Muhammad Alfatih Suryadilaga*

Alquran sebagai ajaran Islam dimaknai beragam kalangan. Secara umum, kitab suci tersebut dimaknai sebagai sebuah bacaan yang bernilai ibadah. Hal inilah yang menjadikan Alquran senantiasa dibaca dalam keseharian umat Islam tidak saja dilakukan di dalam salat yang merupakan kewajiban maupun selainnya yang merupakan bagian dari menghidupkan sunnah. Nilai pembacaan Alquran terletak pada perhuruf dan bukan perkata atau kalimatnya atau menjadi bagian penerang di rumah. Dengan demikian, al-Qur’an merupakan bacaan bagi umat Islam yang bernilai ibadah.

Interaksi umat Islam dengan al-Qur’an terutama atas bacaan sangat beragam. Hal tersebut setidaknya menjadikan Alquran dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh beragam generasi manusia baik di masa kanak-kanak maupun generasi tua. Hal tersebut senada dengan maraknya metode cara baca Alquran yang mudah dalam hitungan jam. Selain itu, keberadaan Alquran juga dihafalkan oleh sebagian masyarakat yang pada masa lampau sangat jarang yang ikut menghafal dan sekarang sudah menjadi kebiasaan dengan maraknya rumah tahfidz dan pesantren yang khusus. Dengan demikian, kesadaran akan membaca dan menghafal al-Qur’an mengiringi kesadaran akan nilai ibadah.

Bahkan kontes bacaan dan hafalan al-Qur’an menghiasai layar kaca. Fenomena tersebut tidak hanya dalam konteks MTQ atau STQ melainkan dalam mengisi dalam setiap bulan Ramadan. Salah satu pemahaman mereka adalah bahwa yang orang yang hafal Alquran akan memberikan mahkota kepada orang tuanya. Dengan demikian, ragam bacaan pun beragam seiring Alquran dilombakan.

Kesadaran interaksi di atas akan meningkat seiring dengan pendidikan seseorang. Hal tersebut menjadikan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia. Tingkatan ini akan lebih tinggi dibanding sebelumnya yang hanya memfokuskan pada sisi bacaan dan hafalan. Walaupun hal tersebut sudah menjadi bagian dari syafaat yang diberikan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, level inilah yang menjadikan mereka para akademisi dapat meningkatkan kepada interaksi yang lebih dalam dengan Alquran.

Pemahaman terhadap Alquran dan maknanya terutama mampu mengungkap isi di dalamnya akan menambah potensi petunjuk dalam diri seseorang. Hal tersebut tentunya didukung oleh adanya pemahaman dengan hadis Nabi saw. Hal ini dikarenakan hadis adalah tafsir pertama dari al-Qur’an. Dengan demikuan, memahami al-Qur’an harus juga dengan memahami hadis.

Pola pemahaman atas hal di atas terus berkembang dan menjadi kajian yang berkelanjutan dan tiada henti secara akademik. Petunjuk Alquran tidak saja dikorelasikan dengan hadis melainkan juga dengan keilmuan lain yang multidisiplin sehigga mampu menangkap esensi yang sesungguhnya. Hal ini memunculkan beragam metode penafsiran seperti yang digagas oleh Abdullah Saeed yang mampu mengkontekstualkan nilai-nilai Alquran dengan dunia sekarang. Dengan demikian, al-Qur’an dengan beragam tafsir dan metodenya telah mampu menunjukkan adanya petunjuk dan kebenaran. Interaksi manusia dengan Alquran akan selalu berkembang siringdengan perkembangan ilmu dan persoalan yang dihadapi manusia.(MAS)

*Ketua Asosiasi Ilmu Hadis se-Indonesia (ASILHA)

Komentar