiran dominan pada zamannya.(Hoover, 2020; Zahrah et al., 2018) Di tengah iklim intelektual abad ke-13 yang cenderung rigid dan fanatik mazhab, Ibn Taimiyyah tampil dengan suara yang unik: mengajak untuk menimbang ulang otoritas fikih, merayakan ijtihād, dan menyerukan toleransi terhadap perbedaan.(Al-Matroudi, 2023) Salah satu karya penting yang merepresentasikan semangat ini adalah Raf al-Malām an al-Aimmat al-Alām (menjaga kehormatan para ulama), risalah pendek namun bernas yang menyingkap wajah Ibn Taimiyyah sebagai pembela ulama mujtahid dari tuduhan menyimpang karena perbedaan pendapat.(Ibn Taimiyyah, 1993)

Melalui risalah ini, kita diajak melihat betapa Ibn Taimiyyah bukan sekadar pemikir yang konservatif sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan. Ia adalah seorang yang sangat kritis, tajam, dan berpikiran terbuka. Ia menjembatani antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas, serta antara prinsip hukum Islam dengan kompleksitas sosial-politik umat Islam.

Latar Historical-Intellectual Ibn Taimiyyah

Ibn Taimiyyah lahir di Ḥarrān pada 661 H/1263 M, dan kemudian bermukim di Damaskus karena invasi Mongol. Ia hidup dalam masa yang penuh krisis: secara politik dunia Islam terfragmentasi, secara keilmuan terjadi stagnasi akibat dominasi taqlīd, dan secara sosial umat diliputi fanatisme mazhab. Dalam situasi ini, Ibn Taimiyyah tampil sebagai pembaru pemikiran keislaman yang memadukan pengetahuan ensiklopedis, kecerdasan, dan keberanian moral.(Al-‘Imrān, 2019)

Pendidikan awalnya dibentuk oleh ayah dan kakeknya, dua tokoh Ḥanbalī ternama. Sejak usia sangat muda, ia sudah diberikan otorisasi mengeluarkan fatwa. Ketekunan, daya ingat tajam, dan keluasan pembelajaran menjadikannya ulama yang menguasai berbagai disiplin keilmuan: mulai dari hadis dan fikih hingga filsafat dan logika. Tak heran jika para sejarawan dan murid-muridnya menyebutnya sebagai “ensiklopedia berjalan.”(Al-Khar‘ān, 2021; Al-Żahabī, 1993)

Namun lebih dari sekadar intelektual, Ibn Taimiyyah adalah sosok aktivis pemikiran. Ia mengalami penahanan di Kairo dan Damaskus, bukan karena kejahatan, tetapi karena pemikirannya yang dinilai mengganggu tatanan keagamaan resmi. Dalam tahanan pun, ia tetap produktif menulis dan berdakwah. Rafal-Malām adalah salah satu manifestasi pemikiran dan keprihatinan sosial-intelektualnya.

Isi dan Tujuan Raf al-Malām

Raf al-Malām ditulis sebagai tanggapan atas tudingan bahwa para mujtahid menyimpang dari hadis Nabi. Melalui risalah ini, Ibn Taimiyyah membela para imam seperti Mālik, al-Syāfi‘ī, Abū Ḥanīfah, dan Aḥmad ibn Ḥanbal dari kesan bahwa mereka dengan sengaja menolak sunnah. Ia menunjukkan bahwa perbedaan pendapat mereka bukan karena kelalaian atau pembangkangan, melainkan karena dinamika metodologis yang sah dan terhormat.

Ibn Taimiyyah mengidentifikasi tiga penyebab utama mengapa seorang mujtahid bisa tampak bertentangan dengan hadis; pertama, tidak mengetahui hadis tertentu. Tidak semua hadis diketahui oleh setiap ulama. Keterbatasan transmisi, keotentikan sanad, atau bahkan luasnya materi sunnah bisa menyebabkan seorang ulama tidak mengenal hadis yang dijadikan dasar hukum oleh yang lain. Kedua, salah memahami indikasi hadis. Meskipun mengetahui teks hadis, seorang mujtahid bisa saja tidak memahami keterkaitannya dengan masalah hukum tertentu karena kompleksitas bahasa atau indikasi maknanya yang tersembunyi. Ketiga, menganggap hadis telah dibatalkan (Mansūkh). Seorang mujtahid bisa menilai bahwa suatu hadis telah dibatalkan oleh dalil yang datang kemudian, sehingga ia tidak menggunakannya dalam istinbāṭ hukum.(Ibn Taimiyyah, 1993)

Selain itu, Ibn Taimiyyah juga menyebutkan faktor-faktor tambahan seperti bias terhadap riwayat lokal (seperti ulama Hijaz menolak riwayat dari Irak), perbedaan syarat penerimaan hadis āhād, serta adanya persepsi ijmā‘ semu, yaitu anggapan bahwa seluruh ulama telah sepakat padahal faktanya tidak demikian.(Ibn Taimiyyah, 1993)

Kritik atas Taqlīd

Salah satu aspek paling menonjol dari Raf al-Malām adalah seruan Ibn Taimiyyah untuk menjauhi taqlīd buta dan fanatisme mazhab. Ia menolak klaim bahwa hanya satu imam yang selalu benar. Menurutnya, semua ulama besar adalah mujtahid yang berhak salah dan benar. Oleh karena itu, perbedaan pendapat adalah bagian dari rahmat dan dinamika hukum Islam, bukan sumber permusuhan.

