Jelang pilkada serentak, kita teringat dengan petuah Buya Syafii Maarif: Indonesia punya presiden, punya gubernur, punya bupati/walikota, tetapi tidak punya pemimpin, dalam kolom opini “Borok Itu Kian Mengapung” (Kompas, 9/7/11). Buya Syafii menyoroti era reformasi yang gagal melahirkan negarawan, sehingga keadilan dan kesejahteraan yang selalu dijanjikan saat kampanye tidak juga terwujud. Kegundahan yang ia refleksikan lebih dari satu dekade silam itu nampaknya masih bisa kita lihat hingga saat ini.
Pilkada 2024 menjadi ujian kita dalam menentukan kepala daerah yang akan memimpin lima tahun ke depan. Masih dalam opini tersebut, Buya Syafii memberikan kisi-kisi soal kriteria seseorang yang layak disebut sebagai pemimpin: Seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang berani dan tegar untuk mengambil keputusan tepat, jika perlu dengan mengorbankan dirinya, demi kepentingan lebih besar.
Tantangan Intoleransi
Setara Institute pada awal 2024 merilis sepuluh kota paling intoleran, yaitu Depok, Cilegon, Banda Aceh, Padang, Lhokseumawe, Mataram, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, dan Sabang (Setara Institute, 2024). Jika membaca laporan itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa peran pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan dalam menjaga toleransi di daerahnya sangat krusial. Kekeliruan dalam merancang regulasi terkait hal tersebut berpotensi deskriminatif terhadap kelompok agama atau kepercayaan tertentu.
Sepuluh kabupaten/kota di atas akan melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah bersamaan dengan daerah lainnya dalam pilkada serentak tahun ini. Terdapat delapan calon bupati/walikota dari sepuluh kabupaten/kota tersebut yang merupakan petahana. Alih-alih mengakui dan berupaya membenahi, beberapa incumbent tersebut dalam konferensi pers dan atau debat kandidat justru menyanggah tudingan kota paling intoleran.
Bijak Memilih
Pada pesta rakyat kali ini dan seterusnya, “haram” hukumnya untuk apatis dan pragmatis. Sikap politik kita akan sangat menentukan setidaknya dalam lima tahun ke depan. Memilih calon yang memiliki indikasi tidak amanah justru melanggengkan permasalahan lama. Memilih calon yang telah terbukti tidak mempunyai integritas malah melahirkan pelbagai persoalan baru.
Kita harus betul-betul mampu memilah siapa calon yang memiliki kapabilitas dan siapa calon yang tidak mempunyai kapasitas. Terlebih bagi warga di sepuluh kabupaten/kota itu harus lebih bijak lagi dalam memilih calon bupati/walikota sebagai pemimpin berikutnya. Mereka harus mampu memilih calon yang selain memiliki misi memperjuangkan nasib rakyat, melainkan juga dapat menghapus stigma daerah setempat dari daftar kota paling intoleran.
Banyak calon kepala daerah peserta kontestasi yang hanya bertujuan memanfaatkan jabatan publik untuk kepentingan sendiri atau golongannya. Kendati begitu, kita tentu meyakini masih ada calon kepala daerah yang tulus melayani publik. Pilkada 2024 menjadi momentum untuk Bangsa Indonesia melahirkan pemimpin yang menjalankan kekuasaan dengan semestinya. Kita berharap, para pemimpin sejati itu lahir. Sehingga kegundahan, kegalauan, dan kegelisahan Buya Syafii sirna dari bumi pertiwi. Kita berharap, para pemimpin sejati itu terpilih. Sehingga kedamaian, kemakmuran, dan kerukunan dapat terwujud di seluruh penjuru tanah air.