Tersebutlah bangsa katak yang sedang terkagum-kagum melihat cara jalan ular yang licah, cepat dan gesit. Sang katak sangat tertegun melihat ular-ular yang melata dengan lincah di sela-sela bebatuan  padang pasir yang tandus. Ular-ular itu begitu mudah menangkap binatang kecil dan serangga yang menjadi makananya. Di tempat lain sang katak melihat ular-ular berselancar dengan mudah dan indah di atas licinnya salju,  menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak menunggu mangsa. Sang katak makin kagum ketika sang ular bisa merayap dari pohon ke pohon dengan sangat enaknya.

Setelah mengamati dan menganalisa cara jalan ular kemudian membandingkan cara mereka berjalan,  masyarakat katak berkesimpulan bahwa cara berjalan yang benar adalah seperti ular. Dengan cara jalan seperti itu akan lebih cepat dan praktis, tidak meloncat-loncat seperti dirinya yang lamban dan melelahkan. Para pemimpin bangsa katak ini juga melihat bahwa kompetitor mereka di era pasar bebas adalah ular. Kalau mereka tidak menyesuaikan diri jalan seperti ular maka akan kalah bersaing dan tertinggal oleh ular.

Pendeknya, tanpa melihat kondisi fisik dan takdir atas diriya, sebagai makluk yang jalannya loncat-loncat,  akhirnya sang katak memutuskan untuk meniru jalan seperti ular. Pemimpin katak membuat kebijakan agar semua katak yang ada di negeri katak merubah cara jalan, dari meloncat-loncat menjadi melata seperti ular. Mereka tidak mau lagi jalan meloncat-loncat, karena disamping tidak efisien dan terlalu lamban, cara jalan seperti itu juga terkesan primitif, katrok dan ketinggalan zaman. Berbagai argumen rasional dibangun, sehingga siapapun yang tidak mau mengubah diri berjalan seperti ular  akan dilindas zaman, karena akan kalah berkompetisi.  Ada juga diantara mereka yang menggunakan ayat untuk membenarkan kebijakan ini. Bahkan nama Tuhanpun sering dicatut untuk melegitimasi bahwa cara jalan seperti ular adalah cara yang baik dan diridhai Tuhan. Barang siapa yang menentang maka berarti menentang hukum Tuhan.

Untuk menjalankan proyek kebudayaan yang latah ini, akhirnya sang pemimpin bangsa katak mengumpulkan para ahli, mulai dari intelektual, akademisi, peneliti, tokoh agama, para aktivis terbaik di negeri katak untuk membuat strategi agar semua katak bisa berjalan seperti ular. Para ahli pendidikan langsung merubah kurikulum agar semua materi pelajaran dari PAUD sampe perguruan tinggi diorientasikan bisa mendidik masyarakat katak bisa berjalan seperti ular. Lembaga pelatihan, tempat kursus  dibuka dimana-mana, semua berlomba menawarkan cara yang paling jitu dan cepat berjalan seperti ular. Bahkan di tempat-tempat ibadah tawaran ini disampaikan secara massif, mulai dengan cara persuasi,  provokasi bahkan sampai caci maki dan intimidasi.

Seperti tersihir oleh kehebatan cara berjalan ular, semua bangsa katak terus berusaha menyesuaikan dan mematut-matutkan diri dengan ular. Karena takut kalah bersaing dan khawatir tidak bisa hidup di masa depan, para orang tua juga menyuruh, ada juga yang memaksa, anaknya agar melatih diri berjalan seperti ular. Mereka mencari lembaga pendidikan favorit yang mampu menyulap anaknya bisa seperti ular. Segala cara dilakukan agar anaknya bisa belajar di tempat itu, termasuk cara-cara curang dan amoral. Hampir semua orang tua khawatir anaknya akan gagal menjalani hidup bila tidak bisa jalan seperti ular, inilah yang mendorong mereka melakukan semua ini.

