Ketika Abul ‘Ash sampai ke Mekkah, seluruh masyarakatnya menjadi senang dan bahagia melihat harta dagangan mereka kembali lagi. Banyak yang bertanya tentang apa yang terjadi padanya di kampung musuh mereka, tetapi Abul ‘Ash tidak berkata banyak, Ia sedang sibuk membagi dan mengembalikan barang dagangan ke masing-masing pemiliknya. Lalu Abul ‘Ash berkata setelah ia selesai: “Apakah masih ada orang di antara kalian yang belum saya kembalikan hartanya atau haknya?”, Mereka menjawab: “Tidak, terima kasih banyak atas amanah dan kejujuranmu.” Kemudian Abul ‘Ash memandang mereka dengan tenang: “Kalau begitu, maka dengarkanlah kalian ini, asyhadu an-laa ilaha illa Allah wa anna Muhammadan Rasulullah”.
Semua orang yang hadir di situ kaget dan bingung mau berkata apa, Abul ‘Ash telah mungucapkan dua kalimat syahadah (asy-syahadatain). Tahun ketujuh hijriah, bulan Muharram, setelah kanjeng Nabi Muhammad pulang dari perjanjian Hudaibiah, banyak orang Islam sedih karena tidak bisa haji ke Baitullah. Abul ‘Ash tiba di Madinah, dan langsung menuju masjid Nabi dengan melewati rumah Zainab, orang-orang Islam gembira bertakbir, tahlil, dan bertahmid ketika melihat Abul ‘Ash mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Nabi. Tetapi Abul ‘Ash sedang berpikir tentang hal lain, apakah kanjeng Nabi mau mengembalikan Zainab kepadanya sebagai istri atau tidak. Nabi berjalan bersama Abul ‘Ash ke rumahnya, lalu mengundang Zainab untuk datang ke situ.
Akhirnya setelah sekian tahun perpisah, dua pasangan kekasih ini kembali sebagai pasangan suami istri lagi. Setahun kemudian, tahun delapan hijriah, tibalah perpisahan yang tidak ada pertemuan lagi setelahnya di dunia ini. Zainab wafat karena sakit, ada yang menyatakan karena terpengaruh luka/cedera ketika jatuh dari onta pada saat hijrah. Semua orang sedih dan menangis, terutama suaminya Abul ‘Ash. Pada waktu itu, tidak ada yang berani menjauhkan Abul ‘Ash dari tubuh Zainab.
Kanjeng Nabi masuk rumah, dan meminta agar Zainab dimandikan tiga atau lima kali, ganjil. Kanjeng Nabi sendiri yang menjadi imam pada sholat jenazah, kemudian mereka mengantarkan jenazah Zainab ke rumah terakhir. Abul ‘Ash kembali ke rumahnya yang dahulunya merupakan taman cinta bagi mereka, ia merasa sepi, rumah itu menjadi rumah kenangan dan kesedihan. Di antara hal yang dapat mengurangi kesedihan dan kerinduan kepada Zainab adalah Ali dan Umamah.
Kanjeng Nabi sangat mencintai Umamah, mungkin karena melihat Zainab pada dirinya. Bahkan sebagian ulama berkata bahwa Umamahlah yang disebutkan dalam suatu riwayat hadis bahwa kanjeng Nabi salat sambil menggendong seorang anak. Abul ‘Ash menyusul istrinya Zainab pada tahun 12 hijriah, dia wafat di masa khalifah Abu Bakr. Kemudian Umamah menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah wafat bibinya, Fathimah az-Zahra’. Setelah Ali bin Abi Thalib wafat, Umamah menikah lagi dengan al-Mughirah bin Naufal. Beberapa tahun kemudian, Umamah wafat, dan belum punya anak. Sebagian sejarawan berkata bahwa Ali bin Abul ‘Ash wafat di usia remaja… Radhia Allahu ‘anhum ajma’in…