Dalam perjalanan panjang hingga kini, eksistensi dan dinamika tradisi pendidikan pesantren sebagai suatu sistem pendidikan tradisional Islam terbesar di Indonesia selalu mengalami pasang surut mengikuti ritme perubahan zaman.
Hal semacam ini, diakui atau tidak, tradisi pendidikan pesantren ini telah menjadi salah satu kekuatan sosial dalam struktur masyarakat, utamanya di Jawa dan Surau di masyarakat Sumatera, sebagaimana disingung pada tulisan yang publis beberapa waktu lalu.
Kalau kita saja mau mencermati dan membandingkan eksistensi dan dinamika tradisi pendidikan pesantren di Indonesia dan beberapa negara yang berkembang di belahan dunia Islam lainnya. Misalnya, Ma’hadul Islam di Yaman atau Hauzah di Iran dimana keberadaannya masih tetap eksis dan lestari hingga kini juga miliki kemiripan, baik secara historis maupun tradisi pendidikannya.
Secara historis dan dinamika, hauzah dan pesantren dianggap sebagai warisan tradisi pendidikan Islam klasik yang memiliki banyak kemiripan dengan tradisi pesantren yang ada di negeri ini, sama-sama ke-arab-araban atau arabian centris.
Keduanya, memiliki kecenderungan melakukan pensakralan yang terkadang berlebihan pada ulama (kiai) serta karya kitab-kitab klasik pendahulunya. Keduanya berbeda dalam masalah teologi, mayoritas pesantren di Indonesia menganut teologi al-Asy’ariyah dan Hauzah yang ada di Iran menganut syi’ah itsna asyariyah
Terlepas dari itu, tentu yang menarik dari tradisi keduanya adalah daya inovatif dan kemampuan dalam mempertahankan eksistensi dan dinamika melawan arus sistem pendidikan konvensional modern dan arus globalisasi di tengah perkembangan sain teknologi media masa.
Dalam konteks ke-Indonesia-an saat ini, yang menjadi persoalan, apakah terbentuknya tradisi pendidikan pesantren yang begitu panjang bisa menjadi jawaban dari persoalan tradisi pendidikan di tengah-tengah arus pendidikan modern dan arus globalisasi di tengah perkembangan teknologi saat ini.
Kenyataannya yang ada kini, masih banyak yang melihat tradisi pendidikan pesantren cenderung dimaknai hanya semata-mata warisan masa lalu yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya, serta masih menjadi cermin dari benang kusut dalam benak pewarisnya. Pemaksaan normatif yang tak beralasan dan hanya mengandalkan pertimbangan apologia belaka, masih sangat jelas di depan mata kita. Konsep dasar yang melatari tradisi pendidikan pesantren dirasa kurang begitu dipahami dengan baik dan benar sebagaimana mestinya.
Pesantren layaknya sebagai tradisi pendidikan juga merupakan media dalam berkreasi nyata dalam pengembangan kehidupan yang lebih baik dengan berbagai teoritis dan praktis sekaligus. Untuk saat ini, pendidiakn pesantren tak hanya semata-mata memberikan pendidikan agama, melainkan juga pendidikan keahlian tertentu. Bukan dimaknai hanya sebagai media belajar agama yang selalu berkutat pada tradisi klasik abad pertengahan. Perpaduan antara pendidikan teoritis dan praktis ini bukan tak mungkin diberikan pada anak didik (santri).
Untuk saat ini, tradisi pendidikan pesantren hendaknya menerapkan pendidikan yang memiliki potensi yang seimbang dalam menciptakan generasi-generasi Muslim yang unggul secara spiritual dan berkualitas secara potensial, baik secara sosial, ekonomi, politik, dan seni, serta budaya.
