Nur Rohman*

Salah satu fenomena menarik ketika Ramadan tiba adalah banyak digelarnya acara bukber (buka bersama) atau kini muncul istilah baru, ‘bubar’ (buka bareng). Acara buka bersama biasa dilakukan oleh semua kalangan, baik dari rakyat biasa hingga pejabat pemerintah. Pak Presiden Jokowi sendiri menggelar buka bersama di awal bulan Ramadan. Tentunya ini sedikit lebih awal dari para rakyat, yang biasanya akan ramai mendapat undangan buka bersama di minggu-minggu tengah bulan Ramadan. Bahkan ada juga yang kesulitan menentukan tanggal, karena bertabrakan dengan agenda bukber lainnya.

Memang buka bersama banyak motifnya. Ada yang bertujuan untuk sillaturrahim, silatu-politik, rapat luar kantor, arisan, reuni, dan lain-lain. Oleh karena itu, bagi sebagaian orang muncul banyak kendala ketika akan melangsungkan perhelatan ini. Mulai dari mobilisasi massa hingga penentuan tempat yang tak jarang fullbooked. Meskipun demikian tak menyurutkan animo masyarakat untuk tetap melakukannya, bagaimanapun caranya.

Diakui atau tidak, buka bersama menjadi budaya masyarakat muslim di Indonesia bahkan di manca negara. Tak heran jika di salah satu media online bernah ada salah seorang yang bertanya kepada ustadz perihal hukum buka bersama. Ustadz yang ada di belakang media online pun menjawab tak ada masalah selama kegiatan itu tidak dianggap sebagai ‘ibadah’.

Jawaban di atas menggelitik saya untuk menuliskan esai ini. Pertama, ibadah berasal dari kata ‘abada-ya’budu ‘abdan (tsulatsi mujarrad-fa’ala) yang berarti menyembah, mengabdi. Orangnya disebut ‘abid (ism fa’il). Maka orang yang melakukan ibadah adalah mereka yang merasa menjadi hamba atau budak Allah. Manusia di dunia memang diciptakan untuk menyembah Allah (Q.S. 51: 56). Sehingga manusia yang menyembah dan mengabdi disebut ‘abidullah atau abdullah. Proses penghambaan seharusnya dilakukan dalam semua lini kehidupan dan tidak terbatas pada ibadah mahdhah saja.

Proses penghambaan manusia kepada Allah, seharusnya menyeluruh dalam setiap tarikan nafas. Artinya, beribadah bukan hanya di masjid. Melainkan ibadah juga kita lakukan ketika sedang berada di sawah, sekolah, pasar, di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Dengan begitu, manusia akan senantiasa merasa bersama dan diawasi oleh Allah sebagai pencipta dan pemiliknya. Apapun kegiatannya, manusia sebagai hamba, tentu saja akan patuh kepada Allah.

Degradasi moral di kalangan umat Islam, bisa jadi disebabkan karena anggapan bahwa ibadah itu hanya dalam hal-hal yang ada dalilnya (syariat) sebagaimana ibadah mahdhah, seperti sholat, puasa. Selain yang ada di masjid dan tidak ada dalilnya maka bukan termasuk ibadah. Mengganggapnya sebagai ibadah menjadi salah dan bid’ah, bahkan sesat. Itulah kenapa setelah keluar dari masjid, mereka melakukan sesuka hatinya. Sholat dikerjakan, maksiat tetap jalan. Begitu kira-kira ungkapan yang sering kita dengar. Sebagaimana kita lihat, banyak koruptor berjilbab dan para pendakwah hapal ayat-ayat. Ini pasti salah satu sebabnya, mereka tak merasa dilihat dan dilindungi Allah.

Berkaitan dengan buka bersama, bagi saya ini masuk dalam salah satu aspek ibadah. Karena di dalamnya ada unsur silaturahmi dan kebersamaan. Apalagi jika ada salah satu anggota buber yang ngebosi (menanggung). Tentu ini menjadi satu keutamaan. Sebagaimana hadis Nabi:

“Barang siapa yang memberi makan (takjil) orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sendiri”.

Ketika merasa diawasi, maka kegiatan buka bersama akan selalu dilaksanakan dengan memperhatikan syariat dan adat kesopanan yang berlaku di masyarakat. Seharusnya, spirit beribadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, harus kita bawa dalam ranah kehidupan. Selamat menjalankan ibadah buka bersama.

Komentar