Keterangan Prof. Quraish Shihab tentang sifat mukmin yang ada di dalam Al-Qur’an disebut banyak sekali ayat sebagai “la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun” (tidak ada rasa takut pada diri mereka dan juga rasa sedih), bermakna dua arah:

Pertama, tidak ada rasa takut terhdap apa yang akan terjadi esok.

Kiranya benar tuturan Mbah Tejo bahwa khawatir, takut, besok tidak bisa makan merupakan perbuatan menghina Tuhan.

Takut terhadap apa yang akan terjadi di masa depan bukanlah sifat mukmin. Sebab, mukmin selalu yakin bahwa Allah Swt Maha Kuasa mengaruniakan apa pun–semusykil apa pun pikiran manusia mengangankannya.

Kedua, tidak ada rasa sedih terhadap apa yang telah terjadi.

Terhadap kejadian-kejadian yang tak selaras dengan kekarep kita, cita-cita kita, adanya kesedihan–apalagi sampai berlarut dan menimbulkan stres, depresi, dendam–bukanlah sifat sang mukmin.

Sang mukmin senantiasa melekatkan segala kejadian kepada ketetapan Allah Swt yang terbaik buat diri kita. (Keterangan ini memang tricky jika tak dilengkapi dengan pemetaan yang jernih tentang, misalnya, “segala yang baik datang dari sisi Allah Swt dan segala yang buruk datang dari sisimu (manusia).

Prof. Quraish lalu memberikan clue penting yang cukup menenangkan buat lakon hidup kita di hadapan dua sifat yang kerap kita langgar itu. Yakni, “adanya rasa sedih dan takut pada diri manusia pada dasarnya alamiah, lazim. Tetapi, hendaknya, jangan berlarut-larut. Sebab, semakin berlarut menandakan semakin beratnya hati kita untuk menerima segala kejadian sebagai semata ketetapanNya”.

(jadi, jangan berlarut-larut).

Seseorang tentulah kadang terseret kecewa, marah, sedih, takut, dan sejenisnya. Itu manusiawi–bawaan dari sifat-sifat hawa nafsu. Clue-nya bagi mukmin adalah semakin ia bisa cepat mengatasinya, menjadi kembali tenang, rasional, dan kemudian menerimanya, itu isyarat bagi semakin kuatnya iman di hatinya.

Seseorang yang bersedih karena disetrap sama facebook hingga hanya bisa baca status dan komen orang tanpa bisa membalas, padahal biasanya iyig banget (misal saja ini, mas Iqbal Aji Daryono), bila tiga hari ke depan telah kembali ceria, itu isyarat nyata bahwa setrapnya telah selesai–sebelum menuju ke setrapan-setrapan berikutnya.

Betul, yang esensial sebagai dinamika perjalanan rohani kita ialah jangan berlarut-larut.

Maka, misal, jangan pernah katakan “kalau sama dia, seumur hidup bahkan tujuh turunan, aku haram menyapanya.” Sebab, ungkapan sejenis itu menandakan lemah, kacau, iman di hati kita.

Komentar