Ketika melihat gambar bedug, ada yang terlintas dari pikiran saya. Gambar bedug  biasanya ditemukan di poster Ramadan, di spanduk ucapan lebaran, dan di amplop lebaran membuat kesan tersendiri. Ternyata saya melewatkan banyak kenangan sewaktu masih kanak-kanak memainkan bedug di masjid. Perlahan suara bedug itu sudah sirna dari telinga tergantikan oleh gemuruh speaker menggelegar. Barangkali hanya segelintir masyarakat masih menggunakan bedug, itu pun sekadar menjaga tradisi. Sampai pada masanya hadirlah speaker masjid menggeser kedigdayaan bedug. Speaker masjid yang  dulunya dielu-elukan malah memancing kerusuhan di masyarakat.

Terkait aturan pengeras suara dari pemerintah merajut berbagai protes dari berbagai kalangan. Ketentuan itu tertuang dalam peraturan Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor SE 05 Tahun 2022. Kementerian Agama, Gus Yaqut memberikan aturan soal penggunaan pengeras suara dalam ruangan dan luar, frekuensinya dibatasi  dengan 100 dB. Untuk pujian sholawat setelah adzan dibatasi menjadi 10 menit saja. Menurutnya aturan ini sudah cocok diterapkan karena Indonesia sendiri bukan negara agama tetapi negara beragama. Berbagai agama hidup berdampingan sehingga toleransi perlu dijunjung di sini. Konsep ini sejajar dengan prinsip-prinsip moderasi beragama.

Semestinya bulan Ramadan selalu identik dengan suara bedug. Ramadan tanpa bedug terasa  hampa, apalagi hanya datang setahun sekali. Ramadan tanpa bedug kira-kira terjadi di sekitar tahun 70 sampai 80-an. Tepatnya saat pemerintahan orde baru mulai menduduki kekuasaan pemerintahan. Pada masa itu speaker masjid mulai menjadi program unggulan dari Kementerian Agama. Bedug-bedug yang terbiasa dibunyikan sebelum adzan dikumandangkan, sudah dikandangkan ke gudang masjid. Atau paling tidak menjadi pajangan di balkon masjid. Hanya dari kalangan Islam tradisional mampu merawat eksistensi bedug, itu pun sebagian kecil saja. Sementara kalangan Islam modern mulai menggaungkan gong pengunaan speaker masjid. Kesannya lebih  modern dan lebih berkualitas dan suaranya lebih nyaring ketika digunakan dalam panggilan adzan. Mereka meyakini bahwa adzan harus disuarakan dengan lantang karena seruan panggilan salat itu sangat penting. Seperti dahulu pada masa Rasulullah, Bilal bin Rabah menjadi Muazin pertama yang melantangkan adzan dari atas menara. Sejalan dengan hal itu, masyarakat mengamini dan mulai merealisasikan solusi ini.

Pepatah mengatakan “bagai memakan buah simalakama”, selaras dengan kontrovesi antara speaker dan bedug. Jika bedug dianggap ketinggalan zaman maka, speaker menuai kontroversi tingkat dewa sampai merambah dalam kasus serius. Kejadian 17 Juli 2015 silam cukup menjadi pelajaran bagi kita semua. Penggunaan speaker masjid saat pelaksanaan idul Fitri di Kalibaga, Tolikara, Papua berujung protes hingga konflik sengit.

Setelah ditelusuri ternyata kelompok protes berasal dari jemaat gereja injili (GIDI). Mereka memprotes karena pengeras suara mengganggu kegiatan ibadah mereka. (Komnas.com 4/4/2022). Berkaca dari kasus ini kita bisa memetik hikmah bahwa penanaman toleransi beragama sangat penting. Peraturan mengenai pengeras suara seharusnya bisa disambut dengan baik oleh masyarakat terutama bagi lingkungan yang sensitif terhadap agama dan keyakinan. Kita tidak bisa mematok agama secara mayoritas, perlu kita melihat bawang masih banyak agama dan kepercayaan semestinya bisa dihargai. Penghargaan terhadap agama lain itu penting, sesuai prinsip Islam rahmatan lil alamin.

Ahmad Noor dalam Muktamar NU ke-11-nya yang diselenggarakan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan menyebutkan mengenai bedug dan kentongan terus berupaya dilestarikan dalam rangka mengukuhkan nilai-nilai Islam. KH. Hasyim Asy’ari memperkuat pendapat bahwa keberadaan bedug dan kentongan di masyarakat heterogen terus dilestarikan karena termasuk bagian dari syiar Islam. (Alif.id diakses pada 6/4/2022). Sekalipun speaker masjid digunakan secara merata setidaknya keberadaan bedug tidak dilupakan oleh masyarakat. Bagaimanapun juga bedug adalah bagian dari tradisi Islam Indonesia. Bedug adalah warisan leluhur yang wajib dijaga. Selain menjadi panggilan salat, bisa juga dilestarikan lewat kebiasaan membangunkan sahur. Intinya lebih menghargai tradisi tanpa meninggalkannya. Kembali membangun tradisi melalui bedug sebagai wujud nyata toleransi.

Pemuatan tulisan ini merupakan kerja sama antara unit kegiatan mahasiswa LPM Dinamika dengan media islamsantun.org.

Umi Nur Baity, mahasiswi  program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Raden Mas Said Surakarta. Dia merupakan pegiat literasi UKM LPM Dinamika.

Komentar