Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm ibn Hawāzin al-Qusyairī,[1] lahir pada rabī‘ al-awwal 376[2] di wilayah Ustuwā (atau Ustawā), sebuah distrik di Khurasān[3] utara yang terkenal dengan kesuburan tanah dan produksi biji-bijian yang melimpah.[4] Orang tuanya berasal dari bangsa Arab yang nenek moyangnya telah tiba di Iran dengan tentara Arab yang menaklukkan Iran dan diberi tanah yang luas sebagai kompensasi atas dinas militer mereka.[5] Pada saat kelahiran al-Qusyairī, keluarganya sudah terbiasa dengan percakapan bahasa Persia dalam keseharian mereka, tetapi sebagai putra seorang pengawal negara ia dididik dengan baik seluk beluk bahasa Arab, puisi, dan ādāb. Sebagaimana pemuda dengan status sosial serupa, dia juga dilatih bela diri, menunggang kuda, dan memanah. al-Qusyairī melakukan perjalanan ke Nishapur (Naisābūr), pusat politik dan administrasi Khurasān, sekaligus pusat keilmuan dan budaya Islam di bagian timur dunia Muslim hingga penaklukan Mongol pada abad ketujuh/ketiga belas.[6]
Di Khurasān ia menghadiri ceramah dan khutbah dari Syaikh Ṣūfī terkenal Abū ‘Alī al-Ḥasan al-Daqqāq (w. 405/1015), kepala madrasah terkenal saat itu,[7] murid Ibrāhīm ibn Muḥammad al-Naṣrabādī (w. 367/977), guru Ṣūfī terkemuka di Khurasān saat itu. Al-Daqqāq termasuk dalam silsilah tradisi taṣawuf dari Baghdād, termasuk al-Sarī al-Saqatī (w. 251/865),[8] al-Junaid al-Baghdādī (w. 297/910),[9] dan Abū Bakr al-Syiblī (w. 334/946). Dengan kecerdasannya, al-Qusyairī menjadi murid terdepan al-Daqqāq, menikahi putri gurunya, Fāṭimah dan selanjutnya menggantikan ayah mertuanya sebagai kepala madrasah. al-Qusyairī berulang kali mengakui peran besar gurunya dalam karir taṣawufnya, sering mengungkapkan rasa kagum padanya dalam risālah taṣawufnya. al-Daqqāq berperan penting dalam memperkenalkan al-Qusyairī kepada otoritas Ṣūfī terkemuka Khurasan lainnya, Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī (w. 412/1021), seorang Ṣūfī yang dikutip al-Qusyairī hampir di setiap halaman Risālahnya. Sebagai penulis dan ulama terkemuka, al-Sulamī dianggap sebagai salah satu arsitek utama tradisi Ṣūfī klasik bersama dengan Abū Naṣr al-Sarrāj al-Tūsī (w. 378/988),[10] Abū Bakr al-Kalābażī (w. 380/990), Abū Ṭālib al-Makkī (w. 386/996), ‘Alī ibn ‘Uṡmān al-Ḥujwirī (w. 465/1072), dan ‘Abd Allāh al-Anṣārī al-Harawī (w. 481/1089).[11]
Terlepas dari kecintaannya pada taṣawuf dan sastra Ṣūfī, al-Qusyairī tidak membatasi dirinya untuk belajar tema-tema di luar taṣawuf . Ia belajar fiqh Syāfi‘ī di bawah bimbingan Muḥammad ibn Bakr al-Ṭūsī (w. 420/1029) dan teologi (ilmu kalām) dengan beberapa ulama Asyā‘irah terkemuka pada masa itu, seperti Abū Bakr ibn Furak (w. 406/1015) dan Abū Isḥāq al-Isfarainī (w. 418/1027). Ia pergi haji bersama para mufassir dan pengumpul ḥadīṡ terkenal Abū Muḥammad al-Juwainī (w. 438/1047) dan Ahmad al-Baihaqī (w. 458/1066). al-Qusyairī “mempelajari ḥadīṡ dengan setidaknya tujuh belas ulama yang berbeda, dan pada gilirannya mentransmisikan ḥadīṡ ke enam puluh enam murid.”[12] Saat gurunya, al-Daqqāq masih hidup, al-Qusyairī tidak melakukan perjalanan ke luar Khurasān. Setelah kota itu jatuh di bawah kendali dinasti Saljūq pada 429/1038, al-Qusyairī terlibat dalam perjuangan faksi-faksi antara Ḥanafiyyah dan Syāfi‘iyyah yang saling berebut kekuasaan ideologis resmi kerajaan.
