Ketika mendengar Buya Syafi’i Maarif wafat, air mata manusia seperti membanjiri Indonesia. Kita kehilangan sosok keteladan, di masa air keteladanan kering tak lagi mengalir dan berbuah.

Pengayom, intelektual, dan negarawan pemberani itu begitu dekat dengan kita. Begitu dekat dengan manusia-manusia pinggiran, manusia-manusia yang ternistakan baik secara ekonomi, politik, agama, dan pendidikan. Suaranya begitu parau ketika membela manusia yang tertindas.

Baginya, adanya katertindasan manusia adalah sifat menghilangkan kemanusiaan. Di sana itu tidak dibenarkan dalam rumus-rumus negara, apalagi di dalam ajaran sebuah agama. Maka itu, ia sering melontarkan bahwa yang “baik” jangan diam. Kita harus bersuara.

Buya tak memetingkan siapa mereka. Ia jauh lebih memetingkan keadilan dan sikap toleransi. Biarlah mereka bukan dari golongan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama, bahkan non-Muslim sekalipun, apabila keberadaanya terancam karena sikap jahat berwajah agama, Buya dengan lantang menentang dan membelanya. Biarlah kebaradaan Buya diancam dan dicaci sekalipun.

Maka itu, ia membela Ahok, terkait kasus Al-Maidah 51. Ketika Buya sudah secara utuh melihat pidato Ahok, Buya membelanya, karena di mata Buya, Ahok memang tidak salah dan tak harus dipermasalahkan dan disalah-salahkan, apalagi ditahan. Sikap ini kebalikan dari K.H. Makruf Amin.

Poros Buya sangat beda dengan orang-orang besar di negeri ini. Ketika yang lain mencari aman bahkan meladeni karena bakal diuntungkan dan dapat keuntungan, Buya berada di sebrangnya atas nama keadilan dan toleransi. Bahkan karena sikap ini, Buya sampai dihujat, dicerca, dan diancam dicabut gelar keBuyaannya yang disandang Buya Syafi’i.

Tapi Buya tidak gentar. Buya tak memetingkan perihal gelar. Buya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dan ia sadar ada di jalan yang benar. Buya tak ingin sama dengan “preman berjubah”. Dengan kebesaran agamanya, menjadi sebegitu sepengecut dan rela bermain-main dengan agama. Bagi Buya itu adalah paranoid.

Sebagai orang Islam, Buya sering menyampaikan bahwa orang Islam harus bertanggungjawab terhadap keislamannya. Yaitu, orang Islam harus bersifat adil dan tidak mentolerir sikap-sikap yang mencoba menarik agama dalam lumpur politik kotor. Karena selain membayahakan, ia juga mengotori agama yang sedemikian lama telah tersucikan.

Kekhawatiran Buya

Buya memiliki kedalaman melihat Indonesia. Kedalaman itu dibarengi oleh rasa kasih sayang dan eman. Maka itu, Buya sangat riskan jika ada orang-orang, partai politik, bahkan ormas keagamaan yang intoleran terhadap yang lain. Menurut Syafi’i, Indonesia akan hancur jika agama, sosial, dan budayanya terkoyak dan dibiarkan tidak rapi  bahkan ternganga dengan masalahnya.

Bagi Buya Indonesia selama sikap intoleran dan “premanisme berjubah” tetap dilestarikan, selamanya Indonesia bakal terkoyak dan mendekam dalam tubir peradaban. Suatu sikap yang mengenaskan dan memabahayakan bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Apalagi mereka memompa dengan teologi maut. Teologi yang berani mati tetapi tidak berani hidup. Sebuah sikap paranoid yang tidak percaya pada alam dan kehidupan yang sebenarnya, sehingga memilik jalan maut dan memautkan manusia. Karena itu, Indonesia berjalan pada habitus dunia yang terbakar.

Kehidupan Indonesia yang sejatinya damai, tercerabut dari pangkalnya menjadi Indonesia yang ramai. Indonesia mudah ditemukan masalah dari perilaku preman berjubah yang mengaku paling suci. Yang mengandalkan bungkus simbol-simbol ketimbang esensi. Bagi Buya Syafi’i ini adalah bahaya besar yang mengancam tanah nasib Indonesia ke depan.

Menurutnya, jika kondisi ini terus terjadi, “sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan penderitaan bagi umat Islam” Maka dengan itu, kita dituntut untuk jangan diam. Dan sebisa mungkin menjadi manusia yang memberi jalan alternatif demi mengutuhkan bangsa dan negara. Jika itu bisa kita lakukan, maka kita bisa menentukan arah bahtera Indonesia ke masa depan. Semoga.

Komentar