Muhammad Alfatih Suryadilaga*

Dalam sejarah pra-Islam terdapat penghormatan atas bulan-bulan tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh orang Arab yang merupakan bagian dari tradisi millah Ibrahim. Setidaknya terdapat empat bulan dalam setiap tahunnya yaitu Rajab, Dzul qa’dah, Dzul hijjah dan Muharram. Keempat bulan ini dikenal dengan asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Dengan demikian, tradisi penghormatan atas bulan-bulan tersebut telah menjadi bagian dari tradisi masa Islam.

Islam menjadikan bulan-bulan di atas sebagai bulan yang terhormat. Hal tersebut sebagaimana diungkap dalam Q.S. al-Taubah (9): 36 dan penjelasan bulan-bulannya dalam hadis Nabi saw. dari Abu Bakrah yang diriwayatkan Imam Bukhari.

Keempat bulan tersebut tiga berurutan dan yang satunya tidak. Dengan demikian, tradisi penghormatan bulan dalam setiap tahunnya merupakan bagian ajaran Islam sebagaimana dalam sumber ajaran Islam.

Bulan Dzul Qo’dah adalah bulan yang ke sebelas dalam penanggalan Islam. Bulan tersebut merupakan bulan yang menjadi bagian umat Islam menyelenggarakan ibadah haji. Arti dari bulan tersebut adalah qu’ud yang bermakna berdiam diri atau duduk dengan tidak melakukan peperangan. Mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sehingga dapat melaksakan haji di bulan berikutnya yakni dzul hijjah. Dengan demikian, bulan dzul qo’dah merupakan bulan untuk melakukan persiapan haji.

Kenyataan di atas juga ditemukan hingga sekarang. Seluruh jamaah haji Indonesia dan bahkan dunia memulai operasional haji sebelum pelaksanaan puncak haji. Hal tersebut untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk dalam hal transportasi yang sangat beragam. Demikian juga umrah Nabi saw. selama kehidupan beliau selalu berlangsung di bulan ini. Dengan demkikian, kegiatan penting sebelum haji di bulan ini adalah umroh sebagaimana dilaksanakan oleh Nabi saw.

Umroh yang dilaksanakan Nabi saw. sebanyak empat kali. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Hadis dari Anas r.a. dari Imam Bukhari dan hadis tersebut berjumlah 19 jalur dengan beragam redaksi. Umroh pertama tahun 6 H./628 M., kemudian tahun 7 H., tahun 8 H. saat fathu Makkah dan umroh terakhir ketika haji wada pada tahun 10 H. Dengan demikian, Nabi saw. mentradisilan umroh di bulan dzul qo’dah selama dalam kehidupannya.

Motif Nabi saw. dalam menjalankan umroh di bulan di atas adalah untuk mendapatkan kemuliaan di dalamnya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Imam Nawawi (w. 676 H.) yang mengungkapkan motif budaya Rasulullah saw. umrah di bulan dzul qo’dah. Budaya tersebut adalah Arab pra Islam menganggap umroh bulan tersebut sebagai perbuatan tercela dan dilakukan berulang kali untuk menjelaskan bahwa umroh di bulan tersebut diperbolehkan dan anggapan mereka salah. Dengan demikian, melalui kebiasaan baru inilah Islam menjadikan bulan dzul qo’dah sebagai bulan yang mulia.

Tradisi di atas dilakukan juga oleh berbagai sahabat. Hal tersebut sebagaimana dilaksanakan oleh Aisyah, Abdulah ibn Umar, dan Atha’ yang lebih mengutamakan umroh bulan tersebut dibanding umrah di Ramadhan. Namun, dalam penjelasan hadis lain pahala umroh Ramadhan senilai dengan haji. Dengan demikian, sahabat tersebut lebih melihat kebiasan yang menjadi tradisi umroh di Dzul Qo’dah dan bukan di bulan lain.

Selain keutamaan di atas, bulan Dzul Qo’dah adalah bulan di mana Nabi Musa a.s. menerima Kitab Taurat. Hal tersebut dapat dilihat dalam Q.S. al-A’raf (7): 142. Janji Allah swt. untuk memberikan Taurat dan berbicara secara langsung merupakan sebuah kemuliaan dari Allah swt. kepada Nabi Musa a.s. Proses tersebut selama 30 hari dan disempurnakan dengan 10 hari lagi di bulan dzul hijjah. Peristiwa tersebut di bilan Dzul Qo’dah. Dengan demikian, bualn dzul qo’dah sebagai sebuah saksi peristiwa yang penting bagi sejarah kemanusiaan dan dijadikan bulan istimewa. (MAS)

*Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia

Komentar