Sepeda motor hitam itu bentuknya sungguh aneh. Nyaris tak dapat dikenali lagi asal muasal bentuk pabrikannya. Lampu depannya sudah tidak ada batoknya. Shock depannya gantian motor lain. Bukan aslinya dan berukuran lebih besar. Leher motor hingga jok depan pun bersih, untuk tidak dikatakan habis, tinggal rangka dan perkabelan saja.

Meski suara mesin langsam, motor itu mengeluarkan banyak kepulan asap setiap kali mesinnya hidup. Sering kali mogok karena telat diisi oli samping, sering pula bermasalah pada bagian karburator. Tapi sepertinya tidak terlalu sulit dalam pembenahan karena nyatanya motor itu begitu setia hingga beberapa tahun.

Satu-satunya cara motor itu dikenali hanyalah dari fasad lampu belakang dan tulisan “Jet Cooled” yang masih terbaca di jok belakang. Belakangan kami tahu bahwa motor tersebut adalah Suzuki Bravo tua yang menolak untuk diistirahatkan.

Motor itulah yang menjadi kawan setiap kali keluar masuk kampung untuk mengajar. Dari majelis ke majelis. Sering pula ia bawa sampai lereng Merapi dengan kontur jalan yang begitu menanjak. Motor itu pula yang ia bawa mengajar ratusan santri setiap pagi dan petang hari di salah satu komplek pesantrennya yang berjarak 300-an meter dari kediaman.

Barangkali motor itu menjadi monumen kesahihan saat ia sering menasehati para santri dan masyarakat untuk senantiasa hidup dalam kesederhanaan: Sebuah visi hidup yang begitu absurd di tengah penetrasi kapital dan narasi para demagog perut yang terus dirayakan dan didengungkan oleh para artis dan influencer media sosial hari ini.

Di lain sisi, dan sekaligus menyedihkan, ketika banyak ditemui otoritas keagamaan sepertinya justru mengimani dengungan demagog yang tidak lagi menjadikan agama sebagai inspirasi kemanusiaan. Kiai, ustadz, pendeta, ataupun otoritas keagamaan lainnya, seringkali terjebak pada “kompromi artifisial” dalam dunia yang semakin timpang ini.

Tetapi ia tetap teguh menjalani lakunya. Ia memahami betul bahwa pengajaran adalah pembudayaan. Setiap pendidik adalah sekaligus teladan. Maka metode pengajaran yang paling mendasar adalah sesederhana mendekatkan obyek terhadap murid. Dengan begitu, pengetahuan, selain menjadi diskursus juga sekaligus menjadi laku. Sekali lagi, ia begitu teguh berpegang soal ini sehingga sikapnya dapat kita baca bahkan hingga ia mangkat menghadap kekasihnya.

“Dunya rasah dipikir nemen, akhirat kudu dipikir, ngaji saklawase!!!”
__
Membaca Kejernihan dan Keberaniannya

Ia memilih jalannya untuk sampai pada “ruang sepi” bukan tanpa uji coba dan pengembaraan. Melalui penuturannya sendiri atau banyak kawannya yang menceritakan: ia sempat menikmati laku sebagai penerjemah di waktu mudanya dulu. Bergumul dalam teks-teks intelektual. Juga pernah mengalami dinamika arus pergerakan kebudayaan “atas” sehingga menghantarkan pada perkenalannya dengan sastrawan dan seniman populer lintas spektrum pada tahun 80-an.

Mungkin ia merasa segala pengembaraannya waktu muda masih menyisakan ruang dimana geliat pengembaraannya tak kunjung menemukan momentum untuk menggerakkan masyarakat kebanyakan, terutama yang ada disekitarnya. Ini bisa dipahami selain menikmati iklim intelektual Jogja ia sekaligus lahir dan besar dalam patahan kemiskinan. Mungkin ia telah menyadari bahwa kepandaiannya tidak hanya untuk dirinya sendiri.

Bagaimana tidak? Ketika itu ia sudah mampu menerjemahkan teks bahasa asing namun disaat yang sama kawannya sendiri dari kampung masih kesulitan mengeja huruf. Atau ruang-ruang diskursus kebudayaan yang ia alami memang luas tapi disaat yang sama saudaranya sendiri pun belum bisa mendefinisikan kedirian mereka sehingga mudah terombang-ambing laju zaman. Pencariannya terus berlanjut hingga pada akhirnya ia meneguhkan diri kembali kepada ruang dimana ia dibesarkan dan diasuh: pesantren.

Mungkin ia sendiri telah menghitung konsekuensi dari pilihannya ini. Sebab konsekuensi logis sebagai seorang yang ditempa dalam ruang yang kosmopolit ia harus mampu bertindak subtantif. Maka ia merasa harus mampu melampaui seluruh atribusi kemapanan otoritas agamawan populis oleh sebab ia hadir sebagai “fungsi”. Sebagai “Garam” bukan hanya “Gincu”, persis seperti dinyatakan Bung Hatta. Tak pelak ia juga menjadi sosok yang sering disebut Gus Dur sebagai “Kiai Kampung”: figur langka nan ikhlas yang mengarus pada transformasi dan benteng kebudayaan akar rumput dalam satu tarikan nafas.

