Belakangan ini isu-isu mengenai Wamena, Papua mencuat di kalangan publik. Dampak yang terjadi sangat berpengaruh dalam kehidupan berkebangsaan dan kenegaraan kita di Indonesia. Bara-bara “Papua merdeka” kembali dikipaskan sehingga bermunculan kembali kelompok pro dan kontra tentang Papua merdeka, khususnya di dalam kalangan warga masyarakat Papua.
Meskipun konflik ini terjadi di kalangan warga masyarakat Papua, namun dampaknya sampai ke masyarakat luar Papua karena menyangkut kebangsaan dan persatuan Indonesia. Selain itu konflik ini juga secara tidak langsung menyangkut permasalahan agama, baik agama yang menjadi salah satu faktor konflik tersebut karena berbau perbedaan dan keragaman, maupun agama juga nanti yang akan menjadi pemecah masalah atau pemberi solusi dalam konflik ini.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengucilkan masyarakat tertentu, apalagi mengkonfirmasikan bahwa Papua penuh dengan konflik dan masalah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu mahasiswa IAIN Ambon bahwa Papua tidak hanya dan terus mengeluarkan cerita konflik dan masalah, tetapi juga tentang keharmonisan dan perdamaian (Ernas, Nugoro, dan Qodir 2014). Tetapi dalam tulisan ini berusaha memunculkan solusi perdamaian dalam permasalahan Wamena ini khususnya dalam pandangan dan perspektif keagamaan.
Sudah menjadi fakta bahwa saat ini telah terjadi konflik di dalam bidang sosial dalam kemasyarakatan Papua yang berdampak kerusuhan di Wamena juga di luar Papua. Terdapat beberapa akar permasalahan dalam hal ini, seperti marginalisasi dan diskriminasi, masalah kegagalan pembangunan, masalah perbedaan pandangan politik, masalah peristiwa-peristiwa HAM, masalah eksploitasi alam dan industrialisasi, masalah keberadaan militer, dan masalah otonomi khusus.
Dari sebab-sebab tersebut, yang menjadi akar terbesar dari sebuah pohon permasalahan Wamena adalah marginalisasi dan dikriminasi. Orang-orang Papua dianggap sebagai orang yang berbeda, orang menganggap berbeda orang Papua dari bentuk rambut, warna kulit, ciri fisik lainnya, serta sistem dan kulturnya dianggap sebagai hal yang kuno, primitive, dan uncivilized (Al-Hamid 2013). Orang-orang Papua yang berada di perantauan mendapatkan sejumlah sikap diskriminasi dan rasisme karena dianggap berbeda. Dengan sikap rasial seperti ini, orang-orang Papua di perantauan pasti mendapatakan akibat dari rasisme dan diskriminasi seperti susahnya mencari tempat tinggal, susahnya mencari kerja, dan lain sebagainya, bahkan yang lebih buruk adalah penghinaan karena suku, ras, dan agama yang berbeda.
Kasus yang menjadi sorotan utama tentang Papua adalah penggerudukan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Polisi sudah menetapkan TS sebagai dalang dari kasus rasial tersebut. Setelah ditelusuri juga sudah ditetapkan SA sebagai pengucap ujaran kebencian berbau SARA. Kejadian yang terjadi pada 16 Agustus 2019 lalu, serta diikuti kasus rasial yang hamper serupa terhadap warga Papua di Malang memicu terjadinya demonstrasi besar yang terjadi di beberapa wilayah di Papua bahkan di luar Papua. Aksi demonstrasi di Papua seperti di Wamena berujung rusuh dan sudah memakan puluhan korban jiwa. Kasus ini juga menjadi sebab awal dari permasalahan Papua, khususnya konflik yang terjadi di Wamena yang mengundang perhatian dari berbagai kalangan masyarakat (Retaduari t.t.).
Masalah tidak berhenti sampai di situ, banyak kasus-kasus lain yang berbau rasisme dan diskriminasi atas nama SARA yang menyudutkan warga Papua, khususnya yang berada di daerah perantauannya (luar Papua). Dari hal tersebut, banyak warga Papua yang melakukan demonstrasi agar masalah rasisme tersebut cepat diselesaikan dan diadili seadil-adilnya, dengan harapan tidak terjadi lagi fenomena rasial atas nama SARA yang serupa.
