Bagian 1
Walaupun usianya masih sekitar 10 tahun pada waktu itu, akan tetapi kecantikaan dan kedewasaan Assayyidah Zainab binti Muhammad sudah terlihat lebih dari usianya. Mungkin ini karena faktor pekerjaan dan tanggungjawab di rumah, Zainab harus membantu ibunya Assayyidah Khadijah binti Khuailid yang sudah di atas lima puluh tahun.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin merebut hati gadis tersebut, tetapi ada satu di antara mereka yang mempunyai kesempatan lebih dari yang lain untuk mendapatkan Zainab. Siapa lagi kalau bukan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’. Pemuda yang bekerja sebagai pedagang dan mempunyai nasab tinggi, hal lain bahwa siti Khadijah adalah bibinya.
Siti Khadijah dapat merasakan cinta suci yang ada di dalam hati putrinya Zainab dan Abul ‘Ash. Setelah sekian waktu, Siti Khadijah menyemangatkan dan mendorong keponakannya untuk maju dan melamar Zainab dari ayahnya, kanjeng Nabi Muhammad.
Akhirnya Abul ‘Ash datang menghadap Nabi untuk melamar Zainab. Meski Nabi sudah mengetahui perasaan dan pandangan putrinya Zainab terhadap Abul ‘Ash, akan tetapi beliau tetap bertanya secara langsung:
“Hai anakku, ini Abul ‘Ash datang ke rumah mau melamar kamu, apa jawaban kamu” tanya Nabi.
Tidak ada jawaban yang terdengar, hanya wajah yang tersenyum serta suara denyut dan getaran hati Zainab yang sedang bahagia telah didengar oleh ayahnya.
Lalu Nabi datang ke Abul ‘Ash yang sedang menunggu, dan mengucapkan selamat, mabruk. Tersebarlah berita bahagia ini di kota Mekkah, dan seluruh penduduknya ikut senang atas pernikahan ini.