Tiga hari setelah kematian Babe Sarmili rumah itu masih diliputi kabut duka yang tebal. Masa berkabung tampaknya akan berlangsung lebih lama. Pasalnya, tidak hanya dari sanak famili yang merasa kehilangan, tetapi tetangga, kerabat jauh serta teman-teman Babe Sarmili tak dapat menutupi kesedihan. Beberapa teman Babe Sarmili yang kini tinggal di Bogor, Tangerang dan Serang berdatangan, bahkan di hari kedua dan ketiga. Mereka datang lengkap dengan anggota keluarga, menyampaikan bela sungkawa.

Adalah Sanip anak bungsu Babe Sarmili yang paling merasa terpukul. Pagi itu ia masih menemani ayahnya mencuci kepala kambing yang baru datang dari rumah jagal Bang Juki. Selesai mencuci sembilan kepala kambing dan tiga lembar kulit, Sanip mengantar kepala kambing ke beberapa langganan. Salah satunya ke Bang Ikin, pemiliki warung tenda sop kambing di belakang terminal Rawamangun.

Hubungan dagang antara Bang Ikin dan Babe Sarmili terjadi sudah sejak lama. Ketika Sanip umur tiga tahun Babe Sarmili sudah menjalin bisnis dengan lelaki asal Lampung itu. Tiap hari ia menyetor kepala ke Bang Ikin. Keduanya cepat akrab dan merasa seperti saudara. Kadang, jika ibu Sanip tidak memasak di rumah, Babe Sarmili mengajak anak istrinya makan di tempat Bang Ikin. Setalah makan, karena telah sama-sama paham, Babe Sarmili langsung pamit pulang begitu saja, tanpa membayar. Ia tak lupa menyuruh empat anaknya untuk mejabat serta mencium tangan Bang Ikin. Santapan malam itu akan diganti dengan satu atau dua kepala kambing gratis keesokan harinya.

Belakangan, Sanip meniru apa yang dicontohkan ayahnya. Sesekali ia mengajak teman kuliahnya makan di warung sop kambing Bang Ikin. Sanip juga tidak membayar, tapi tentu ia tak bisa menggratiskan kepala kambing. Sebagai gantinya ia minta uang tip mengatar kepala tiap pagi tidak diberikan. Meski ada kesepakatan begitu, Bang Ikin kadang tetap memberi uang tip. Tiap kali mengatar kepala, Sanip memang selalu diberi uang lelah oleh Bang Ikin. Biasanya sepuluh atau lima belas ribu.

“Nip, ini ada kopi Lampung, kasih Babe gih,” tukas Bang Ikin saat Sanip mengantar kepala.

“Siap. Makasih, Bang Ikin. Pas banget, di rumah stok kopi menipis.”

Dalam perjalanan pulang Sanip membayangkan akan minum kopi bersama ayahnya di teras rumah, seperti biasa. Mula-mula ia akan menjerang air. Setelah benar-benar mendidih, barulah kopi Lampung pemberian Bang Ikin ia seduh. Tak lama, aroma wangi kopi akan menguar, memenuhi dapur. Upacara minum kopi bersama sang ayah berlangsung sampai hanya tersisa ampas kopi di dasar cangkir. Jika sedang beruntung, akan ada singkong goreng atau pisang goreng sebagai teman minum kopi.

Anak-bapak itu akan membincangkan banyak hal di teras yang teduh karena rimbun pohon nangka di halaman. Dari empat anak Babe Sarmili, hanya Saniplah yang bisa begitu, berlama-lama menemani ayahnya minum kopi di teras rumah.

Babe Sarmili memang penikmat kopi. Ia menggemari kopi-kopi lokal. Beberapa temannya kerap mengirimkan kopi dari daerah. Seminggu yang lalu ada kiriman kopi dari Lasem. Sebulan sebelumnya ada kopi dari Aceh. Dapurnya tak akan pernah kekurangan bubuk kopi. Selama ini, tak ada yang lebih disyukuri Babe Sarmili ketimbang anugerah memiliki banyak teman di berbagai daerah. Teman yang gemar mengirimkan kopi terbaik secara cuma-cuma. Sebagai gantinya, Babe Sarmili akan mentraktir mereka sop kambing, jika kebetulan mereka sedang bertandang ke Jakarta.

Sanip mendapati rumah dalam keadaan sepi ketika ia baru saja datang dan memasukkan motor ke garasi. Tiga orang yang tiap hari bekerja mencuci kepala dan kulit kambing juga sudah pulang. Ibunya tidak di rumah. Mungkin sedang ke posyandu, mengantar keponakan Sanip yang baru usia satu tahun. Saat melongok ke musala, ia melihat ayahnya sedang salat, mungkin salat dhuha.

Dengan langkah ringan, Sanip menuju dapur. Menjerang air dan menyeduh kopi Lampung pemberian Bang Ikin. Di lemari makan ia melihat dua potong pisang goreng. Tampaknya ibu menyisakan pisang goreng itu untuknya. Ketika dua cangkir kopi telah siap, Sanip menuju teras. Di meja kayu dua cangkir kopi itu diletakkan. Ia lupa mengambil pisang goreng. Sanip ingin mengambilnya sekaligus memberi tahu ayahnya jika kopi telah siap.

Ketika melintas depan musala Sanip justru melihat ayahnya roboh ketika hendak berdiri selepas sujud. Sanip segara menghambur ke musala. Manakala ia berhasil merengkuh ayahnya, ia tahu sang ayah tak lagi bernyawa. Tiba-tiba ada setitik air di sudut matanya yang bersikeras ia tahan. Dengan ketenangan yang memadai, ia menelepon kakak-kakaknya. Mengabarkan kematian ayah. Sanip juga memberi tahu tetangga depan dan samping rumahnya. Tak lama, satu persatu tetangga berdatangan.

