Sewaktu masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta, penulis senang melakukan perjalanan ke dusun dan desa-desa di sekitar Yogyakarta. Pada pertengahan dekade 90-an, penulis memeperoleh pengalaman yang sangat mengesankan hingga saat ini. Ketika sedang asik ngobrol mengenai masalah kehiduan sehari-hari, tiba-tiba ada seorang dusun yang bertanya pada penulis;

“Saya ini sekarang bingung, Mas. Kata orang sekarang ini era kebangkitan agama, tapi kok kehidupan kita semakin susah, padahal kata orang-orang pinter itu agama kan untuk membuat orang jadi tentram, damai dan rukun?”

Pada saat itu memang sedang didengung-dengungkan isu kebangkitan agama, karena terbentuknya ICMI, maraknya pengajian di kantor-kantor, penghijauan kabinet dan sejenisnya.

Penulis terkejut mendengar pertanyaan polos dari orang dusun yang lugu tersebut, lalu penulis bertanya:

“Lho memangnya kenapa Bapak merasa susah dengan kebangkitan agama?”

Kemudian dengan polos orang tersebut menjawab:

“Begini, Mas, dulu kami hidup damai dan rukun di desa ini, ada orang melahirkan kita datang  jagong bayi (pesta kelahiran), ada orang meninggal kita semua datang melayat dan dikubur bersama, ada orang punya hajat kita datang membantu. Semua kita lakukan dengan guyub kita tak pernah membeda-bedakan agama dan keyakinan para tetangga kita. Dulu kita juga bebas melakukan upacara-upacara adat kampung secara guyub dan rukun, tanpa ada prasangka dan curiga. Tetapi sekarang kita tidak bisa melakukan itu lagi, Mas”.

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan kebangkitan agama?” Tanya penulis menyelidik.

“Wah jelas ada, Mas. Semua ini terjadi ketika dusun kita ini mulai marak dengan kegiatan keagamaan, ada pengajian, ada ustaz-ustaz yang melakukan pendidikan agama. Sejak saat itu, hubungan bertetangga kita jadi retak. Kita tak bisa lagi melayat dan mendoakan tetangga kita yang beda agama, karena menurut para ustaz tersebut mereka bukan saudara kita. Kita tak boleh lagi menjalankan upacara adat karena katanya dialarang agama, sesat, bid’ah, kita juga menjadi harus memilih-milih tetangga untuk sekedar mengucapkan salam. Pokoknya kita mulai merasakan ada perbedaan dengan saudara kita yang lain. Tapi maaf lho, Mas, bukannya saya hendak memprotes dan tidak setuju pada kegiatan keagamaan, tetapi ini sekedar ngudo roso (mengungkapkan perasaan). Apa betul ini yang disebut dengan era kebangkitan agama?”

Penulis semakin shock mendengar keluhan yang bernada protes dari masyarakat desa ini. Pertanyaan ini begitu halus namun menusuk. Penulis memahami semua itu adalah ekspresi yang tulus dan ungkapan perasaan yang jujur dari masyarakat yang awam agama karena penulis tahu mereka-mereka ini adalah orang desa yang lugu, pasrah dan polos. Ini bukan pernyataan politis, karena mereka sangat tidak terbiasa dengan politik yang penuh kepura-puraan. Apa yang mereka sampaikan juga bukan suatu protes, apalagi kritik. Mereka tidak terbiasa dengan semua itu. Orang desa seperti ini hanya tahu roso, dan roso inilah yang mendasari sikap dan perilaku sosial mereka, termasuk dalam hal beragama.  Mereka hanya merasa ada perubahan yang mengganggu ritme kehidupan sosial mereka yang adhem-ayem, tentrem dan penuh harmoni. Dan semua itu tiba-tiba berubah sejalan dengan masuknya simbol dan identitas baru di kalangan mereka yang disampaikan dengan cara-cara yang merobek anyatan tradisi yang selama ini sudah berjalan secara baik-baik saja, bahkan ketika mereka menjalani ajaran Islam.