Pada 436/1045 al-Qusyairī menegaskan posisinya sebagai juru bicara mażhab Syāfi‘ī-Asy‘arī Nishapur dengan mengeluarkan sebuah manifesto untuk membela mażhabnya. Pembelaannya terhadap prinsip-prinsip teologi Asy‘ariyyah membuat lawannya dari Ḥanafiyyah marah. Ketika wazir Saljūq ‘Amīd al-Mulk al-Kundurī yang berperang bersama Ḥanafiyyah-Mu‘tazilah, al-Qusyairī ditangkap dan ditahan selama seminggu di benteng Nishapur, dan dibebaskan setelah para pengikutnya mengancam untuk memberontak. Pada 448/1056 ia menerima undangan khalifah al-Qāsim untuk mengadakan kuliah ḥadīṡ di istana khalifah di Baghdad. Sekembalinya ke Khurasan, al-Qusyairī terpaksa menetap di Ṭūs,[13] karena Nishapur masih dikuasai oleh otoritas Ḥanafiyyah yang memusuhinya. Pada tahun 455/1063, Niẓam al-Mulk, wazir Saljūq yang baru, membalikkan kebijakan al-Kundurī dan berusaha membangun kembali keseimbangan otoritas keagamaan antara Syāfi‘iyyah dan Ḥanafiyyah. Al-Qusyairī, yang pada saat itu berusia tujuhpuluh tahun, diijinkan kembali ke kota asalnya di mana ia tinggal sampai wafatnya pada 465/1072. Keenam putranya dari istri pertamanya Fāṭimah menjadi ulama yang dihormati dan menyebarkan pengaruh keilmuan keluarga al-Qusyairī lebih jauh dan luas.[14]
Terlepas dari kemasyhurannya sebagai seorang guru Ṣūfī,[15] al-Qusyairī ternyata hanya meninggalkan sedikit murid. Dari jumlah tersebut Abū ‘Alī Faḍl ibn Muḥammad al-Farmaḍī (w. 477/1084), -guru dari Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 505/1111),- sejauh ini adalah yang paling terkenal. Kurangnya penerus spiritual ini mungkin bisa dikaitkan dengan karekter al-Qusyairī yang cenderung akademis dan metodis daripada sosok kharismatik yang memiliki banyak murid dan pengikut. Warisan tertulis al-Qusyairī adalah tafsīr al-Qur’ān berjudul Laṭā’if al-Isyārāt.[16] Di sini, sebagaimana dalam al-Risālah, dia mengurai panjang lebar tentang; fiqh, ajaran dan praktik taṣawuf ‘moderat’ ala Junaid al-Baghdādī dengan maksud untuk menunjukkan konsistensinya kepada ajaran Asy‘ariyyah, yang oleh al-Qusyairī dianggap sebagai satu-satunya keyakinan “tradisionalis”.