Idealnya sebagai sebuah pendidikan Islam, tradisi pendidikan pesantren harus mampu mencetak anak didik memiliki idealisme atau keimanan tinggi, sehingga tak terombang-ambing keadaan. Namun, juga harus memiliki keahlian di bidang sains dan teknologi sehingga tak hanya unggul secara spiritual, akan tetapi juga unggul di dasar-dasar dalam lapangan kerja, sebagaimana tuntutan era globalisasi sekarang ini.
Tentu, bersamaan dengan itu, maka harus ada pergeseran paradigma tradisi pendidikan pesantren yang berkembang dan berubah, dimana persaingan antara tradisi dan sistem harus dipadukan. Ini memang harus diakui atau tidak, tradisi pendidikan pesantren lama tak mungkin terus menerus bertahan dengan cara dan sistem lama di mana zaman terus bergerak dan berubah ini. Pembaruan dan inovasi harus menjadi pilihan bijak tak terhindarkan barang kali.
Selain itu, medium utamanya harus ada transmisi penanaman nilai-nilai dan ilmu pengetahuan Islam dan penanaman serta pemeliharaan nila-nilai tradisi Islam harus tetap ada, karena ini sebagai peran ganda yang harus emban dan menjadi sebuah harusan yang harus dipertahankan dalam tradisi pendidikan pesantren. Karena, tuntutan era globalisasi tak mengenal batas-batas tradisi dan nilai-nilai seperti ini. Di era globalisasi yang menentukan adalah pangasa pasar.
Kenyataan perubahan sosial yang semakin hari semakin deras dengan kompetensi yang begitu ketat di tengah arus globalisasi di tengah perkembangan teknologi media masa yang semakin mengkhawatirkan ini seringkali mengakibatkan sumber daya pesantren sendiri abai dalam pencaturan zaman ini. Anggapan kalau kaum pesantren masih dinilai konservatif dan memiliki nilai sangat rendah dibandingkan keluaran pendidikan modern lainnya, kadang kala banyak benarnya.
Kenyataan seperti ini, memang cukup dilematis dan problematis bagi pesantren yang tak memiliki kemampuan sumber daya manusia yang cukup mempuni, dimana dalam tradisi pendidikan pesantren dituntut harus menjaga idealisme dan visi pendidikan khas pesantren pada satu sisi. pada satu sisi yang lainnya, tradisi pedidikan pesantren juga dituntut bijaksana dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin sulit terkendali ini.
Sementara pada sisi yang lainya problemnya adalah pada efektifitas pesantren dan kualitas para santri menjadi taruhan, seperti, menurunnya pemahaman keagamaan, sebab terkesampingnya kurikulum berbasis agama, yang juga berdampak pada semakin melemahnya fungsi pesantren. Sementara jika santri tak diberikan kurikulum yang berbasis pada penguasaan sains dan teknologi, maka yang terjadi santri sulit adaptasi dengan dunia modern.
Harus ada usuha semacam integrasi dari para pemangku kepetingan pendidikan di negeri ini antara kedua sistem ilmu agama dan ilmu umum dalam kesatuan kurikulum pesantren yang banyak diterapkan banyak pesantren modern saat ini. Dimana pada akhirnya, kaum berkopiyah dan kaum bersarung tak lagi dianggap sebagai bagian presentasi dari komunitas yang menolak perubahan zaman dari transformasi sosial.
Untuk saat ini, kiranya perlu pesantren, walaupun harus semua pesantren seluruh Indonesia perlu menata diri kembali dari segala aspek, mulai dari managemen kelembagaan hingga pada level model pendidikan yang hendak diterpakan di masa depan dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni dan sanggup menjadi agen perubahan zaman di negeri ini.
Demikian barang kali, tantangan-tantangan pendidikan pesantren yang harus dihadapi ke depan dimana semua lapisan pesantren harus melek media digital dan melek informasi. Meminjam istilah filosof kritis kontemporer Prancis Jean Bauldrillard media digital saat ini sudah ada di level obisitas informasi, kegemukan informasi. Statusnya beralih diri dari homo-spaiens ke homo-super spaiens.