Antara syariat, tarekat dan hakikat satu-sama-lain tak dapat dipisahkan; berjalin berkelindan. Hakikat tak dapat direngkuh tanpa menyusuri lorong-lorong tarekat. Tarekat tak dapat dipraktekkan tanpa syariat. Hakikat bukan tahapan terpisah dari tarekat; tarekat bukan kondisi mandiri lepas dari syariat, dan syariat tidak boleh sepi dari hangatnya tarekat serta ranumnya buah-buah hakikat.

“Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nabi suatu pagi pada Harits. “Saya telah jadi mukmin sejati,” Harits menjawab. Nabi mengingatkan Harits agar hati-hati bicara. Segala sesuatu ada hakikatnya. “Apa hakikat keimananmu?” Nabi bertanya lebih lanjut. “Saya menyaksikan penghuni surga saling berkunjung sedang penghuni neraka saling menjerit. Saya melihat ‘arasy Tuhan dengan jelas” jawab Harits. Mendengar jawaban Harits, Nabi bersabda padanya, “Kamu sudah bicara benar. Tetaplah dalam keadaan itu!”

Harits beriman akan alam gaib. Ini syariat. Diriwayatkan bahwa ia selalu puasa siang hari dan shalat malam yang panjang. Ini tarekat. Ia menyaksikan apa yang dilakukan penghuni surga dan neraka. Itu hakikat. Semua ajaran Islam, baik yang ushul maupun furu’, yang akidah maupun ibadah; (harus) selalu mengandung tiga unsur yang tak terpisahkan itu.

Jadi, tiga lapisan makna itu harus ditempuh dan diraih secara simultan. Masalah ini relevan dengan tipologi keberagamaan. Pernah ada perdebatan para psikolog seputar “the great paradoxes of the psychology of religion“. Mengapa, tanya mereka, agama yang mengajarkan persaudaraan sesama manusia melahirkan para pemeluk dengan tingkat prasangka yang tinggi? Penelitian demi penelitian menunjukkan hubungan erat antara perilaku beragama dan prasangka, prejudice. Sederhananya: makin rajin orang beribadah, makin besar prasangkanya pada kelompok manusia lain.

Dengan prasangka, kelompok lain dipandang hina, dianggap inferior, lebih rendah derajatnya, bahkan tidak sepenuhnya manusia. Turunan dari prasangka terhadap kelompok lain: penggunaan label atau gelar yang melepaskan mereka dari sifat kemanusiaannya. Mereka dicap munafik, sesat, pengikut setan, atau bangsa lain. Lanjutannya: mereka tidak layak dikasihani, boleh difitnah, dirampas haknya, dianiaya, dianggap sumber segala sifat buruk (malas, immoral, tidak jujur, licik, bodoh, jahat, kejam, dlsb). Penelitian klasik Adorno et al tentang prejudice mengidentifikasi beberapa karakteristik prasangka: otoriter, fanatisme kesukuan, konservatisme politik dan ekonomi, dan anti-Semitisme.

Sekali lagi, pertanyaan (kegelisahan)-nya adalah: mengapa orang-orang saleh sering menunjukkan prejudice lebih lebih besar dari orang yang kurang saleh? Allport menjawab paradoks ini. Ia membagi dua keberagamaan: tidak dewasa dan dewasa. Keberagamaan tidak dewasa memandang Tuhan bertugas melayani: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya. Keberagamaan seperti ini cocok untuk masa kanak-kanak, tapi jadi disfungsional ketika orang beranjak dewasa. Keberagamaan yang tidak dewasa bersifat menghakimi dan menilai orang lain.

Allport kemudian merevisi teorinya. Dari “tidak dewasa” dan “dewasa” menjadi “ekstrinsik” dan “intrinsik”. Substansinya sama, saya kira. Jika ada orang menggunakan agama untuk tujuan pribadi serta memandangnya bersifat instrumental dan utilitarian, orang itu berorientasi ekstrinsik dalam beragama. Agama digunakannya untuk berbagai tujuan: mendapatkan rasa aman, status atau pembenaran diri. Tipe ekstrinsik menghadap Tuhan tanpa berpaling dari dirinya. Menariknya, prejudice berkaitan dengan orientasi keberagamaan yang ekstrinsik. Prejudice dan penyakit psikologis lainnya hanya berkaitan dengan orang yang menjalankan agama untuk kehendak dirinya.

Pikiran saya lalu melesat ke orang-orang yang sepertinya menemukan kenikmatan beragama pada kemampuannya menunjukkan “kesesatan” agama atau golongan lain, bukan pada fungsi dasar agama sebagai penyemai, penumbuh, penyebar dan sekaligus pengawal kedamaian; baik damai di tingkat jiwa-personal maupun damai di tingkat komunal-sosial.

Dalam kerangka teoritis di atas, “kenikmatan” semacam itu tergolong keberagamaan tidak dewasa berorientasi ekstrinsik. Prasangka atawa prejudice sangat tak berjarak dengan karakteristik keberagamaan yang tidak dewasa dengan model ekstrinsiknya yang juga dapat dipastikan kental. Yang bersangkutan, dapat ditebak, tak akan terima keberagamaannya dicap tidak dewasa dan berorientasi ekstrinsik. Bagi mereka, karakter dan orientasi keberagamaan seperti itu justru yang diinginkan oleh agama yang dianutnya: memberi kenikmatan teologis saat menang debat, berhasil menunjukkan kesesatan teologis agama lain, meneguhkan iman-tauhid vis a vis sesatnya anasir teologis agama lain. Ketaatan-ketaatan ritual mereka pupuk dan tempuh dengan rajin dalam rangka meneguhkan semua itu!

 

Komentar