Ditulis tahun 410/1019, karya ini secara konsisten menarik paralel antara pergeseran tafsīr yang bertahap dari makna literal ke makna yang ‘halus’ (laṭā’if) dari al-Qur’ān dan tahapan perjalanan spiritual dan pengalaman ṣūfī menuju Tuhan. Keberhasilan seorang mufassir dalam tafsirnya dan sālik dalam sulūknya tergantung pada kemampuan musafir dan sālik tersebut untuk menggabungkan praktik spiritual dan semangat doktrin Islam yang benar (al-naṣ al-ṣarīḥ). Memberi porsi yang tidak seimbang pada keduanya akan menghasilkan kegagalan. Bahkan ketika keseimbangan ini tercapai, seorang mufassir masih membutuhkan ilhām Tuhan dalam memahami seluk-beluk wahyuNya. Hal yang sama juga berlaku untuk para sālik pencari jalan menuju Tuhan. Seorang sālik tidak akan berhasil dalam sulūknya tanpa bimbingan dan bantuan Tuhan secara terus-menerus.
Yang paling menonjol dalam sketsa intelektual al-Qusyairī adalah gagasannya tentang pengetahuan intuitif tentang Tuhan dan firmanNya yang hanya diberikan Tuhan kepada “kekasih” pilihannya, awliyā’. Gagasan ini dinyatakan dengan jelas dalam pendahuluan Laṭā’if al-Isyārāt: “[Tuhan] telah memuliakan orang-orang pilihan (aṣfiyā’) di antara hamba-hambaNya dengan [memberikan mereka] pemahaman tentang rahasia lembutNya (laṭā’if asrārihi) dan cahayaNya, dengan begitu mereka dapat melihat kiasan rahasia dan tanda-tanda tersembunyi yang terkandung di dalamnya [al-Qur’ān]. Dia telah menunjukkan kepada jiwa terdalam mereka tentang hal-hal yang tersembunyi sehingga dengan pancaran yang telah Dia berikan hanya kepada mereka, mereka dapat menyadari apa yang tersembunyi. Kemudian mereka mulai berbicara sesuai dengan maqāmāt (derajat) [pencapaian spiritual] dan kemampuan mereka dan Tuhan -segala puji bagiNya- mengilhami mereka hal-hal yang dengannya Dia memuliakan mereka [dengan mengesampingkan orang lain]. Jadi, mereka berbicara atas namaNya, menginformasikan tentang kebenaran halus yang Dia sampaikan kepada mereka, dan menunjuk kepadaNya…” pergeseran pemahaman mufassir menuju makna terdalam dari kitab suci ini dijelaskan oleh al-Qusyairī sebagai gerakan dari intelek (al-aql) ke hati (al-qalb), lalu ke ruh (al-ruh), lalu ke rahasia yang paling dalam (al-sirr) dan, akhirnya, ke rahasia dari rahasia (sirr al-sirr) wahyu al-Qur’ān.
Seperti yang nampak dari para guru Ṣūfī, al-Qusyairi tidak begitu berminat pada [penjelasan] aspek sejarah dan hukum dari teks al-Qur’ān. Baginya, mereka hanya berfungsi sebagai jendela ke semua ide dan nilai-nilai spiritual dan mistis yang penting dari taṣawuf. Jadi, misalnya, dalam membahas harta rampasan perang yang disebutkan dalam Q. S. 8:41,[17] al-Qusyairi berpendapat: “Jihād terdiri dari dua jenis: jihād eksternal [yang dilakukan] terhadap orang-orang kafir dan jihad internal terhadap jiwa [seseorang] dan Setan. Sebagaimana jihad kecil melibatkan [perampasan] harta rampasan perang setelah kemenangan, jihad besar juga memiliki harta rampasan perangnya sendiri, yang melibatkan kepemilikan jiwanya oleh hamba Allah setelah jiwanya dipegang oleh dua musuhnya; nafsu dan Setan.” Sebuah tafsiran serupa ditarik antara puasa biasa yang melibatkan pantangan dari makanan, seks, dan minuman demgan pantangan spiritual Ṣūfī dari godaan dunia dan dari mencari kerelaan dari penghuninya.