*******

Pengalaman dialog dengan orang kampung ini menyentak kesadaran penulis. Sebagai seorang yang sejak kecil mendalami agama, penulis sebenarnya sangat tersinggung dengan ungkapan perasaan orang desa tersebut. Tapi ketersinggungan ini memaksa penulis untuk melakukuan perenungan secara jujur dan mendalam. Para pemimpin agama, da’i, ustaz dan kiai rasanya perlu melakukan instrospeksi dan koreksi dalam melakukan dakwah atau sosialisasi atas nilai-nilai keagamaan. Sebagaimana kita ketahui bersama, akhir-akhir ini muncul gerakan keagamaan yang simbolik formal. Suatu faham keislamalan yang hanya berhenti pada persoalan-persoalan simbol, ritus dan aturan tekstual.

Ukuran-ukuran keberagamaan selalu bersifat simbolik dan formal, bukan pada persoalan yang lebih substansial yaitu ajaran, spirit dan missi agama itu sendiri. Misalnya ukuran kemajuan agama kalau di masjid penuh orang, banyak orang mendatangi pengajian, diterapkannya simbol-simbol dan aturan agama dalam berbagai sisi kehidupan. Bahkan tradisi keagamaan yang diwariskan oleh para ulama dan kiai, yang tentu saja ada dalil dan pijakan hukumnya, digugat dan dipertanyakan dalilnya. Sedikit-sedikit dalil, sehingga orang awam yang tidak mengerti dalil menjadi terbebani dengan gugatan tersebut.

Pemikiran seperti inilah yang menjadikan agama menjadi semakin sempit dan dangkal. Ajaran, spirit dan misi agama yang agung dan universal menjadi hilang tergerus simbol dan ritus dari agama itu sendiri.

Apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa di atas merupakan bukti, bagaimana simbol-simbol agama mengalahkan substansi dan spirit dari agama. Bagi penulis, apa yang terjadi di desa tersebut hakekatnya bukanlah kebangkitan agama atau tumbunya semangat keagamaan. Sebaliknya yang terjadi sebenarnya adalah bangkitnya romantisme dan simbolisme agama. Sikap seperti ini sebenarnya sangat merugikan karena menjadikan agama sebagai identitas kelompok yang eksklusif, sehingga wajah agama menjadi kering kaku dan kasar.

Dan saat ini, setelah lebih dari 20 tahun peristiwa tersebut berlalu, pertanyaan, atau tepatnya gugatan masyarakat desa di pinggiran Yogyakarta itu kembali terngiang. Terutama ketika gerakan menggunakan simbol agama itu kian marak, seperti terlihat pada gerakan politik kaum islamis yang tidak segan-segan merusak tatanan sosial dan harmoni bangsa Indonesia yang beragam. Mereka menggunakan segala cara untuk memenuhi ambisi politiknya, mulai memelintir ajaran Islam, indoktrinasi sampai cara yang brutal dan nir-adab seperti caci maki, fitnah, menebar kebencian pada sesama, persekusi bahkan perusakan dan pembunuhan.

Dari sini kemudian penulis berpikir, alangkah indahnya kalau para dai, ustaz dan pemimpin agama bisa perpikir dewasa dan proporsional, maksudnya bisa menempatkan simbol agama secara proporsional dan menggunakannya secara fungsional. Orang desa tidak perlu harus merasa terceraikan dari komunitasnya jika yang diajarkan adalah semangat rahmatan lil’alamin, sehingga dia bisa rajin shalat dan mengaji tanpa harus mencurigai saudaranya yang beda agama. Dia juga tetap bisa memberikan salam dan melayat pada tetangga beda agama yang mengalami musibah tanpa kehilangan jati diri sebagai muslim. Mereka tetap bisa merayakan upacara adat tanpa harus kehilangan keimanan.

Semua ini bisa terjadi kalau pendekatan agama dilakuan secara kultural dan substansial. Dengan cara ini agama menjadi hidup, karena agama benar-benar menjadi laku, bukan jargon dan simbol yang membuat orang terkotak-kotak. Strategi kultural inilah yang perlu dibangun dalam melakukan sosialisasi agama agar agama tidak menjadi alat pemecah belah. Bila strategi kultural ini digunakan maka agama benar-benar bisa memberikan ruang gerak yang konstruktif bagi manusia, sehingga agama benar-benar bisa menjadikan orang berhati nyaman.     *****

 

Komentar