Ketika ditanya soal apa yang paling dicari dalam hidup ini, kebanyakan orang tentu akan menjawab kebahagiaan. Ini bukan tentang harta, bukan pula tentang pemenuhan rasa gengsi yang tak akan ada ujungnya.
Bahagia adalah soal rasa. Ia bukan soal kebanggaan, namun kebermanfaatan. Tak ada guna orang yang hidup bergelimang harta namun tak memiliki manfaat untuk sesama dan sekitarnya.
Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa kebahagiaan utama yang bisa dimiliki oleh manusia adalah berkah berupa iman kepada Tuhan. Dengan mengimani Tuhan, manusia sesungguhnya tengah membangun pondasi untuk kebahagiaan yang tak hanya hadir di dunia ini, tetapi juga tembus hingga ke akhirat nanti.
Beriman terhadap Tuhan berarti menyadari bahwa manusia hanyalah hamba, yang tak memiliki daya selain karena kehendak-Nya. Kesadaran inilah yang menuntun manusia untuk mengerti bahwa di ujung usia nanti, manusia akan mati.
Harta yang selama hidup hanya ditumpuk tak akan berubah menjadi kasur empuk saat nyawa tak lagi menghidupi raga. Di hadapan Tuhan yang empunya kehidupan, manusia akan dimintai pertanggungjawaban.
Itu sebabnya, memiiliki iman terhadap Tuhan adalah puncak dari kebahagiaan. Dalam QS. Annur: 31, Tuhan memberi bocoran tentang satu amalan yang akan memberi keuntungan jika dilakukan oleh orang-orang yang beriman, yakni taubat.
“Dan bertaubatlah kalian hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung,” demikian kata-Nya.
Apa keuntungan yang bisa didapat dari bertaubat? Ampunan dan kesempatan.
Dengan melakukan taubat, segala dosa dan kesalahan yang dilakukan akan diberika ampunan oleh Tuhan, sehingga tak ada beban dosa yang ditinggalkan. Taubat juga membuka kesempatan untuk orang-orang yang telah melakukan kesalahan atau dosa untuk memperbaiki diri sehingga kesalahan yang sama tak akan terulang kembali.
Hatta, taubat bukanlah hal yang buruk. Ia bukan penanda untuk para pendosa. Justru sebaliknya, taubat adalah ciri untuk orang-orang yang kuat. Kuat mengakui kesalahan dan kuat untuk segera melakukan perbaikan.
Apa yang lebih bahagia dari memiliki kekuatan untuk jujur pada diri sendiri? Jujur bahwa diri telah melakukan kesalahan, terbuka untuk memohon ampunan dan bersemangat untuk melakukan lebih banyak kebaikan. Rasanya tak ada.
Maka tak heran, Rasul Muhammad buru-buru mengingatkan manusia untuk segera bertaubat; tak perlu menunda-nunda untuk melakukannya.
“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah SWT sebelum kalian mati dan bersegeralah melakukan amal-amal saleh sebelum kalian sibuk, jalinlah hubungan baik (silaturahmi) dengan sesama kalian dan dengan Allah,” demikian perintah Rasul sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir.
Tak sedikit ahli tafsir yang menyebut tiga perintah di atas; taubat, amal saleh dan hubungan baik dengan sesama dan dengan Allah, sebagai kunci untuk kebahagiaan yang hakiki. Bahkan, ketiganya termasuk dalam jenis kebahagaiaan yang memiliki imbas berupa kasih dari Tuhan tak hanya selama di dunia, tetapi juga di kehidupan setelahnya.
Beberapa ahli tafsir yang lain menyebut bahwa ketiganya adalah paket yang tak boleh dipisahkan. Orang-orang yang bertaubat tak boleh tak beramal saleh. Sementara orang saleh tak boleh memiliki hubungan yang tak baik dengan sesamanya.
Yang boleh, setelah bertaubat, setiap orang harus meliputi dirinya dengan amal saleh yang dibuktikan dengan hubungan baik antar sesama manusia dan sekitarnya serta terhadap Tuhan yang berkuasa atasnya.
Itu sebabnya, diterima tidaknya sebuah taubat dapat dilihat bukan dari sekumpulan tanda hitam gosong di jidat, tetapi dari hubungan baiknya dengan sesama umat. Dengan kata lain, orang yang diterima taubatnya adalah yang terasa manfaatnya bagi sesama, bukan mereka yang tampak mencorong ritual ibadahnya tapi tak memiliki guna untuk sesamanya. Bukan yang itu.