Telah tersebar berita di Mekkah bahwa nabi Muhammad dan orang-orang Islam telah menang, Zainab senang mendengar barita gembira ini. Akan tetapi apa yang terjadi pada suaminya? dia telah jatuh sebagai tawanan di Madinah. Masing-masing dari orang Mekkah mengirim tebusan ke Madinah untuk membebaskan anggota keluarga mereka, dan Zainab pula mengirim sesuatu yang sangat mahal dan berharga baginya sebagai tebusan.
‘Amr bin ar-Rabi’, saudara Abul ‘Ash, datang kepada Nabi Muhammad, dia berkata: “Saya datang sebagai utusan dari Zainab binti Muhammad dan membawa tebusan Abul ‘Ash”. Ketika Nabi Muhammad melihat tebusan tesebut ternyata ia adalah sebuah gelang, Nabi Muhammad langsung tersentuh hatinya dan tergambar suatu memori, ini tidak gelang biasa, ini gelang isteri tercinta, Khadijah, yang dia berikan kepada putrinya Zainab pada hari pernikahan. Kemudian Nabi Muhammad berkata kepada sahabatnya: “Jika kalian melihat untuk membebaskan tawanan Zainab dan mengembalikan hartanya kepadanya, maka lakukanlah”. Sahabat menjawab: “iya wahai Rasulullah”. Lalu Nabi Muhammad berbisik-bisik sesuatu kepada Abul ‘Ash sebelum dia pulang ke Mekkah.
Hati Zainab berbunga-bunga ketika melihat Abul ‘Ash sampai ke rumahnya, di tengah kebahagiaan perjumpaan ini, Abul ‘Ash berkata: “Zainab, saya ini datang untuk mengucapkan selamat tinggal!!”, Zainab bertanya dengan hati yang bergetar: “Begini !!!, padahal kita baru berjumpa?”, Abul ‘Ash menjawab: “kali ini bukan saya yang pergi, tapi kamu”. Ketika Zainab dalam keadaan bingung, sedang berfikir-fikir dan belum berkata-kata, Abul ‘Ash meneruskan: “Sesungguhnya ayahmu yang minta agar kamu ikut ke Madinah, karena Islam telah memisahkan antara saya dan kamu”. “Berapakah waktu yang tersisa untuk kita bersama?” Tanya Zainab. “Hanya beberapa hari” jawaban Abul ‘Ash. “Dan kamu ikut ke Madinah?” Tanya Zainab. Abul ‘Ash menjawab: “tidak, nanti Zaid bin Haritsah bersama seorang sahabat Anshar yang akan jemput kamu”.
Ketika tiba waktunya Zainab hijrah (pergi ke Madinah), Abul ‘Ash mencoba untuk berdiri tegak, dia berkata: “Zainab, apapun yang terjadi, selama kehidupanku, saya akan mencintaimu, bayanganmu akan tetap mengisi rumah ini yang pernah menjadi saksi hari-hari kita yang penuh bahagia”.
Abul ‘Ash meminta dari saudaranya Kinanah bin ar-Rabi’ untuk mengantar Zainab ke suatu tempat di luar perbatasan Mekkah, sekitar 8 mil dari Mekkah, di mana Zaid sedang menunggu di situ. Pada siang hari, Zainab yang sedang hamil berangkat menaiki onta bersama Kinanah yang membawa busur dan panahnya, sebagian masyarakat Quraisy marah melihat pandangan tersebut, akhirnya ada beberapa orang yang keluar dari Mekkah mau memburu ontanya Zainab. Habbar bin al-Aswad dan temanya berhasil mengejar rombongan Zainab, Habbar mendorong onta itu dengan tombaknya hingga Zainab terjatuh di atas batu di padang pasir.
“Demi Tuhan, siapa saja yang akan mendekat kami pasti ku lepaskan panah ini di tubuhnya” kata Kinanah dengan marah. Para pemburu berhenti, dan datang lah Abu Sufyan , dia berkata:” hai Ibn ar-Rabi’, kau keluar dan memabawa/mengantar Zainab secara terang-terangan di depan mata kaum Quraisy, dan kau mengetahui apa yang menimpa kami dari Muhammad, dan kekalahan yang kami alami kemarin dari kaum Muslimin. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa dalam mengejar dan menghalangi perempuan ini, silahkan kalian pulang ke Mekkah lagi, nanti jika pembicaraan tentang Zainab mulai reda silahkan antar dia lagi secara sembunyi”. Kinanah melihat Zainab sedang kesakitan, terluka, berdarah karena keguguran kandungan, akhirnya dia membawa kembali Zainab ke rumahnya. Abul ‘Ash merawat isterinya siang dan malam, sampai dia lumayan membaik. Kinanah kembali mengantar Zainab ke tempat di mana Zaid menunggu bersama sahabat lain. Ketika Zainab sampai Madinah, Rasulullah dan masyarakat Muslim sangat gembira, tapi di sisi lain mereka marah atas apa yang terjadi pada putri Nabi.