Sejumlah mahasiwa Papua yang berada di luar Papua juga melakukan demonstrasi membela saudaranya agar mendapatkan keadilan yang sebenarnya. Entah aspirasi yang tidak didengar, atau langkah yang kurang tepat yang diambil pemerintah dalam memecahkan masalah ini, atau malah membuat Papua yang merasa tidak ditegakkan keadilan untuk mereka, kericuhan dan kerusuhan pun terjadi di Wamena. Kerusuhan yang terjadi bukan hanya menyebabkan akibat yang ringan, namun akibat yang harus ditanggung sangat berat karena ribuan orang yang harus mengungsi keluar dari Wamena dan tidak sedikit juga yang harus meregang nyawanya, termasuk para pendatang dari luar Papua yang menjadi korban.
Dalam kasus dan permasalahan ini, agama berada di dua sisi. Pertama, agama sebagai salah satu macam keberagaman yang ada di Indonesia sekaligus sebagai suatu yang dianut oleh pelaku kasus rasial dan pelaku kerusuhan. Kedua, agama sebagai jalan keluar antara kedua pihak dan solusi agar tetap terjaganya NKRI. Sebenarnya sangat tidak etis jika mengatakan bahwa agama sebagai pemicu konflik Wamena terjadi karena keberagaman sudah menjadi ‘anugrah’ atau keniscayaan yang sudah pasti terjadi, namun agama bisa saja menjadi salah satu bahan diskriminasi seseorang apabila seseorang yang bersangkutan tidak memahami dan menerapkan sikap dan nilai toleransi beragama.
Di samping itu, agama yang dianut oleh pelaku juga tidak bisa dihukumi salah, karena belum tentu karakter pelaku tersebut adalah yang selalu menaati agamanya. Tidak ada agama yang menganjurkan pemeluknya untuk berlaku keji, jadi pelaku bisa saja berlaku tanpa berlandaskan dengan ajaran agama yang dipeluknya. Dapat disimpulkan bahwa agama tidak bisa dihukumi sebagai penyebab dalam konflik ini, melainkan pemeluknya yang bertindak di luar ajaran agama yang dipeluknya.
Agama sebagai solusi setidaknya dapat berperan menyadarkan pihak-pihak yang berkaitan akan pentingnya persatuan Indonesia. Dan sudah menjadi keniscayaan di Indonesia, terdapat beragam agama yang dipeluk oleh warga Indonesia. Dan para pendahulu bangsa tidak menjadikan agama sebagai suatu yang menyulut perpecahan, tetapi menjadikan agama sebagai keberagaman yang bersifat positif yang harus dijaga keharmonisannya dengan sikap dan nilai toleransi.
Sejumlah petinggi agama Islam dan Kristen sudah angkat suara mengenai konflik Wamena ini. Dari intern, ketua Persatuan Gereja-Gereja Jayawijaya (PGGJ) sudah mengarahkan agar warga Papua memaafkan pelaku rasial. Dari ekstern, pihak PBNU maupun Muhammdiyah yang merupakan ormas Islam besar di Indonesia sudah angkat suara mengenai ini agar pemerintah dapat menanggapi kasus ini dengan baik, tepat, dan seadil-adilnya. Bahkan MUI (Majelis Ulama Indoensia) sudah ikut berbicara soal persoalaan Wamena ini.
Dua elemen ini nampaknya sudah cukup untuk menyadarkan masyarakat, baik dari intern Papus maupun dari pihak ekstern Papus. Solusi lainnya adalah dengan mempelajari dan menerapkan nilai toleransi di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Sikap saling memaafkan juga sangat diperlukan, tetapi perlu dicatat bahwa hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan. Dengan begitu akan membuat jera pelaku dan sekaligus mencegah kasus-kasus serupa lainnya.
Pihak-pihak pembesar agama juga sudah angkat suara untuk perdamaian konflik ini, yang seharusnya didengar dan dijalankan oleh pemeluk agama yang bersangkutan, ini menunjukkan bahwa antar agama harus menasehati pemeluk-pemeluknya sehingga dapat menghormati agama lain serta tidak melakukan hal-hal keji termasuk rasisme dan marginalisasi atas nama RAS, sehingga susana dapat kondusif kembali dan dapat tercipta kedamaian. Semoga.