Belum sehari hasil bahsul masail diumumkan telah memancing rekasi yang keras dari pihak lain yang merasa paling Islam dan paling memahami ajaran Islam. Khususnya keputusan mengenai penggantian istilah kafir dengan non muslim dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara (bukan dalam konteks akidah). Berhamburan ayat qur’an dan hadits dikutip untuk memperkuat argumen mereka menolak keputusan tersebut. Bahkan banyak ucapan dan kata-kata kotor.keluar untuk menyudutkan bahkan melecehkan NU. Seolah NU hendak merevisi al qur’an, menghilangkan istilah kafir dan berbagai tuduhan negatif lainnya.

Padahal dalam tradisi bahsul masail NU pembahasan suatu masalah sudah dikaji secata detail dan mendalam dengan referensi ayat dan kitab muktabar serta berbagai pemkiran ulama yang qualified. Namun tampaknya fakta ini diabaikan dan dipelintir oleh para penyerang dengan argumen yang dangkal dan provokatif. Sekedar menyomot ayat dan hadids yg kemudian ditafsirkan sesuai perspektifnya sendiri.

Peristiwa ini mengingatkan saya pada kasus Gus Dur yang menyatakan kata “assalamualaikum” sama dengan kata “selamat pagi/siang/malam (selanjutnya saya tulis selamat pagi)”. Atas pernyataan ini gus Gus Dur langsung diserang dengan berbagai hujatan dan caci maki. Diangap merusak ajaran Islam, ditiduh merubah cara sholat karena mengganti salam dengan selamat pagi. Gus Dur juga dituding melecehkan Islam menyamakan assalamualaikum yang merupakan identitas Islam dengan kata selamat pagi yang sekuler. Selain itu banyak yang khawatir kata assalamualaikum akan hilang diganti dengan selamat pagi. Bertaburan ayat suci dan hadits lengkap dengan caci maki dikeluarkan untuk menentang gagasan Gus Dur.

Padahal apa yang apa yang dilakukan gus Dur sebenarnya hanya pada aspek sosial muamalah bukan pada aspek ritual formal apalagi akidah. Artinya salam yang bisa diganti dengan selamat pagi adalah salam kultural yang dilakukan dalam bermuamalah. Bukan salam dalam sholat yang yang merupakan bagian dari ritual formal ibadah atau yang ada dalam qur’an yang terkait dengan aspek akidah.

Hal yang sama juga terjadi dengan keputusan Munas NU terkait dengan penggantian sebutan kafir dengan non muslim untuk warga negara yang tidak memeluk agama Islam. Keputusan tersebut dimbil terkait dengan posisi warga negara dalam konteks negara bangsa. Jelas di sini penghilangan sebutan kafir semata-mata hanya pada wilayah slsiologis kultural, sama sekali bukan pada wilayah akidah. Artinya kafir yang terkait dengan akidah sama sekali tidak disentuh karena hal itu sudah qath’i, tak bisa diperdebatkan lagi. Dan ulama NU sangat faham mengenai hal ini.

Karena keputusan tersebut hanya dalam konteks sosiologos, maka sangat tidak tepat jika direspon dengan hujjah yang mengedepankan dalil-dalil yang terkait dengan masalah akidah. Dengan demikkan sangat tidak tepat tudingan bahwa terjadi revisi al qur’an, perubahan terjemahan kata kafir dalam al qur’an menjadi non muslim dan sebaginya. Apalagi penyebutan kata kafir dalam al-Qur’an juga memiliki beragam makna sesuai konteknya.

Respon sebagian ummat Islam yang gaduh mencerminkan bahwa ummat ini belum beranjak jauh dari perilaku kanak-kanak. Hal ini dibuktikan dengan sikap reaksioner yang berlebihan, mudah marah dan emosional dalam merespon suatu pemikiran. Alih-alih melakukan tabayyun dengan dialog yang sehat dan jernih, yang muncul justru fitnah dan pemutar balikan fakta serta distorsi pemikiran yang dilegitimasi dengan ayat. Tudingan adanya revisi al qur’an, mengubah ajaran Islam, menghapus ayat dan sejenisnya tanpa memahami konteks dan substansi pemkiran merupakan bukti adanya sikap kekanak-kanakan ini

Ciri lain dari sikap anak-anak adalah belum bisa melihat suatu persoalan secara jernih kemudian merespon secara proporsional. Pendeknya belum memiliki sikap bijak yang mampu mengendalikan nafsu sehingga bisa mendistribusikan rasio dan emosi secara proporsional. Akibatnya selalu salah dalam memberikan respon. Persoalan muamalah yang tekait urusan sosial kultural direspon dengan masalah akidah. Dan jika sudah terkait dengan akidah maka yang terjadi adalah sikap emosional yang menghalalkan segala cara.

Melihat perilaku ummat Islam yang kekanak kanakan ini saya jadi berpikir, kapan anak-anak ini beranjak dewasa? Kapan mereka mampu berpikir jernih dan bersikap arif supaya bisa menjawab persoalan yang ada secara cerdas dan elegan? Kapan ayat-ayat suci menjadi sumber inspirasi dalam membangun perdaban bukan sekedar menjadi topeng untuk menyembunyikan kepicikan nalar dan alat memukul lawan yang tidak sepemikiran.***

 

Komentar