Ibn Taimiyyah mencontohkan para sahabat Nabi yang berbeda pendapat namun tetap saling menghormati. Ia menegaskan bahwa umat Islam harus meneruskan semangat ini. Seorang pengikut mazhab Syāfi‘ī, misalnya, tidak boleh mencela pengikut Ḥanbalī, dan sebaliknya. Bahkan, jika diketahui bahwa mazhab lain memegang pendapat yang lebih kuat berdasar naṣṣ yang sahih, maka seseorang wajib berpindah pendapat demi kebenaran.(Al-Matroudi, 2023)

Ijtihād, Toleransi, dan Etika Ilmiah

Ibn Taimiyyah dengan tegas mengedepankan ijtihād sebagai jalan utama dalam memahami hukum Islam. Ia menolak kodifikasi fikih secara beku dan menekankan pentingnya penilaian kontekstual atas dalil. Ia tidak hanya mengkritik keputusan yang tidak berdasar, tetapi juga membela hak mujtahid untuk keliru tanpa kehilangan integritas ilmiahnya.

Sikap ini sangat penting dalam membangun budaya toleransi ilmiah. Dengan pendekatan ini, Ibn Taimiyyah mengajak umat Islam untuk tidak menghakimi ulama terdahulu hanya karena mereka mengambil kesimpulan hukum yang berbeda. Menurutnya, setiap mujtahid yang tulus dan kompeten tetap dalam koridor kebenaran meskipun hasil ijtihadnya tidak sesuai dengan kebenaran objektif. Prinsip ini didasarkan pada hadis Nabi, bahwa mujtahid yang benar mendapat dua pahala, dan yang keliru tetap mendapat satu pahala.

Konteks Kontemporer

Dalam era modern yang ditandai oleh polarisasi pandangan keagamaan, Raf al-Malām menawarkan pelajaran penting. Pertama, ia mengajarkan bahwa perbedaan fikih adalah sesuatu yang alami dan harus dihargai. Kedua, ia mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak dimonopoli oleh satu mazhab atau kelompok. Ketiga, ia menunjukkan bahwa kejujuran ilmiah dan kerendahan hati adalah ciri ulama sejati.(Ibn Taimiyyah, 1993)

Risalah ini juga sangat relevan dalam membangun harmoni antarmazhab di dunia Islam. Ketimbang mempertajam perbedaan, Ibn Taimiyyah mendorong dialog dan saling pengertian. Ia menyadari bahwa umat Islam tidak akan pernah seragam dalam semua aspek hukum, dan oleh karena itu sikap toleran dan saling menghargai adalah keniscayaan.

Melalui Raf al-Malām, Ibn Taimiyyah menunjukkan bahwa pembaruan dalam Islam tidak harus revolusioner atau bertentangan dengan tradisi. Ia menawarkan jalan tengah: antara kesetiaan pada naṣṣ dan keterbukaan terhadap ijtihād; antara hormat pada ulama terdahulu dan keberanian untuk mengoreksi; antara komitmen pada mazhab dan pengakuan atas validitas pandangan lain.

Pemikiran Ibn Taimiyyah ini patut dijadikan inspirasi dalam membangun tradisi keilmuan Islam yang inklusif dan dinamis. Di saat sebagian umat terjebak dalam sikap hitam-putih dan fanatisme akut, Ibn Taimiyyah mengajarkan bahwa dalam fikih terdapat banyak gradasi, dan bahwa memahami konteks, menghormati perbedaan, serta berijtihad dengan niat yang tulus adalah ciri pemikir yang matang.

Dalam iklim global saat ini yang dipenuhi ketegangan identitas keagamaan, warisan Ibn Taimiyyah dalam Raf al-Malām menawarkan oase pemikiran yang menyejukkan: bahwa perbedaan bukanlah dosa, dan bahwa memahami hukum Islam membutuhkan ketekunan, keluasan wawasan, dan yang paling penting, kasih sayang terhadap sesama pencari kebenaran.

 

Bahan Bacaan

Al-‘Imrān, ‘Alī ibn Muḥammad. (2019). Al-Jāmi’ li Sīrah Syaikh al-Islām ibn Taimiyyah (661-728) Khilāl Sab’a Qurūn (M. ‘Uzair Syams & ‘Alī ibn Muḥammad Al-‘Imrān (eds.)). Dār ‘Aṭā’āt al-‘Ilm.

Al-Khar‘ān, M. ibn ‘Abd A. ib I. (2021). Sīrah Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah kamā Rawāhā Tilmīżudu Ibn Kaīr fī Kitābihi: al-Bidāyah wa al-Nihāyah.

Al-Matroudi, A. H. (2023). Exonerating the Distinguished Jurists: Ibn Taymiyya’s Rafʿ al-Malām ʿan al-Aʾimma al-Aʿlām in Translation. Equinox.

Al-Żahabī, M. ibn A. (1993). al-Iʿlām bi-wafayāt al-aʿlām.

Hoover, J. (2020). Ibn Taymiyya: Makers of The Muslim World. Oneworld Academic.

Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (1993). Raf‘ al-Malām ‘an al-Aimmah al-A‘lām. Al-Riāsah al-‘Āmmah li Idārah al-Buḥūṡ al-‘Ilmiyyah wa al-Iftā’ wa al-Da‘wah wa al-Irsyād.

Zahrah, M. A., ‘Alī, M. K., Laoust, H., & Ziadeh, N. (2018). Khams Tarājim Mu‘āṣirah li Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah (‘Alī Muḥammad Al-‘Imrān (ed.)). Dār Salaf.

 

Komentar