Sobat santun di manapun Anda berada. Setelah beberapa kali membaca kitab ushul fikih, penulis menemukan  hal yang sangat menarik dari definisi ushul fikih. Bagi yang belum familiar, mungkin perlu tahu bahwa ushul fikih merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang membahas dalil-dalil untuk membangun sebuah hukum syari’at. Artinya, setiap hukum agama Islam sejatinya mempunyai landasan tersendiri, meski satu dengan yang lainnya berbeda atau bahkan bertentangan.

Setidaknya, penulis menemukan sebuah hikmah dari definisi ushul fikih yang dibawakan oleh Imam As-Syairazi (tokoh mazhab Syafi’iyah) dalam kitabnya yang berjudul Al-Luma’ fi Ushulil Fiqhi.

Beliau mendeskripsikan bahwa ushul fikih memiliki dua fungsi; pertama, sebagai landasan sebuah hukum. Dengan kata lain setiap produk hukum yang dipakai seorang Muslim dalam ekspresi keagamaannya niscaya memiliki cara pandang dari dalil yang ia ambil. Ini semudah membayangkan bahwa setiap makanan pasti ada komposisinya, dan selera orang berbeda-beda tentunya.

Saat sebuah hukum diproduksi, misalnya tentang keharaman atau kebolehan bermain catur, itu tentu sudah dan harus berlandaskan sebuah dalil. Dalil di sini sangat banyak, bisa dari Al-Qur’an, Hadis, kesepakatan ulama, analogi hingga fatwa seorang alim.

Ketika sebuah hukum diproduksi, tentunya akan menghadapi persaingan produk lain yang tak jarang diambil dari dalil yang sama, atau boleh jadi berbeda. Namun yang harus menjadi catatan adalah bahwa tiap-tiap produk hukum itu sah dan legal untuk diamalkan oleh siapapun dengan bebas pilih. Tidak ada paksaan untuk harus ikut yang mana selama semuanya punya dasar masing-masing. Sampai di sini, dapat dipahami bahwa boleh jadi setiap pendapat boleh jadi ada salahnya, ataupun sama-sama benarnya. Atau salah satunya benar dan lainnya salah.

Akan tetapi justifikasi salah benar tidak boleh diajukan sebelum ada diskusi dan klarifikasi dengan cara yang baik-baik. Iya kan, iya dong. Pada titik inilah semua umat Islam “harusnya” selalu menyikapi perbedaan dengan atensi yang berakhlak. Mengajak diskusi misalnya, alih-alih menyalahkan apalagi mengecam.

Fungsi ushul fikih kedua; yaitu menjadi piranti untuk mencapai dalil secara global. Artinya ada cara untuk memahami dalil sebuah produk hukum dengan teori ushul fikih. Tapi untuk yang ini sangat susah dipraktikkan karena keterbatasan kita yang awam ini akan dalil-dalil agama Islam.

Bayangkan Al-Qur’an itu ada ribuan ayat, sementara bahkan hadis itu ada ratusan ribu. Oleh sebab itu, siapa atau siapa yang hanya tahu sedikit atau baru pernah dengar saja bebeberapa dalil sangat tidak layak untuk ikut-ikut berdebat. Lebih baik memahami dulu saja, atau diam saja, karena memahami akan membawa kita pada pencerahan, meskipun memahami sesuatu yang awalnya tak kita setujui. Sementara sikap diam bisa menjadikan kita tetap seperti emas, iya kan diam adalah emas kata pepatah?

Memang ushul fikih ini bukan ilmu yang gampang dikuasai, butuh bertahun-tahun untuk mahir. Pernah membaca atau bahkan berulang kali baca tidak menjamin langsung paham.

Sedikit yang penulis tawarkan di sini. Bahwa tidak semua kita bisa mencari dalil atau membangun hukum dengan dalil sumber hukum Islam yang kuantitasnya sangat besar. Juga tidak semua kita bisa membangun sebuah hukum dengan landasan dalil karena memang tak tahu apalagi hafal dalinya. Maka sikap terbaik ketika menemui perbedaan dalam agama Islam adalah diam dan belajar memahami.

Ambil saja contoh, biasanya ketika bulan Desember, akan banyak berseliweran produk hukum tentang boleh-tidaknya mengucapkan selamat natal pada saudara kristiani. Entah itu konten tulisan atau visual. Dari pada tergesa-gesa memutuskan mana yang benar mana yang salah, cobalah cari dalil dari kedua pendapat dan dipahami atau didiskusikan baik-baik. Justru itu malah lebih berguna dan berpahala. Dari pada bertengkar cuma gara-gara beda.

Perbedaan bukanlah suatu hal yang patut dipermasalahkan, laiknya pertentangan tak perlu sampai menimbulkan konflik yang tidak perlu. Karena perbedaan itu watak asli makhluk hidup, apalagi manusia beragama dengan cara pandang yang berbeda, entah di sadari atau tidak itu sudah seperti jatah yang harus diterima semua pihak. Sekian, salam hangat.

Komentar