Arus modernisasi membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia. Kini, manusia tak perlu bertatap muka untuk bercengkrama. Kini, manusia bisa tau berita di seluruh penjuru dunia dengan sekejap mata. Ruang digital hari ini membawa kepraktisan dalam segi apapun. Namun, disamping itu, manusia malah tenggelam dalam jurang kekosongan dan terasingkan dari dirinya sendiri.
Tanyangan konten-konten di media sosial malah membuat manusia menjauh dari ke-diri-annya. Terbawa arus. Terpatok dalam standar dunia maya. Hingga pada akhirnya merasa insecure dan kurang bersyukur.
Riuh sekali rasanya jika diri ini masih belum bisa mengnali diri sendiri. Kita seakan diambang kebimbangan atas dunia yang absurd ini. Ketika kita mampu memahami diri, kita akan dapat berdamai dengan keadaan dunia ini. Oleh karena itu, perlu kiranya suatu jalan keluar untuk dapat melepaskan diri dari belenggu kebingungan ini.
Lewat buku yang berjudul “Menghilang, Menemukan Diri Sejati“, Fahruddin Faiz mengajak pembaca untuk menyelami dunia filosofis dari barat hingga timur. Melalui konsep dan gagasan para filsuf, Fahruddin Faiz memberikan secercah harapan untuk menuntun jalan pencarian diri sejati.
Fahruddin Faiz adalah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga dan pengisi forum Ngaji Filsafat yang rutin diadakan setiap malam kamis di Masjid Jendral Sudirman, Yogyakarta. Dengan pembawaannya yang santai dan identik dengan suaranya yang lembut-menghayutkan, beliau mampu membawa filsafat untuk dipahami oleh masyarakat luas.
Dalam pengantarnya, Fahruddin Faiz menyatakan bahwa buku ini memberikan jalan cepat yang efektif-efisien untuk menemukan makna hidup dan hakikat diri. Melalui gagasan para tokoh intelektual-spiritual kita dapat merujuk dan merenungkan kembali esensi dari hidup ini.
Melancong ke Barat
Fahruddin Faiz mengawali perjalanan pencarian diri sejati ini dengan melancong ke barat. Ia membuka dengan penjelasan mengenai pentingnya peran akal lewat pemikiran Rene Decartes. Akal memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, tanpa akal mungkin kita sama seperti hewan yang hanya mengandalkan nalurinya saja.
Lewat Decartes, Fahruddin Faiz mengajak kita untuk memaksimalkan peran akal untuk berpikir, menimbang dan menganalisis. Suatu kebenaran harus kita kejar pembuktiannya lewat proses berpikir yang kritis, radikal, dan sistematis. Jangan mudah terbawa arus, pertimbangkan dan analisis terlebih dulu.
Syahdan dalam perkembangannya, filsafat juga menghadirkan seorang tokoh yang berlawanan dengan Decartes. Jika Decartes mengutamakan peran akal sebagai alat mengejar kebenaran, disini Henri Bergson lebih mengutamakan intuisi. Baginya akal itu memiliki keterbatasan, sehingga dapat menimbulkan kekeliruan.
Intuisi merupakan pengetahuan yang berasal dari diri kita. Biasanya ia akan muncul begitu saja, tiba-tiba, sebagai perasaan yang disadari. Disini akal dan intuisi memanglah dua hal yang berbeda, namun saling berhubungan karena perannya masing-masing.
Mengakhiri perjalanannya di Barat, Fahruddin Faiz mengenalkan ke-absurd-an dunia melalui gagasan Albert Camus. Camus menggambarkan absurditas lewat mitos Sisyphus. Sisyhpus yang diberi hukuman untuk mendorong batu ke atas dan ketika batu itu sampai di atas, batu itu menggelinding kembali ke bawah, lalu ia akan mendorongnya sampai ke atas lagi, berulang kali. Begitulah absurditas kehidupan terjadi.
Oleh sebab itu, bagi Camus, untuk menemukan makna hidup tidak perlu mengerahkan terlalu banyak energi. Karena untuk menemukan makna hidup, tinggal hidup saja. Seperti halnya pencarian kebahagiaan, padahal untuk menjadi bahagia tinggal bahagia, menikmati hidup yang absurd ini.
Berpindah ke Timur
Setelah melewati perjalanan di Barat, kini Fahruddin Faiz mengajak kita untuk menjelajahi dunia Timur yang kental akan sisi spiritualitasnya. Disini ia membawa gagasan dari beberapa aliran seperti Hindu, Budha, Zen, dan Bushido. Ia menggali sisi spiritual dari aliran-aliran tersebut dan dijadikan sebuah laku filosofis.
Filsafat Timur dan Barat bagi Fahruddin Faiz memiliki perbedaan. Filsafat Barat lebih mengutamakan teknik, sedangkan filsafat Timur lebih kepada visi. Oleh karenanya, dalam sesi menjelajahi filsafat Timur ini, kita akan banyak menemukan laku-laku filosofis yang mempunyai visi menuju kebenaran yang hakiki.
Menjelajahi filsafat Timur mengarahkan kita pada kebajikan-kebajikan hidup yang harus kita lalui dan kita jadikan sebuah tujuan. Bukan hanya soal teknik semata, namun tentang bagaimana seorang manusia dapat mencapai sebuah kebajikan. Menjadi manusia yang benar-benar manusia, kira-kira begitu.
Sejauh ini, Fahruddin Faiz membawa kita ke dalam kerumitan filsafat yang dibalut dengan bahasa sederhana sehingga dapat dilumat habis dengan nikmat. Buku ini telah menyuguhkan filsafat dengan warna yang lebih kekinian. Tepat rasanya jika buku ini dijadikan salah satu buku yang wajib dibaca untuk menemani waktu luang.
Sebagai manusia dengan segala keistimewaan yang telah diberikan oleh Allah Swt. tidak senantiasa menjadikan kita hidup langsung sempurna. Seorang hamba harus melalui perjalanan panjang untuk menuju sempurna, melalui berbagai perenungan, ilmu, dan pengalaman. Hingga pada akhirnya seorang manusia dapat mengenali dirinya.
Sebagai penutup, kiranya setelah tuntas membaca buku ini kita perlu berkontemplasi, merefleksikan diri, dan merenungi tentang sebenarnya potensi apa yang ada dalam diri ini. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menemukan diri sejati. Namun, tidak perlu jauh-jauh, menepilah sebentar dari ramainya dunia dan terangilah dirimu dalam sepi, niscaya kau akan tau untuk apa engkau lahir di dunia ini.
Informasi Tentang Buku:
Judul : “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : Noura Books
Jumlah Halaman : 317
Tahun terbit : 2022
ISBN : 978-623-242-303-9