Islamsantun.org. Avempace atau aben pace, demikian bahasa Latin yang digunakan kalangan intelektual barat Eropa dalam menyebut nama Abu Bakr Ibnu Bajjah (1100–1138 M). Ibnu Bajjah menjadi tokoh utama, dan penting dari khazanah intelektual Islam yang muncul di wilayah Barat Eropa, serta dikenal sebagai filosof Muslim pertama yang menganut filsafat paripatetik Timur di Spanyol.
Filosof yang satu ini menjadi penyambung lidah paling awal dalam kajian filsafat Yunani-Arab ke dunia wilayah Barat. Makanya, tak mengherankan pemikiran Ibnu Bajjah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap filosof sesudahnya. Tak hanya pada filosof Muslim, melainkan juga pada tokoh besar dari agama selain Islam semisal, pada Ibnu Rusyd dan Albert the Great, serta pada beberapa filosof beragama Yahudi.
Di dalam literatur filsafat Islam baik, yang ditulis para sarjana Barat maupun para sarjana Muslim, Ibnu Bajjah ini sering kali dinarasikan sebagai sosok sarjana Muslim yang sangat cerdas, fisikawan, astronom, sejarawan alami ahli tata bahasa, dan sastra Arab yang ulung, serta menguasai hampir dua belas ilmu pengetahuan sekaligus filosof. Barangkali pengetahuan seperti ini untuk sekarang agak sulit ditemukan dalam satu pribadi.
Narasi lain yang muncul tentang Ibnu Bajjah adalah mampu membaca ulang karya-karya para filosof Yunani, mulai dari karya Plato Republik, Etika Aritoteles, Metafisika Neo-Platonisme hingga pemikiran Negara ideal dalam al-Madinah al-Fadhilah, karya al-Farabi. Karena itu, dalam banyak hal, pemikiran dan gagasan Ibnu Bajjah ini dianggap banyak dipengaruhi tokoh-tokoh ini, terutama al-Farabi dalam hal filsafat politik.
Konon katanya, kehidupan Ibnu Bajjah ini sangat sederhana, bahkan dapat dikatakan sangat sulit secara ekonomi. Secara gio-politik, Ibnu Bajjah hidup dan besar tengah perpecahan Spanyol akibat perang saudara. Di separuh perjalanan hidupnya, Ibnu Bajjah pindah dari Spanyol Utara ke di Fez, Maroko hingga menjadi menteri dan dipenjara serta meninggal dunia. Ada yang mengatakan kalau Ibnu Bajjah ini meninggal karena diracun oleh lawan-lawannya.
Tadbir al-Muwahhid adalah Magnum Opus dan karya satu-satunya Ibnu Bajjah yang sampai pada kita. Karyanya lain masih dianggap tak lengkap, bahkan lebih banyak karya-karyanya yang lenyap. Lenyapnya karya Ibnu Bajjah ini, diduga karena ada penolakan atas gagasannya tentang astronomi dan kosmologi yang berpaham Ptolemius yang dikembangkan wilayah Spanyol di sekitar abad VI/XII, serta kritik kerasnya terhadap teori Aristoteles tentang gerak proyektil.
Baru sekitar era 70-an kalau tak salah, Tadbir al-Muwahhid ini menjadi tesis Ma’an Ziyadah, seorang Mahasiswa di Faculty of Graduate Studies and Research McGill University, Institute of Islamic Studies. Belakangan, karya Ma’an Ziyadah ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Turos Pustaka dengan judul, Kitab Tadbir al-Muatawahhi Ibn Bajjah: Rezim Sang Failasuf (2018).
Ma’an memberi pengertian yang cukup menarik terkait karya Ibnu Bajjah tersebut. Misalnya, kata Tadbir diartikan sebagai sebuah rezim, pengelolaan, dan pengaturan yang bisa dilakukan setiap diri manusia. Sementara kata, al–Muwahhid diartikan sebagai manusia penyendiri, manusia teralienasi, dan manusia soliter. Dengan kata lain, insan kamil kalau meminjam istilah para filosof Muslim lain seperti Muhammad Iqbal, atau manusia super kalau meminjam istilah Jerman; Nietzsche.
Diakui atau tidak, adanya karya terjemahan Tadbir al-Muwahhid ini tentu sangat membatu para peminat kajian filsafat Islam di tengah kelangkaan literatur filsafat Islam terutama kajian filsafat Islam di wilayah Barat. Meskipun harus diakui juga, bahwa Tadbir al-Muwahhid bukanlah buku filsafat Islam biasa yang ringan dan mudah dipahami dengan sekali baca, sebagaimana layaknya karya filsafat islam lainnya.
Walaupun demikian, dapat dikatakan Tadbir al-Muwahhid ini merupakan sebuah karya filsafat Islam yang memiliki makna penting bagi peminat kajian filsafat Islam, terutama bagi perkembangan filsafat Islam di Maghrib (Barat).
Kalau ditelisik, sebenarnya gagasan yang tertuang dalam Tadbir al-Muwahhid karya Ibnu Bajjah tersebut tentang keadaan sempurna manusia yang tak dapat diciptakn melalui transformasi eksternal, atau melalui revolusi diri, melainkan harus dilakukan dengna transformasi inti yang ada pada setiap individu-individu yang telah menyatu secara batini dengan intelek aktif, atau dalam bahasa al-Farabi al-Aql al-Af’al dan intelek-intelek lainnya yang saling menyempurnakan dalam setiap tindakan individu.
Bagi Ibnu Bajjah individu disini adalah tokoh-tokoh yang senang menyendiri, tak dikenal, teralieniasi atau terasing dalam suatu dunia di sebagian besar manusia modern yang tak dapat membangun dunia realitas yang tak dapat dimengerti secara murni. Gagasan ini hampir ada kemiripan dengan gagasan al-Farabi, dimana Ibnu Bajjah ini sering dikatakan sebagai pengikut setia al-Farabi.
Misalnya, al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadhilah mensyaratkan setiap pemimpin negara dan tugas-tugasnya sebagai pengatur negara, sekaligus pengajar dan pendidik, serta lebih menekankan pada keadaan pemimpin negara. Dengan demikian, menjadi negara utama atau al-Madinah al-Fadhilah.
Dan, untuk menjadi masyarakat sempurna (al–Kamilah), diibaratkan seperti organ tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap, masing-masing organ tubuh bekerja sesuai fungsinya, dan masyarakat tidak sempurna (al-Ghairu al-Kamilah). Disini gagasan Ibnu Bajjah kebalikannya dari gagasan al-Farabi.
Bagi Ibnu Bajjah, manusia al–Muwahhid berlaku dalam konteks pemaknaan secara khusus, semisalnya negara tak boleh bekerja sama dengan negara tertentu, seperti negara miskin. karena, pada satu sesi mengatakan masyarakat al–Muwahhid dengan uzlah falsafi, dibedakan dengan konsep uzlah para sufi seperti al-Ghazali, yang menganjurkan untuk menjauhi masyarakat secara total.
Manusia al-Muwahhid harus selalu berhungan dan berinteraksi dengan masyarakat lain secara bersama. Jika suatu masyarakat total menjauhi sosial, maka itu bertentangan dengan kodrat manusia yang lebih banyak memiliki kecenderungan membutuhkan orang lain.
Secara eksplisit Ibnu Bajjah ini mengkritik model dan tipe mistisme Ghazalian dan menawarkan gagasan yang lebih intelektual dengan melepaskan dari mistisme kontemplasi. Gagasan manusia al-muwahid ini dikemudian hari memiliki kesamaan dengan gnostik sufi dan karya-karya para filosof persia seperti Suhrawardi yang lebih memusatkan pada suatu yang lebih banyak tak dikenal dunia dalam karya sufi.
Dalam realitas dunia modern saat ini,gagasan Ibnu Bajjah ini agaknya ada semacam kesulitan ketika mempertimbangkan kesudahan dan penyelesaian dari aktualisasi intelek dalam tokoh penyendiri yang mencoba secara batini dengan intelek aktif dapat hidup bahagia karena dunia modern yang sudah dipenuhi materialisme dan hidonisme, sehingga pandangan dunia idealisme tak bisa terealiasasi dengan baik.