Terlepas dari sifatnya yang “moderat” secara keseluruhan, Laṭā’if al-Isyārāt bukannya tanpa unsur monistik yang seringkali digambarkan sebagai tren “berani” dan “esoteris” dalam literatur Ṣūfī. Aspek esoteris dalam tafsir al-Qusyairī ini nampak dalam interpretasinya terhadap Q.S. 7:143,[18] di mana Mūsā datang kepada Tuhan pada waktu yang ditentukan dan meminta agar Dia menampakkan diri kepadanya sehingga gunung yang ada dihadapannya hancur menjadi debu saat melihat kebesaran Tuhan. al-Qusyairī berkomentar: “Mūsā datang kepada Tuhan sebagaimana [hanya] yang bisa dilakukan oleh mereka yang sangat merindukan dan jatuh cinta. Mūsā datang tanpa Mūsā. Mūsā datang, namun tidak ada dari Mūsā yang tersisa bagi Mūsā. Ribuan orang telah menempuh jarak yang sangat jauh, namun tidak ada yang mengingat mereka. Sementara Mūsā [hanya] membuat beberapa langkah dan anak-anak akan membaca sampai Hari Penghakiman: ‘Ketika Musa datang ..’” Terlepas dari sisi esoterisnya, tafsir al-Qusyairī menjadi contoh ideal dari bentuk literatur Ṣūfī “moderat”, karena tujuan utama penulisnya adalah untuk mencapai keseimbangan yang lembut antara mistik, aspek esoteris dari Kitab Suci, antara syarī‘ah dan ḥaqīqah. al-Qusyairī juga menulis tafsīr yang berjudul al-Taisīr fī al-Tafsīr, yang menurut para ahli telah ditulis sebelum 410/1019. Ini adalah bukti yang nyata tentang status al-Qusyairī sebagai Ṣūfī yang juga faqīh Syāfi‘ī.[19]
Meskipun dalam karya-karyanya al-Qusyairī membahas berbagai macam objek,[20] Ia lebih dikenal luas dengan al-Risālahnya.[21] Ditulis pada tahun 437/1045, buku ini telah menjadi teks utama bagi banyak generasi Ṣūfī hingga saat ini dan dianggap sebagai bacaan penting bagi setiap Ṣūfī. Al-Risālah al-Qusyairiyyah membawa pesan jelas untuk menggambarkan taṣawuf sebagai ilmu dalam khazanah keilmuan Islam yang sah dan terhormat, berkelindan dengan al-Qur’ān dan Sunnah, dan selarasnya syarī‘ah dan ḥaqīqah. Al-Qusyairī tampak berhati-hati dalam membedakan Ṣūfī sejati dan Ṣūfī yang hanya sekedar pencitraan saja. Menurut pandangannya, petualangan spiritual dan pernyataan mereka yang tidak bertanggung jawab telah menodai citra Ṣūfī di mata orang luar, terutama ulama Sunnī saat itu. Dalam bukunya, al-Qusyairī secara konsisten berusaha membersihkan taṣawuf dari apa yang dia anggap sebagai keyakinan dan praktik yang “tidak pantas” dan bid‘ah. Ia juga tidak menyembunyikan ketidak sepakatannya pada beberapa ajaran dan praktik Ṣūfī saat itu.
Al-Risālah terdiri dari beberapa bagian ini dibuka dengan bab singkat yang menggambarkan doktrin “komunitas [sufi] (ṭāifah) ini”. Hal ini dengan tegas menunjukkan kesetiaan al-Qusyairī yang kokoh pada akidah Asy‘ariyyah dan berusaha untuk menegaskan hubungan taṣawuf dengan aliran kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sunnī ini. Bagian kedua berisi delapanpuluh tiga biografi guru Ṣūfī, dimulai dari Ibrāhīm ibn Adham (w. 162/778) hingga Aḥmad al-Ruḍbarī (w. 369/960) yang meninggal enam tahun sebelum al-QusyairI lahir. Biografi ini disusun dalam urutan kronologis dan disesuaikan dengan urutan ṭabaqāt al-ṣūfiyyahnya (Generasi Sufi) al-Sulamī, yang berisi seratus tiga biografi tokoh Ṣūfī. Sebagaimana al-Sulamī, al-Qusyairī memberikan uraian biografi singkat masing-masing Ṣūfī, diikuti dengan pernyataan-pernyataan pilihan mereka tentang berbagai aspek taṣawuf. Dalam pengantar, al-Qusyairī berusaha menjelaskan posisi para Ṣūfī sebagai waraṡah al-anbiyā’ (pewaris para Nabi) dan para sahabat.