Sudah berpuluh-puluh tahun berjalan, gerakan ini tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Para pemimpin kodok melakukan evaluasi atas kenyataan ini. Berdasarkan hasil analisis dari pemikiran yang sudah silau pada kehebatan ular, mereka berkesimpulan bahwa program ini gagal karena adanya kaki empat yang menempel di tubuh katak. Pikiran cerdas para intelektual katak yang teracuni bisa ular ini membangun teori, kaki empat yang menempel di tubuhnya inilah yang menjadi penghalang sehingga membuat mereka tidak bisa jalan seperti ular.

Atas kesimpulan ini, maka diputuskankanlah program amputasi kaki katak. Kembali program ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat katak. Berbondong-bondong bangsa katak, terutama generasi mudanya, ikut program amputasi keempat kaki agar bisa jalan melata seperti ular. Banyak orang tua yang mengamputasi kaki anaknya sejak dini, dengan asumsi semakin dini diamputasi akan semakin cepat melakukan adaptasi.

Setelah semua kaki diamputasi, ternyata bangsa katak inipun tetap tidak bisa jalan seperti ular. Semakin dewasa anak-anak yang tumbuh tanpa kaki, tanpa identitas diri sebagai kata, bukannya makin lincah berjalan seperti ular, tapi mereka semakin tidak bisa berjalan, bahkan meloncatpun mereka tidak bisa. Alih-alih bersaing dengan ular, mereka justru jadi santapan ular yang jalannya makin gesit dan lincah.

Untuk bisa bertahan bertahan hidup dalam kondisi yang seperti ini, banyak diantara bangsa katak yang akhirnya kompromi dengan ular. Mereka menjual diri dengan menjadi kacung dan menyetor upeti untuk jatah makan si ular. Beberapa katak yang menjadi sekutu ular ini akhirnya bisa hidup meski tanpa kaki. Bahkan setelah berpuluh tahun menjadi sekutu ular mereka bisa hidup mewah seperti layaknya ular  tapi untuk tetap bisa bertahan hidup secara nyaman para katak tanpa kaki ini harus mengorbankan sesama katak.

Berpuluh tahun keadaan seperti ini berjalan, sehingga akhirnya muncullah katak yang sadar.  Dia mencoba mengembalikan kodrat hidup bangsa katak yang harus berjalan dengan cara meloncat. Bagaimanapun seekor katak tidak akan berjalan seperti ular, karena kondisi fisik dan konstruksi fisiologinya berbeda. Katak yang cerdas tidak akan melakukan tindakan bodoh memaksa diri berjalan seperti ular, apalagi sampai mengamputasi organ tubuhnya sendiri yang vital.

Untuk bisa bersaing dengan ular tidak harus meniru berjalan seperti ular dan memaksa diri bergaya hidup seperti ular. Tetapi cukup mengenali potensi diri dengan berbagai perangkat yang ada. Setelah itu menggali semua potensi diri dan berlatih secara serius memfungsikan semua perangkat diri secara maksimal. Agar bisa bersaing dengan ular, maka katak cukup berlatih meloncat setinggi-tingginya dan sejauh-jauhnya, karena meloncat itulah takdir fisiologis bangsa katak. Jadi tidak perlu latah dengan mengikuti cara hidup bangsa lain secara total.

Inilah pikiran katak yang cerdas, tidak  mudah hanyut dan silau oleh gebyar cara hidup bangsa lain, karena setiap bangsa memiliki cara hidup, perangkat fisik dan konstruki lingkungan yang berbeda. Kemampuan menggali dan mengaktualaisasikan semua itu secara tepat dan akurat, menjadi syarat dalam memenangkan persaingan, bukan dengan cara latah budaya, sekedar meniru dan mengikuti cara hidup bangsa lain. Karena bangsa katak memiliki cara hidup dan fisiologi yang berbeda dengan bangsa ular.

Tapi sayang  pemikiran sang katak yang sudah mulai sadar atas kondisi ini justru mendapat tantangan dan hambatan. Para katak yang hidup nyaman tanpa kaki itu marah. Mereka tidak terima kenyaman hidupnya terganggu atas kesadaran kritis ini. Mereka menghadang dengan segala cara untuk menggagalkan berbagai upaya dan program mengembalikan katak pada fitrahnya, yaitu berjalan dengan meloncat. Semoga makin banyak katak yang sadar diri supaya berhenti dari latah budaya yang bisa membahayakan diri. ****

 

Komentar