Dua cangkir kopi di teras rumah masih mengepulkan asap saat tiga kakak Sanip berdatangan sambil sesenggukan. Sanip teringat perkataan guru mengajinya ketika masih SD: kematian adalah perjumpaan dengan Allah. Maka jangan terlalu tenggelam dalam kesedihan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Karena, pada hakikatnya ia akan segera berjumpa dengan Allah. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Sanip. Hanya saja ia belum bisa memberi makna pada kematian selain kesedihan dan kehilangan.

Ada dua hal yang membuat kesedihan Sanip memuncak. Selain kehilangan teman minum kopi terbaik, Sanip juga merasa belum memenuhi satu keinginan ayahnya: menjadi sarjana. Sanip sebetulnya tengah merampungkan skripsinya. Hanya saja karena tidak tahan membaca buku kuliah yang tebalnya serupa bantal, Sanip tak kunjung menyelesaikan satu syarat utama menjadi sarjana itu. Sempat terlintas di pikirannya untuk membeli skripsi seperti yang dilakukan beberapa temannya, tapi ia tak ingin melukai ayahnya yang selama ini mengajarkan kejujuran.

Tiga kakak Sanip tidak ada satupun yang sarjana. Kakak pertama sempat kuliah teknik elektro namun hanya sampai semester tiga. Di kampus ia lebih sering berkelahi daripada masuk kelas. IPK selalu di bawah 2. Kakak pertama Sanip pun berhenti kuliah setelah muak dengan dunia kampus. Kini ia jadi satpam di sebuah bank swasta. Kakak kedua Sanip sebagai lulusan SMK memilih membuka bengkel tak jauh dari rumah selepas lulus SMK. Sedang kakak ketiga Sanip, perempuan, langsung menikah setelah tuntas enam tahun belajar di pesantren. Ia dan suaminya kini buka usaha warung kelontong, jual galon, gas, pulsa sembako dll.

Cita-cita Babe Sarmili sebetulnya sederhana: salah satu anaknya ada yang jadi sarjana. Ia merasa telah lengkap tugasnya sebagai ayah jika salah seorang dari empat anaknya bergelar sarjana. Harapan itu ada pada Sanip. Calon sarjana komunikasi. Sayang, belum sempat Babe Sarmili melihat anaknya memakai toga, ia lebih dulu dipanggil Yang Kuasa.

Seminggu setelah kematian Babe Sarmili, Sanip kerap diberi nasehat oleh tiga kakaknya untuk segera merampungkan kuliah. Sebetulnya Sanip merasa kesal. Ia bertanya dalam hati: kenapa ketiga kakanya tidak ada yang memperjuangkan keinginan ayah dan malah seenaknya sendiri memilih jalan hidup? Ia sebagai anak terakhir merasa jadi korban. Kadang Sanip tidak bisa menerima itu. Namun, setiap ia teringat raut wajah ayahnya, timbul kembali semangatnya untuk segera menyelesaikan skripsi.

Hingga pada suatu malam, tepatnya 40 hari setelah kematian Babe Sarmili, Sanip bermimpi bertemu ayahnya. Di mimpi itu, ayahnya mengajak Sanip minum kopi di teras. Ayah memuji kopi yang diminumnya. Kopi itu tak lain adalah kopi Lampung pemberian Bang Ikin. Anehnya, ketika asyik mengobrol, tiba-tiba ayah Sanip berpesan: Nip, kamu itu benteng terakhir di keluarga ini, kamu harus tetap tegak berdiri, supaya keluarga ini tidak roboh. Ingat, kamu adalah benteng terakhir!

Sanip kontan terjaga dari tidur dan segera mengambil air wudhu lalu salat dua rakaat. Nafasnya menggebu. Pikirannya sibuk menerjemahkan pesan ayahnya lewat mimpi itu. Apa maksud benteng terakhir? Tiba-tiba ia merasa diberi beban yang tak terkira beratnya. Demi mengurangi kegugupan, Sanip segera membuka laptop dan berniat melanjutkan mengerjakan skripsi. Namun mimpi itu masih menghantuinya.

Andai mimpi itu hanya datang sekali tidak terlalu menjadi soal bagi Sanip. Namun jika mimpi itu datang tiga hari berturut-turut tentu Sanip gentar. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Sanip masih berpikir apa makna benteng terakhir sebagaimana disebut ayahnya dalam mimpi. Lantaran bingung dan kalut, Sanip tak berani menceritakan mimpinya kepada siapapun. Tidak kepada ibunya, juga kakaknya.

Bulan berganti bulan, semua berjalan sebagaimana seharusnya. Hingga pada suatu hari, keluarga Sanip pergi ke Puncak untuk liburan. Sanip tidak ikut karena akan menyiapkan ujian skripsi dan ingin jaga rumah. Lalu berita itu datang, mobil yang ditumpangi keluarganya masuk ke jurang. Belum diketahui berapa yang selamat. Sanip limbung. Petir menyambar begitu keras, hujan badai menghantamnya tanpa ampun.

Sanip mendadak terkenang mimpi pertemuan dengan ayahnya. Sanip teringat kata-kata itu: benteng terakhir. Apa makna benteng terakhir? Bagaimana Sanip menerjemahkan semua ini? Jika memang benar ia adalah benteng terakhir, apa yang harus ia lakukan? Sanip ingin berteriak kencang, namun suaranya tertahan. Ia ingin berlari kencang, namun kakinya tak mampu bergerak.

 

Cerpen untuk M. Sabki, yang babe-nya wafat tempo hari.

Komentar