Al-Qusyairī juga menuliskan keprihatinannya atas turunnya standar akhlāk dari gerakan Ṣūfī yang mengalami penurunan dari masa sebelumnya. Ia juga memberikan penjelasan yang cukup rinci atas duapuluh tujuh istilah taṣawuf (lengkap dengan analisa etimologis-terminologis). Dalam penjelasannya, ia juga mengutip pendapat para Ṣūfī otoritatif yang digabungkan dengan interpretasinya juga kutipan dari al-Qur’ān dan Sunnah. Ia menjelaskan maqāmāt dan aḥwāl, diikuti dengan pemahaman dan analisa psikologis yang baik tentang pengalaman para sālik; dari murīd hingga mursyid. Dalam penutup, ia membahas dilema moral yang dihadapi para Ṣūfī dalam perjalanannya menuju Tuhan, serta aturan beretika yang tepat dan harus mereka patuhi agar berhasil dalam perjalanan spiritual. Secara khusus, al-Qusyairī mengkaji sikap Ṣūfī terhadap samā‘, sulūk, kematian, karāmah, mimpi, dan tema taṣawuf lainnya. Al-Risālah diakhiri dengan saran al-Qusyairī kepada para sālik pemula.
Secara umum, al-Risālah terdiri dari dua bagian berbeda: biografi para Ṣūfī dan panduan serta ajaran baik para sālik dalam sulūk menuju Tuhan. Buku ini setidaknya memiliki fungsi sebagai isnād, penyambung mata rantai silsilah para Ṣūfī hingga masa al-Qusyairī.[22] Banyak kutipan dari al-Qur’ān dan Sunnah yang kaya dengan narasi al-Qusyairī menjadi pendukung dalam validasi konsep, terminologi, praktik Ṣūfī, dan perilaku mereka. Pengetahuan al-Qusyairī yang luas tentang taṣawuf memungkinkan dia untuk menerapkannya dalam konteks yang beragam. Dalam narasi al-Qusyairī, orang miskin tertindas, tetapi benar, selalu menang atas orang kaya, berkuasa tetapi tidak ẓālim. Tuhan selalu datang untuk menyelamatkan yang pertama dan mengabaikan atau merendahkan yang terakhir. Dalam arti tertentu, para Ṣūfī adalah “raja” dunia tanpa mahkota. Al-Qusyairī wafat di Nishapur pada pagi hari ahad, 16 rabī‘ al-awwal, 465 H dalam usia delapanpuluh tahun.[23] Dimakamkan di samping guru sekaligus mertuanya, Abū ‘Alī al-Daqqāq.[24]
Bacaan
Al-Khatīb al-Baghdādī, Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ṡābit. Tārīkh Madīnah Al-Islām: Tārīkh Baghdād Wa Żailuhu Al-Mustafād. Edited by Basyār ‘Awād Ma‘rūf. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 2001.
Al-Mazīdī, Aḥmad Farīd. Al-Imām Al-Junaid: Sayyid Al-Ṭāifatain. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
Al-Mulqin, Ibn. Ṭabaqāt Al-Auliyā’. Edited by Nūr al-Dīn Syarībah. Maktabah al-Khānjī, 1994.
Al-Qusyairī, Abū al-Qāsim. Al-Qushayri’s Epistle on Sufism. Translated by Alexander D Knysh. U.K.: Garnet Publishing, 2007.
