Beberapa hari lalu, menjelang Ramadan, tak seperti biasa Averroes (anak kedua kami) pulang ke rumah dengan wajah murung, “Ayah, sandalku hilang sebelah, udah aku cari muter-muter mushola, ndak ketemu juga”, ujar dia lirih sambil masuk ke rumah dengan langkah lemah. “Kalau udah dicari dan memang belum ketemu, besok kita beli sandal baru“, jawabku ringan. “Ndak ah, aku mau cari sampai ketemu“, jawabnya. Tampaknya masih ada harapan sandal ditemukan.

Tiap berangkat ke mushola, dia hanya pakai sandal sebelah kiri tanpa pasangan kanan yang hilang. Sambil melihatnya lamat-lamat berangkat, terlihat janggal bila sendal hanya dipakai tanpa pasangan. Sandal yang tampak remeh itu mengajari kita pelajaran berharga, betapa keindahan itu muncul bersama keserasian, karena di situlah letak fitrah penciptaan. Sepasang sandal mengajarkan arti keseimbangan, ‘kesempurnaan’. Berapapun mahalnya harga sandal, bila ia tak sepasang, tak ada harga, hilang fungsinya.

Tetiba mataku fokus pada sandal yang aku pakai saat berjalan. Bila jalan kita ingin terus maju ke depan, apa yang dilakukan? saat yang kanan di depan, yang kiri di belakang. Dan sebaliknya, saat yang kiri maju ke depan yang kanan sabar di belakang. Begitulah sandal mengajarkan tentang peran pasangan; bila suami di depan, istri mendukung dari belakang, begitu pula saat istri maju ke depan, suami tanpa malu dibelakangnya berperan. Bisa dibayangkan sulitnya berjalan bila keduanya; kanan dan kiri, ingin sama-sama maju, atau salah satunya ingin selalu terdepan. Perjalanan hidup adalah tentang memahami peran kapan di depan kapan harus di belakang. Ada pelajaran penting tentang peran dalam wujud sepasang sandal.

Sepasang sandal juga mengajarkan kita makna kafā’ah, kufū’, keserasian, dan sadar (tahu) diri. Kita tidak bisa memaksa untuk menyandingkan sandal jepit dengan sandal kulit, karena disamping memakainya menjadi tak nyaman dan sulit, pasangan ‘njomplang’ ini juga akan terlihat aneh dan nyleneh. Hal ini harusnya menyadarkan pada kita bahwa cantik dan tampan rupawan bukanlah tujuan dalam berpasangan. Yang dibutuhkan adalah kesetaraan, keserasian dan keseimbangan.

Dan yang terpenting lagi adalah kenyamanan. Bukankah tujuan utama dari pernikahan adalah litaskunū ilaihā, agar kamu nyaman, tenteram, ayem, bersama pasangan. Untuk apa pasangan rupawan bila justru membuat hati was-was tiap dia jauh dari kita karena takut digoda atau tergoda dengan lainnya. Kita ini seringkali mengedepankan nafsu, bukan akal dan rasa. Sehingga terlupa, laki-laki tidaklah sempurna, demikian juga wanita. Mereka dicipta untuk bersatu-pasang dan saling melengkapi.

Sandal yang tampak sederhana itu juga mengajarkan kita tentang kebermanfaatan. Lihatlah, semahal apapun sandal yang kita beli, bila ia kehilangan pasangannya, tak ada lagi guna dan mafaatnya untuk berjalan. Berapapun harganya, inti dari fungsi sandal adalah alas kaki yang diinjak-injak untuk mengamankan dan menyamankan kaki saat berjalan.

Kita seringkali tertipu dengan penampilan dan mengesampingkan esensi pemanfaatan. Berlomba-lomba mencari merek ternama tanpa peduli apa manfaat utamanya. Bukankah sandal semurah apapun tetap bermanfaat asal ia utuh sepasang? bukankah semahal apapun sandal, ia tetap saja diinjak untuk berjalan? Tidak pernah terbayang, karena mahalnya sandal terus ia dikalungkan dileher karena sayang, masa barang mahal diinjak melewati kotoran. Tentu hal ini akan menjadi pemandangan aneh dan menggelikan.

Cerita sandal Averroes yang kehilangan pasangan ini juga membawa ingatanku kepada kisah Nabi Musa dalam Q.S. Ṭāhā: 12, InnAnRabbuka fakhla‘ na‘laik, innaka bi al-wādi al-muqaddasi ṭuwā, (Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Lepaskanlah kedua sandalmu karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yaitu Ṭuwā).  Mayoritas mufasir menjelaskan, melepaskan terompah adalah indikasi dari rendah hati, tawāḍu‘. Bahwa saat menghadap Tuhan, apapun yang menempel pada unsur kemanusiaan kita; status, kasta, suku-bangsa, pekerjaan, perhiasan, kendaraan, harus kita lepas, kita wajib berserah kepadaNya hanya dengan membawa diri sebagai hamba, manusia, tanpa embel apa-apa. Ayat ini mengajarkan, apapun yang membersamai, yang bukan esensi dari nilai kemanusiaan dan penghambaan, pada akhirnya harus kita lepas dan tanggalkan di depan Sang Pencipta.

Sandal, tampak sederhana, terlihat biasa, tapi memiliki makna istimewa bila dilihat dari sudut pandang berbeda. Begitulah kita, karena seringnya melihat fenomena tanpa makna, hal-hal istimewa dianggap sederhana, yang sederhana justru dianggap istimewa. Kita mengeluhkan kenapa hidayah tak kunjung datang, akhirnya kita lebih sering bermalas-malas rebahan daripada ibadah dan mengambing-hitamkan hidayah. Tanpa merenungi betapa adzan yang dikumandangkan lima kali sehari adalah hidayah telinga yang selalu datang setiap harinya. Anak-anak kecil berangkat TPA ke masjid dan mushola adalah hidayah yang terang benderang lewat di depan mata.

Komentar