Islamsantun.org. Pandemi COVID-19 belum jelas kapan berakhir. Langkah-langkah penanganan dampak pandemi diambil pemerintah agar wabah ini segera berakhir.
Ada yang menarik dari pernyataan ahli Psikologi Politik, Prof Hamdi Muluk tentang kondisi psikologis mempengaruhi proses penanganan COVID-19. Dilansir situs resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (covid19.go.id).
“Kondisi psikologis ini tentu juga akan mempengaruhi penanganan COVID-19. Kalau seseorang tidak sejahtera secara psikologis, ini nanti usaha pelandaian ini terkendala karena perilaku tidak mendukung,” kata Hamdi dalam penjelasannya di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu (10/5/2020).
Psikologi yang sejahtera terkait dengan kondisi mental spiritual yang siap menghadapi kesempitan hidup selama dan setelah pandemi. Semua sepakat, pandemi ini menghambat roda kehidupan pada semua aspeknya.
Yang paling terasa, aspek ekonomi. Bermunculan orang-orang fakir miskin baru akibat mata pencahariannya tutup. Ada juga yang menjadi korban PHK karena kantor, pabrik dan toko berhenti operasi sampai waktu yang belum ditentukan.
Kekuatan mental spiritual sangat dibutuhkan agar kesempitan akibat pandemi membawa kebaikan.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan dalam kitab at-Tanwir: ”Di dalam kesempitan dan kefakiran terdapat rahasia-rahasia kelembutan yang tidak dipahami kecuali oleh orang yang awas mata batinnya. Kesempitan melemahkan, menghinakan dan mengeluarkannya dari meminta bagian. Pada kesempitan terdapat kehinaan, bersama kehinaan akan pertolongan Allah swt.”
Bagi penempuh jalan ruhani (salik), kefakiran adalah hari raya sebagaimana pitutur Syaikh Ibnu ‘Athaillah: “Datangnya kefakiran adalah hari raya para salik.”
Kemudian dijelaskan oleh Syaikh Zarruq, kefakiran adalah rasa butuh yang sangat besar. Itu merupakan sifat alami seorang hamba. Kefakiran memutuskan seseorang dari yang lain dan mengembalikannya kepada Allah swt. Kembali kepada Allah swt adalah suatu kegembiraan, suka cita dan kebahagiaan bagi para salik. Karena itulah kefakiran disebut hari raya.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan, “Bisa jadi seorang murid mendapatkan sesuatu dalam kefakirannya yang tak didapatkan melalui puasa dan shalat.”
Kata Syaikh Zarruq, kadang-kadang dalam kefakiran seorang hamba mendapatkan tambahan iman, ilmu, ma’rifat, hakikat yang tidak didapatkannya melalui jalan lain, termasuk shalat dan puasa.
Kefakiran tidak bermanfaat jika tidak ada realisasi dalam bentuk ibadah. Syaikh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan: “Kefakiran tidak bermanfaat bagi pemiliknya kecuali jika disertai realisasi ubudiyah.”
Menurut Syaikh Zarruq, realisasi ubudiyah meliputi empat hal: Ridla dengan kenyataan, menegakkan hak-hak Allah berupa ibadah, melarikan diri dari nafsu serta semua dorongannya, dan menghadap Allah swt dengan rendah diri, pasrah dan menunjukkan rasa butuh yang sangat.
Kesempitan dan kefakiran akibat pandemi COVID-19 bisa menjadi jalan untuk melesatkan ruhani kita kepada Allah swt, yang tidak didapatkan kala lain dalam kehidupan kita.
Insya Allah, asal ma’rifat, segala sesuatu akan membawa manfaat.