———. Das Sendschreiben Al-Qušayrīs Über Das Sufitum. Translated by Richard Gramlich. Wiesbaden: F. Steiner Verlag, 1989.
———. Laṭā’if Al-Isyārāt. Edited by Ibrāhīm Al-Basiyūnī. Kairo: Hai’ah al-Kitāb, 2000.
Al-Ṣafadī, Ṣalāḥ al-Dīn Khalīl ibn Aibak. Al-Wāfī Bi Al-Wafayāt. Edited by Aḥmad Al-Arnaūṭ. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabī, 2000.
Al-Subkī, Taj al-Dīn, and Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī. Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā. Edited by Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī and ‘Abd al-Fattāḥ Al-Ḥulw. Faiṣal ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī, 1964.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn ʿAbd al-Raḥmān. Ṭabaqāt Al-Mufassirīn. Kuwait: Dār al-Nawādir, 1960.
Algar, Hamid. “Introduction.” In Principles of Sufism, translated by B. R. von Schlegell and 1990. Berkeley: Mizan Press, 1990.
Ibn Kaṡīr, Abū al-Fidā’ Ismā‘īl. Al-Bidāyah Wa Al-Nihāyah. Edited by Riyāḍ ‘Abd al-Ḥamīd Murād and Muḥammad Ḥassān ‘Ubaid. Beirut: Dār Ibn Kaṡīr, 2010.
Khallikān, Aḥmad ibn Muḥammad Ibn, and Iḥsān ʿAbbās. Wafayāt Al-Aʿyān Wa-Anbāʾ Abnāʾ Al-Zamān. Dār Ṣādir, n.d.
Knysh, Alexander. Islamic Mysticism. Leiden: BRILL, 2000.
Mojaddedi, Jawid A. The Biographical Tradition in Sufism: The Tabaqāt Genre from Al-Sulamī to Jāmī. Richmond: Curzon Press, 2001.
Nguyen, Martin. Sufi Master and Qur’an Scholar, Abu’l-Qasim Al-Qushayri and the Lata’if Al-Isharat. Oxford: Oxford University Press, 2012.
[1] Gelarnya adalah Zain al-Islām. Lihat, Taj al-Dīn Al-Subkī and Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī, Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā, ed. Maḥmūd Muḥammad Al-Ṭanāḥī and ‘Abd al-Fattāḥ Al-Ḥulw (Faiṣal ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī, 1964), 5:94.
[2] Ibn Al-Mulqin, Ṭabaqāt Al-Auliyā’, ed. Nūr al-Dīn Syarībah (Maktabah al-Khānjī, 1994), 1:43; Al-Subkī and Al-Ṭanāḥī, Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā, 5:94; Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ṡābit Al-Khatīb al-Baghdādī, Tārīkh Madīnah Al-Islām: Tārīkh Baghdād Wa Żailuhu Al-Mustafād, ed. Basyār ‘Awād Ma‘rūf (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 2001), 4:96.
[3] Al-Mulqin, Ṭabaqāt Al-Auliyā’, 1:43.
[4] Saat ini berada di Distrik Quchan, Iran. Lihat, Ṣalāḥ al-Dīn Khalīl ibn Aibak Al-Ṣafadī, Al-Wāfī Bi Al-Wafayāt, ed. Aḥmad Al-Arnaūṭ (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabī, 2000), 2:224; Al-Khatīb al-Baghdādī, Tārīkh Madīnah Al-Islām: Tārīkh Baghdād Wa Żailuhu Al-Mustafād, 4:96; Jalāl al-Dīn ʿAbd al-Raḥmān Al-Suyūṭī, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn (Kuwait: Dār al-Nawādir, 1960), 1:61.
[5] Al-Subkī and Al-Ṭanāḥī, Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā, 5:95.