Di satu sisi ia menjalani laku “lamban”, jika menggunakan logika teknokratis, karena selalu melandaskan “kerja intelektualnya” dalam ritme masyarakat banyak. Tapi dalam sisi yang berkebalikan ia sekaligus figur yang memperhitungkan ketika sepanjang umurnya lekat dengan dinamika akar rumput melalui kepesantrenan. Ia mengupayakan dengan sungguh bahwa pesantrennya bukan hanya penjaga nilai tradisi yang beku tapi sekaligus lokomotif kepentingan massa yang paling mendasar bagi mereka. Maka tak perlu heran kalau ia tak pernah letih mengingatkan perlunya transformasi melalui persenjataan pengetahuan bagi kita selaku masyarakat. Katanya: “Ngaji, Ngaji, Ngaji!!!”.

Konsekuensi lainnya adalah soal kejernihan dan keberaniannya dalam bersikap. Ini menjadi penting oleh sebab kembali ke-pesantren baginya berarti berhadapan dengan kemungkinan menjadi elite yang pragmatis. Tentu ia bisa saja kaya dan menikmati kekayaannya, atau dengan cepat menggunakan jaringannya untuk memperbesar pesantren. Santrinya dan alumninya ribuan. Namun ia bergeming. Ia teguh menjadi teladan yang tak mudah padahal posisinya sangat memungkinkan.

Konon ia pernah terlibat secara terbuka dalam upaya-upaya politik praktis untuk dukung mendukung elektoral. Namun pilihan sikapnya berangsur surut seturut apa yang ia bayangkan tidak kunjung terwujud atau bahkan berkebalikan. Mungkin dalam bayangannya waktu itu adalah apabila “kaumnya” memiliki jabatan strategis pastilah percepatan transformasi masyarakat akan lebih mudah. Tapi kenyataannya tidak sesederhana bayangannya. Lantas Ia kemudian menarik diri.

Keteguhannya juga tercermin ketika ia dengan tegas dan berkali-kali menolak donor dari berbagai institusi/instansi ke pesantrennya. Menurutnya ia tak perlu banyak argumen untuk ini karena ia begitu khawatir prinsip kemandiriannya akan tergadai jika ia berkompromi. Walhasil prinsip kemandirian ini ia upayakan dalam beberapa dekade sampai hari ini. Yang paling nampak adalah bangunan yang begitu-begitu saja, disaat santrinya sudah mencapai 400-500an.

Bagi sebagian orang, sikapnya memang anomali dan menyimpan banyak paradoks akan tetapi menjadi amat jelas jika kita dapat memahaminya dalam lansekap yang lebih luas, bagaimana sebuah prinsip kemandirian itu benar mewujud sehingga dalam dinamika pesantrennya selalu memunculkan daya kreatif, kejujuran, dan keteladanan.
___
Ia Hanya Pulang, Bukan Pergi

إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sungguh, Allah tidak menghapus ilmu dengan cara memcabutnya langsung dari (seluruh) hambanya. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulamaNya. Hingga suatu masa tidak dijumpai ulama, manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka diminta dan memberi fatwa yang sesat sekaligus menyesatkan.” (Kanjeng Nabi)

“Remember the idea and not the man. Because a man can fail… But hundred years later, an idea can still change the world.” (Alan Moore)

Yang paling menyakitkan dalam setiap perpisahan adalah kehilangan nilai yang melekat dan dihidupinya. Barangkali tangisan kesedihan itu hadir untuk membuktikan bahwa pertama-tama ide-pengetahuan itu hadir bukan hanya dalam ruang yang ia tulis dan katakan tetapi sekaligus dengan perangai serta teladannya. Selanjutnya ide dan teladannya membentuk harapan yang menggerakkan banyak orang (bukan hanya dirinya sendiri) untuk merubah dunia yang semakin sakit ini.

Ia begitu yakin bahwa landasan kebahagiaan dan kesejahteraan hanyalah melalui pengetahuan yang linier dengan perangai. Sebab ilmu tak pernah mengajarkan tamak, kebohongan, manipulasi, apalagi berburu prestis dalam jabatan dan gelar. Ia mencontohkan dirinya sendiri bahwa pengetahuan berkonsekuensi menapaki jalan yang sepi dan tak diminati banyak orang. Begitu berat dan melelahkan.

Tepat tujuh hari lalu ia pulang menemui kekasih yang ia jadikan inspirasi ketahanan batinnya. Menemui para guru-gurunya, sahabat, dan kawan yang mungkin telah mendahuluinya. Tentu ia pulang bukan untuk tidak mau menemui kita kembali sebagai muridnya. Pesannya hanya sederhana; Ngaji, Ngaji, Ngaji!!!

Barangkali syarat untuk diakui santrinya hanya sesederhana sekaligus seberat meretas jalan sebagai seorang “long life learner” dengan bagaimanapun bentuk dan hasilnya.

Komentar