Dalam beberapa tahun ini, kita sering membaca spanduk dan mendengar sebutan “Imam Besar Umat Islam”. Kita juga sudah maklum siapa yang menyebut dan disebut.
Dulu, setahu saya hanya disebut “Imam Besar” saja. Yakni, Imam Besar dari organisasi yang dipimpinnya. Belakangan berubah menjadi “Imam Besar Umat Islam”.
Imam yang Maklum
Saya mengenal sebutan “imam” itu dalam tiga konteks. Pertama, dikaitkan dengan kapasitas keilmuan keislaman yang mumpuni dan diakui oleh sejarah dari waktu ke waktu, seperti sebutan imam kepada Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam Ghazali, dan sejenisnya.
Kedua, imam sebagai sebutan bagi seseorang yang memimpin pelaksanaan sholat. Yang diikuti disebut “imam”, sedangkan yang mengikuti sholat imam dinamakan “makmum”.
Ketiga, imam dalam tradisi Syi’ah yang sematkan kepada orang yang dijadikan pemimpin, dipandang mumpuni secara keislaman, dan diyakini ma’shum (tidak berdosa). Misalnya, sebutan imam untuk Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husein bin Ali, Imam Hasan bin Ali, Imam Ja’far bin Muhammad, Imam Khomeini, dan sejenisnya.
Ada memang istilah “imamah” dalam fiqh siyasah untuk menyebut kepemimpinan politik. Orang yang mimpin pemerintahan politik disebut imam. Tapi dalam kenyataannya, jarang sekali sebutan imam digunakan. Dalam sejarah, pucuk kepemimpinan politik Islam disebut khalifah atau amirul mu’minin. Belakangan beragam, ada negara yang menyebutnya malik (raja), sultan, amir, presiden, raja, dan lain-lain. Nyaris tidak ada yang menyebut “imam”.
Imamnya Siapa?
Sebagai bagian dari umat Islam, kita jadi bertanya. Sejak kapan dan siapa yang mengangkatnya sebagai imam besar bagi umat Islam? Jika disebut “Imam Besar”, adakah “Imam-imam kecil” dari umat Islam, baik di Indonesia maupun di dunia?
Adalah kenyataan yang tak terbantahkan, komponen umat Islam terbesar di Indonesia adalah organisasi NU dan Muhammadiyah yang didirikan lebih dari seabad yang lalu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pertanyaannya adalah apakah NU dan Muhammadiyah telah mengangkat dan memberi mandat menjadi “Imam Besar Umat Islam” kepadanya?
Setahu saya, yang mengangkatnya sebagai “Imam Besar Umat Islam” hanya organisasi yang dia pimpin saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Organisasi ini berdiri pada tahun 2000an, sekitar 20 tahun yang lalu. Jumlah anggotanya pun sama sekali tidak merepresentasikan jumlah umat Isam yang ratusan juta dalam naungan puluhan organisasi keislaman.
Politisasi Umat Islam
Oleh karena itu, klaim “Imam Besar Umat Islam” sungguh tidak merepresentasikan suara umat Islam Indonesia. Klaim ini akhirnya bersifat politis. Lebih tepatnya, politisasi umat Islam untuk kepentingan organisasi dan kelompoknya.
Sungguh sangat tidak etis (bukan akhlak yang mulia) “umat Islam” dibawa-bawa sebagai klaim untuk kepentingan kelompok dan organisasinya. Lebih-lebih, aspirasinya sering tidak sesuai dan bertentangan dengan aspirasi mayoritas umat Islam yang diklaimnya.
Tidak hanya “umat Islam” yang dikalim, tetapi juga “Islam” dan bahkan “kebenaran”, sungguh sangat tidak berakhlak karimah.
Kita tahu, umat Islam itu beragam, tidak tunggal, baik dari sisi organisasi, madzhab pemikiran, maupun kepentingan. Oleh karena itu, klaim tunggal oleh sutu organisasi atau kelompok umat Islam tertentu sama sekali tidak bisa dibenarkan dan tidak menghargai keragaman yang ada.
Berkepentingan, baik kepentingan ekonomi maupun politik, sebetulnya sah-sah saja, hak setiap orang. Tak terkecuali organisasi. Tapi klaim yang bukan haknya adalah tindakan yang tidak berakhlak karimah.
Hentikan Politisasi
Oleh karena itu, sebaiknya kita segera menghentikan klaim atas nama “umat Islam” atau “Islam” hanya untuk memuluskan kepentingan kelompok atau organisasi tertentu. Menggunakan nama organisasi atau kelompok sendiri untuk mengusung kepentingannya adalah tindakan yang gentle dan beradab.
Dengan demikian, menyebut “Imam Besar” dari organisasi yang mengangkatnya adalah lebih baik, lebih berakhlak, dan lebih beradab dari pada mengklaim “Imam Besar umat Isam” yang sama sekali tidak pernah mengangkat dan memberikan mandat kepadanya. Sebutan gentle ini sudah dicontohkan dengan baik oleh kelompok Islam yang lain, seperti sebutan “Imam Besar Masjid Istiqlal”, “Imam Besar Masjid Sunda Kelapa” dan sejenisnya.() Majasem, 17/12/20, @marzukiwahid