[6] Beberapa sumber mengatakan bahwa usia al-Qusyairī saat tiba di Nishapur adalah limabelas tahun, tapi informasi ini sulit untuk dikonfirmasi. Hal ini juga terkait dengan tujuan perjalanannya, yaitu untuk mengurangi pajak dari desa yang dia miliki. Lihat pengantar pada, Abū al-Qāsim Al-Qusyairī, Al-Qushayri’s Epistle on Sufism, trans. Alexander D Knysh (U.K.: Garnet Publishing, 2007), xxi–xxvii.
[7] Alexander Knysh, Islamic Mysticism (Leiden: BRILL, 2000), 48–66.
[8] Knysh, 48–66.
[9] Aḥmad Farīd Al-Mazīdī, Al-Imām Al-Junaid: Sayyid Al-Ṭāifatain (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006).
[10] Al-Qusyairī juga sering menyebutnya dalam al-Risālah
[11] Knysh, Islamic Mysticism, 116–35; Al-Subkī and Al-Ṭanāḥī, Ṭabaqāt Al-Syāfi‘iyyah Al-Kubrā, 5:96; Aḥmad ibn Muḥammad Ibn Khallikān and Iḥsān ʿAbbās, Wafayāt Al-Aʿyān Wa-Anbāʾ Abnāʾ Al-Zamān (Dār Ṣādir, n.d.), 3:205-206.
[12] Hamid Algar, “Introduction,” in Principles of Sufism, trans. B. R. von Schlegell and 1990 (Berkeley: Mizan Press, 1990).
[13] Kota di abad pertengahan, sekarang dekat dengan Masyhad, Iran
[14] Disamping ini, al-Qusyairi juga punya tiga putra dari istri kedua. Lihat, Knysh, Islamic Mysticism, xxii.
[15] Dia tinggal di pondok Ṣūfī di Nishapur, di mana ia mengajar para muridnya
[16] Untuk diskusi lebih lanjut, lihat, Martin Nguyen, Sufi Master and Qur’an Scholar, Abu’l-Qasim Al-Qushayri and the Lata’if Al-Isharat (Oxford: Oxford University Press, 2012); Abū al-Qāsim Al-Qusyairī, Laṭā’if Al-Isyārāt, ed. Ibrāhīm Al-Basiyūnī (Kairo: Hai’ah al-Kitāb, 2000).
[17] “Ketahuilah, sesungguhnya apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad) pada hari al-furqān (pembeda), yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” Q.S. al-Anfāl:41
[18] “Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” Q.S. al-A‘rāf:143
[19] Knysh, Islamic Mysticism, xxiv.
[20] Abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Kaṡīr, Al-Bidāyah Wa Al-Nihāyah, ed. Riyāḍ ‘Abd al-Ḥamīd Murād and Muḥammad Ḥassān ‘Ubaid (Beirut: Dār Ibn Kaṡīr, 2010); Al-Ṣafadī, Al-Wāfī Bi Al-Wafayāt, 6:224; Al-Suyūṭī, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 1:61.Bandingkan dengan Abū al-Qāsim Al-Qusyairī, Das Sendschreiben Al-Qušayrīs Über Das Sufitum, trans. Richard Gramlich (Wiesbaden: F. Steiner Verlag, 1989), 12.
[21] Menurut Knysh, buku ini merupakan buku sufi yang paling populer hingga saat ini. lihat, Knysh, Islamic Mysticism, xxiv.
[22] Jawid A. Mojaddedi, The Biographical Tradition in Sufism: The Tabaqāt Genre from Al-Sulamī to Jāmī (Richmond: Curzon Press, 2001), 123.
[23] Ibn Kaṡīr, Al-Bidāyah Wa Al-Nihāyah, 12:107.
[24] Al-Khatīb al-Baghdādī, Tārīkh Madīnah Al-Islām: Tārīkh Baghdād Wa Żailuhu Al-Mustafād, 4:96; Al-Mulqin, Ṭabaqāt Al-Auliyā’, 1:43; Al-Ṣafadī, Al-Wāfī Bi Al-Wafayāt, 6:224; Al-Suyūṭī, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 1:61.