Muhamamd Alfatih Suryadilaga*
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah terdapat sebuah perintah ibadah Qurban. Pelaksanaannya dengan cara menyembelih binatang baik kambing, domba atau sapi dan unta atau kerbau. Kegiatan ini dilakukan selama empat hari yakni tanggal 10-13 Dzulhijah atau tepatnya pada saat setelah Shalat Iedul Adha dan Hari Tasyrik. Keempat hari tersebut masuk dalam hari raya dan dilarang melakankan puasa di dalamnya.
Ibadah Qurban yang diajarkan Nabi Muhammad saw. baru dimulai tahun 2 H. Dengan demikian, Qurban sebagai ibadah menjadi bagian dari perayaan hari Iedul adha atau haji.
Perintah untuk berkorban dalam rangka Iedul Adha adalah bagian dari peringatan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang sangat erat kaitannya dengan pengorbanan yang sesungguhnya.
Ibrahim a.s. adalah seorang Nabi pilihan yang dikenal dengan ulul azmi yang merupakan bapak monoteisme. Dahulu kala, beliau sangat menantikan buah hati yaitu anak. Bahkan dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa kekayaan Ibrahim a.s. yang luar biasa itu menjadikan nazar atas hal pengorbanan atas anaknya. Padahal pada saat bernazar, ia belum dikaruniai anak yang bernama Ismail a.s. Dengan demikian, peristiwa inilah yang menguji sosok Nabi Ibrahim a.s. sehingga terdapat perintah kurban.
Pada dasarnya, tradisi berkurban sudah ada sejak nabi Adam a.s. dengan praktik yang beragam. Pada masa Nabi Adam a.s. di mana kedua putera beliau Qabil dan Habil diperintahkan berkurban dalam memperebutkan Iqlima. Hal inilah sejarah pertama umat manusia dalam menentukan calon isteri di mana awalnya kehidupan manusia berasal dari Hawa dan Adam yang memiliki anak-anak yang kembar. Setidaknya terdapat 40 anak melalui 20 kali persalinan Ibu Hawa. Kisah tersebut dapat dilihat dalam Q.S. al-Maidah (5): 27. Kemudian Allah swt. menerima Qurbannya Qabil yang pada waktu itu seorang petani dan mengorbankan satu karung gandum yang sangat baik. Sedangkan Habil seorang perternak yang mengorbankan seekor kambing yang tidak bagus sehingga Allah swt. menerima kurbannya Qabil daripada Habil. Kurban harus memilki dimensi keikhlasan dan ketulusan sejati.
Kurban adalah bagian dari mendekatkan diri kepada Allah swt. atas segala nikmat yang diberikan Allah swt. Bentuk mendekatkan tersebut adalah dengan salat dan menyembelih hewan qurban. Hal tersebut sebagaimana dalam Q.S. al-Kausar (108): 1-2. Sehingga kurban sebagai sebuah bentuk ketulusan kepada Allah swt. karena yang dinilai adalah ketaqwaannya bukan daging hasil qurban. Daging kurban ini dibagikan ke mereka yang membutuhkan yaitu fakir miskin dengan membunuh keangkuhan pribadi menuju kebersamaan sesama manusia. Allah swt. tidak mengambil apapun kecuali ketakwan atau ketundukan umat manusia.
Kenyataan ini tergambar dalam Q.S. al-Hajj (22): 37. Dengan demikian, orang yang beriman harus melaksanakan kurban sebagai bentuk bersyukur atas segala nikmatnya.
Berkurban harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Mereka yang mampu dan tidak pernah melakukan kurban oleh Nabi Muhammad saw. tidak diperbolehkan untuk mendekat pada tempat shalat. Artinya, mereka yang beragama Islam harus peduli sesama manusia. Kepedulian ini akan dapat mengantarkan kepada derajat kemanusiaan yang tinggi. Sehingga mereka yang tidak mampu mempedulikan saudaranya, maka sebaiknya tidak mendekat ke tempat shalat.
Hadis tersebut memperkuat Q.S. al-Maun (107): 1-3. yang menyatakan beragama dan berdusta. Mereka ini tidak mampu mengorbankan harta bendanya untuk keperluan sosial yaitu pemberian makan kepada anak yatim. Seorang yang beriman harus berbuah manis dengan kepentingan sosial atau masyarakat. Dengan demikian, melalui berkurban inilah seharusnya menjadikan pemeluk agama Islam peduli dengan sesama dan pada akhirnya Islam tidak mungkin terjadi kemiskinan jika kepedulian sesama selalu meningkat.
Pengorbanan dalam ajaran Islam tidak saja terjadi pada iedul Adha. Islam dalam ajarannya selalu mengkaitkan iman dan amal sholeh. Termasuk dalam kegiatan Puasa Ramadhan dengan adanya zakat fitrah. Tujuan zakat adalah agar kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada mereka yang kaya.
Ibadah-ibadah sosial tersebut menjadikan umat Islam seharusnya lebih peduli terhadap sesama yang membutuhkan. Sehingga ada korelasi antara keimanan dengan ibadah sosial. Dengan demikian, kurban sebagai bentuk ajaran Islam yang sejati yakni beriman dan beramal shaleh.
Simbol mengalirkan darah binatang dalam berkurban adalah membunuh ego pribadi. Penyakit inilah yang sering menjadi perusak seseorang dalam relasi kehidupan kemanusiaannya. Pribadi manusia menjadi merasa unggul antara satu dengan yang lainnya karena kesombongan, keserakahan, rakus, iri, dengki, tidak senang melihat kesuksesan yang lain serta beragam jenis sifat lainnya seperti kasus pembunuhan Habil oleh Qabil.
Sifat-sifat buruk semacam inilah yang seharusnya disembelih dalam sifat-sifat kita sehingga terhindar dari hal-hal negatif dan kemudian menjadikan dimensi kemanusiaan meningkat dan rasa kebersamaan menjadi kuat. Bukankah umat manusia itu sama tidak ada perbedaan satu dengan lainya kecuali ketakwaannya?
Melalui takwa inilah salah satu dimensi keegoan itu ditaruhkan untuk peduli sesama dengan membangun relasi perdamaian di muka bumi ini agar tragedi bunuh membunuh di antar anak Adam Qabil dan Habil tidak kembali terjadi.
*Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga dan Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia