Kota Surakarta, tak ingin kalah dengan kota seberang untuk menyambut semarak bulan Ramadan dengan penuh keberkahan di setiap momennya. Demi mengantongi keberkahan, umat muslim di kota tersebut dengan antusias melaksanakan ibadah Ramadan, salah satunya adalah menunaikan ibadah salat Tarawih. Tak mengenal jarak untuk melangkah, umat muslim di kota tersebut pada akhirnya sampailah ke titik peribadatan yang dituju.
Bulan Ramadan tiba di Kota Surakarta ketika hawa panas menyelimuti seisi kota. Warganya yang mayoritas muslim, tak menyangkal perihal hawa panas khas kota ketika menjalankan ibadah puasa. Hawa panas siang hari tergantikan dengan lambaian angin sore ketika azan Maghrib akan segera dikumandangkan. Dan pada akhirnya, setelah dahaga terbayarkan oleh manisnya buah kurma, ibadah sunah pun sesegera mungkin untuk dilaksanakan.
Cahaya kota pun mulai meredup dengan lampu kota yang secerah cahaya rembulan ketika purnama. Azan Isya’ memberi isyarat bahwa waktu untuk menunaikan salat Tarawih sudah tiba. Di pusat kota, Masjid Agung Surakarta mempunyai daya tarik tersendiri untuk menyulut semangat ibadah bagi umat-Nya yang mencari keberkahan. Bocah-bocah dengan sarung kotak-kotak yang dikalungkan di leher datang silih berganti berebut air wudhu. Canda tawa tergantikan dengan kekhusyukan.
Ruang utama masjid pun semakin dipenuhi oleh jamaah, tak hanya jamaah sekitar kota Surakarta, tentu tak sedikit jamaah luar kota yang menyempatkan mampir untuk melaksanakan ibadah salat Tarawih. Jamaah laki-laki memenuhi ruang utama masjid, dan serambi masjid pun dipenuhi pula oleh jamaah perempuan. Titik kekhusyukan jamaah tersampaikan kepada Dzat yang memberi kehidupan dan keberkahan di bulan suci Ramadan.
Lantunan surah-surah Al-Qur’an terlantunkan dengan damai oleh imam masjid. Kebiasaan yang telah menjadi budaya Masjid Agung Surakarta pun tersampaikan setiap tahunnya di bulan suci Ramadan. Jumlah rakaat dengan dua metode terlaksana secara bersamaan di Majid Agung Surakarta. Tak begitu jelas, entah kapan budaya pelaksanaan salat Tarawih 8 rakaat dan 20 rakaat secara bersaman tersebut mulai menjadi kebiasaan.
Semasa pemerintahan Keraton Kasunanan Hadiningrat, budaya pelaksanaan Tarawih dengan dua metode tersebut belum pernah dilaksanakan. Pada tahun 1970-an timbulah kelemahan pada pemerintahan dan kekuasaan Keraton Kasunanan Hadiningrat. Bisa disimpulkan bahwa ketika kelemahan kekuasaan tersebut, kemudian melahirkan sebuah perbedaan di kalangan masyarakat sekitar. Dan tentunya perbedaan itu termasuk dalam perihal jumlah rakaat yang harus diselenggarakan oleh pihak pengelola masjid.
Sebuah inisiatif yang memang seharusnya tersampaikan, akhirnya dicetuskan oleh pihak pengelola Masjid Agung Surakarta. Sebuah pelayanan untuk umat muslim ketika bulan suci Ramadan tiba, dengan menyelenggarakan salat Tarawih dengan dua metode secara bersamaan. Bagi jamaah yang ingin melaksanakan 8 rakaat salat Tarawih, imam masjid bersedia untuk memimpin. Dan kemudian dilanjutkan Tarawih 20 rakaat untuk jamaah yang berkeinginan untuk melaksanakan dengan jumlah rakaat sekian.
Sebagaimana yang kita pahami, bahwa Indonesia sendiri didominasi oleh 2 ormas agama yang mempelopori penyebran nilai-nilai dan ajaran agama Islam di nusantara. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah dengan 8 rakaatnya dan Nahdlatul Ulama dengan 20 rakaatnya. Perbedaan jumlah rakaat itulah yang menghiasi kerukunan dan toleransi di dalam kemegahan masjid tertua di kota Surakarta.
Walapun memiliki gelar “masjid tertua” di kota Surakarta, Masjid Agung enggan untuk meninggalkan nilai toleransi yang memang harus dihidupkan oleh umat muslim di nusantara. Dengan ciri khas yang dimiliki oleh masjid tertua di kota Surakarta tersebut, layaknya Masjid Agung Surakarta patut diberikan sebuah apresiasi tersendiri. Sebuah masjid yang memiliki sebuah jembatan perbedaan. Enggan untuk berseteru, justru bersatu dengan sesama umat muslim.
Bagi warga Nahdliyin yang mungkin terkejar oleh waktu, Masjid Agung Surakarta membuka ruang untuk melayani pelaksanaan salat Tarawih 8 rakaat. Dan tentu bagi warga Muhammadiyah yang mungkin memiliki kelonggaran waktu, Masjid Agung Surakarta juga membuka ruang untuk melayani pelaksanaan salat Tarawih 20 rakaat. Begitulah sebuah keunikan yang dimiliki oleh Masjid Agung Surakarta untuk menjembatani perbedaan yang dianut umat muslim di kota Surakarta dan sekitarnya.
Tulisan ini merupakan kerja sama antara UKM LPM Dinamika dengan media Islam Santun.
Yoga Tamtama, Mahasiswa prodi Manajemen Bisnis Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta. Dia salah satu pegiat literasi di Unit Kegiatan Mahasiswa LPM Dinamika.